Panas terik yang menyengat kulit langsung hilang berganti kesejukan begitu roda sepeda yang Agro Indonesia kayuh memasuki rimbunan pohon sengon yang ditanam rapi dengan jarak 2 x 2 meter. Tajuk pepohonan berumur sekitar dua tahun itu sudah begitu rapat yang menjadikannya seperti payung alami. Kesejukan terasa karena jajaran pohon itu menghembuskan oksigen segar laksana pendingin udara natural.
Di kejauhan, kelompok tanaman yang sudah berusia tiga tahun menawarkan pemandangan ijo royo-royo yang menggoda. Selain sengon dan akasia, ada juga tanaman lain seperti akasia, waru, tanjung, gmelina dan kayu putih.
Pada kelompok tanaman lain, ditanam berbagai jenis tanaman multi guna seperti mangga, kelengkeng, jambu air, belimbing, durian, dan nangka. Sebagian sudah menghasilkan dan bisa dinikmati manis buahnya. Ada juga kelompok tanaman langka dari berbagai tempat di Indonesia di areal yang dialokasikan sebagai arboretum mini.
Suasana makin asyik karena kicau kutilang dan burung-burung lainnya tak henti memanjakan telinga. Tempat itu pun mulai menjadi tujuan para pesepeda untuk menikmati hobinya. Banyak juga keluarga yang datang untuk sekadar duduk-duduk menikmati keteduhan yang ditawarkan. Betah rasanya berlama-lama di tempat laksana surga mini ini.
Hutan yang sedang tumbuh itu ada di perumahan Mutiara Gading City (MGC), Bekasi, Jawa Barat, yang dikembangkan ISPI Grup. Komisaris Utama ISPI Grup Preadi Ekarto menuturkan, pihaknya memang ingin menjadikan perumahan seluas 300 hektare yang sedang dikembangkan itu hijau dengan berbagai jenis pohon-pohonan. “Tidak ada niat khusus, karena saya suka saja,” katanya ketika ditemui saat sedang bersepeda, Sabtu (30/12/2017).
Preadi pun memastikan penanaman pohon yang dilakukan tidak untuk tujuan komersial, setidaknya untuk saat ini. Meskipun untuk itu ada biaya tidak sedikit yang mesti dikeluarkan. “Untuk saat ini tidak ada tujuan komersial. Tapi ke depan, siapa yang tahu,” katanya sambil tersenyum.
Untuk membangun hutan itu, Preadi menggandeng seorang rimbawan yang juga sahabatnya sebagai mitra, Eka Widodo Soegiri. Menurut Eka, hingga saat ini telah ada 28.000 batang pohon yang tertanam. “Sedikitnya ada 50 jenis pohon ditanam di sini,” kata Eka yang baru saja purna tugas sebagai PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Eka menuturkan, bukan perkara mudah menanam pohon di areal perumahan MGC. Pasalnya, lahan di MGC masuk kategori tandus. Lama dieksploitasi sebagai sawah, membuat lahan di sana jenuh dengan pestisida dan pupuk kimia. Karakter tanahnya pun unik dengan porositas tinggi yang membuat air langsung ‘hilang’ setelah disiram.

Anehnya, saat hujan deras terjadi, air bisa menggenang. Ini bisa terjadi karena bagian dalam lahan tersebut merupakan tanah lempung. “Tantangan lain adalah panas matahari menyengat yang bisa membuat tanaman kering,” kata Eka.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Eka mengembangkan teknik penanaman khusus. Pertama dengan membangun saluran non permanen untuk mengairi tanaman. Saluran ini dilengkapi dengan sekat yang bisa dibuka tutup untuk memastikan tanaman selalu mendapat pasokan air yang cukup tanpa harus kebanjiran.
Cara kedua, tanaman tidak ditempatkan di lubang tanam. Melainkan ditempatkan pada gundukan tanah yang sebelumnya sudah ditambah dengan pupuk kandang. Bila diperlukan, ditempatkan alat irigasi tetas yang terbuat dari botol bekas. “Kalau dibuat lubang tanam, pohon malah kebanjiran dan bisa mati. Makanya dibuat gundukan dulu, baru pohonnya ditongkrongin,” kata Eka.
Dengan teknik tersebut, harapan pohon hidup lebih tingi. Saat sudah dewasa dan akarnya sudah kuat, maka banjir sudah bukan ancaman lagi. Eka menyatakan, teknik tersebut diterapkan untuk berbagai jenis tanaman multi guna. Untuk pohon kayu-kayuan seperti sengon, akasia, atau gmelina, teknik penanaman tetap normal dengan menggunakan lubang tanam.
“Agar penanaman berhasil, maka setiap pohon yang mati langsung disulam dengan bibit baru,” katanya. Setiap pohon dipasang label nomor yang terdokumentasikan pada buku induk. Berdasarkan label itu, maka kondisi setiap pohon terekam secara pasti.

Tantangan lain yang dihadapi adalah sikap masyarakat sekitar yang belum menyadari pentingnya penanaman pohon. Tak jarang bibit yang ditanam dicabut karena iseng. Untuk mengatasi hal itu, pekerja di lapangan pun harus rajin-rajin keliling menjaga agar tak ada orang iseng mencabut bibit yang ditanam. “Saat baru ditanam, banyak masyarakat yang mencabut bibitnya. Sekarang, sudah adem, malah banyak yang main di sini,” kata Eka terkekeh.
Nilai Jual
Eka menuturkan, meski tidak untuk tujuan komersial, namun banyak keuntungan bagi MGC dengan keberadaan hutan yang kini tumbuh. Keberadaan hutan itu bisa memperkuat promosi untuk penjualan rumah yang dibangun. “Keberadaan pohon-pohon yang hijau menambah nilai jual sehingga bisa menarik konsumen,” kata Eka. Selain di MGC, Eka juga membantu ISPI Grup untuk membangun hutan mini di Cikarang.
Dalam jangka panjang, Eka menyatakan pohon-pohon yang ada juga bisa menarik pengunjung untuk berwisata. Saat ini saja, sudah banyak pengunjung yang datang untuk sekadar duduk-duduk menghirup udara segar. Lokasi itu juga menjadi target lintasan bagi para pesepeda. Kayu dan buah yang dihasilkan juga dimungkinkan untuk dipanen.
“Ke depan pengelola MGC bisa menjadikannya sebagai tempat wisata alam, seperti yang sudah terjadi di South Lake, salah satu bagian dari MGC,” kata Eka.
Asal tahu saja, saat high season seperti musim liburan, pengunjung South lake bisa mencapai 1.000 orang, seperti saat libur tahun baru kemarin. Setiap pengunjung dikenakan tiket masuk Rp40.000 untuk menikmati berbagai fasilitas yang sudah disediakan.

Bagi Eka sendiri, tumbuhnya hutan di MGC menjadi pembuktian bahwa sesulit apapun kondisi lahannya, maka penanaman pohon tetap bisa dilakukan asal ada kemauan. Hutan yang sudah ada itu juga menjadi bukti bahwa penanaman pohon bisa dilakukan dengan melibatkan mereka yang peduli, seperti pengembang perumahan. “Jika kita bekerjasama, penanaman pohon pasti berhasil,” kata Eka. Sugiharto
