Oleh: Ali Djajono (Perencana Madya, Pada Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian LHK)
Dalam beberapa kali acara Hari Menanam Pohon yang diperingati setiap tahun, Presiden Jokowi (sejak dilantik jadi Presiden) selalu menyoroti kinerja Rehabilitasi Hutan yang kurang optimal di Indonesia. Lalu apakah Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sebagai penanggung jawab sudah melakukan langkah-langkah optimalisasinya?
Sepertinya sorotan Presiden akan kembali terjadi di tahun 2018, apabila langkah-langkah optimalisasi tidak muncul, apalagi ditambah dengan terbitnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satunya menyatakan bahwa kewenangan Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan ada di Pusat, sedangkan Pemerintah Provinsi hanya punya kewenangan Rehabilitasi di Luar Kawasan Hutan Negara. Beban dan tanggung jawab yang sangat besar diemban oleh Pemerintah Pusat yang sangat terbatas tangannya sampai ke Daerah.
Rehabilitasi dan Reklamasi
Sebagaimana diketahui penetapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah kewenangan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang awalnya sampai ke tingkat Kabupaten/Kota menjadi hanya sampai ke Tingkat Provinsi. SDA yang dimaksud adalah Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Mineral, dan Sumber Daya Kelautan, dengan demikian dalam struktur pengaturan urusan SDA nyaris tidak ada lagi urusan SDA di level Kabupaten/Kota.
Apabila dicermati lagi dalam lampiran UU 23 tahun 2014 yang merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undangnya, terdapat satu tugas dan fungsi yang penting sampai tingkat lapangan tetapi kewenangannya justru hanya di Pemerintah Pusat, yaitu Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, sebagaimana dicantumkan dalam lampiran BB. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, Sub Urusan Pengelolaan Hutan pada kolom 3 (Pemerintah Pusat). Sedangkan pada Sub Urusan yang sama terkait Rehabilitasi ada di kolom 4 (Pemerintah Provinsi) menyatakan bahwa Pelaksanaan Rehabilitasi di Luar Kawasan Hutan Negara. Dengan logika sederhana dapat diartikan bahwa Pemerintah Provinsi tidak mempunyai wewenang melakukan Rehabilitasi di dalam Kawasan Hutan Negara, padahal dalam Kawasan Hutan Negara masih terdapat banyak areal/lahan yang kritis, yang dalam proses penanganannya memerlukan dukungan dan keterlibatan semua pihak dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Data Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDAS HL) tahun 2013 (catatan: data terupdate belum ada) menunjukkan luasan lahan sangat kritis seluruh Indonesia mencapai sekitar 24,3 juta Ha, di dalam kawasan hutan mencapai sekitar 15,58 juta Ha (64 %), sedangkan di luar kawasan hutan mencapai sekitar 8,72 juta Ha (36 %). Apalagi untuk luar Kawasan Hutan Negara lahan sudah ada pemilik dan pengelolanya, tugas Pemerintah lebih banyak ke fasilitasi dan mendorong partisipasi pemilik dan pengelola lahan.
Tanggung jawab besar tersebut ditegaskan dalam RPJMN tahun 2014–2019 (jumlah lahan kritis berkurang sekitar 5,5 juta Ha sampai tahun 2019) dan juga dimandatkan dalam PP 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang dalam ketentuan umum dinyatakan bahwa: Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Yang berarti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dilakukan di seluruh areal, baik di Kawasan Hutan Negara maupun di Luar Kawasan Hutan Negara.
Apabila mencermati aturan-aturan tersebut, secara sederhana diartikan rehabilitasi dalam Kawasan Hutan Negara hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Rehabilitasi di Luar Kawasan Hutan Negara hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Konsekuensinya adalah apakah akan efektif pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk mencapai target output dan outcome yang ingin dicapai, yang notabene menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk menyediakan sumber daya manusia, anggaran, serta organisasi untuk melaksanakannya. Walaupun tentu ada upaya Pemerintah mengoptimalkan sumber daya lain untuk support rehabilitasi hutan (bisa dari swasta, kelompok masyarakat dan lain-lain), tapi biasanya tidak secara signifikan mendorong percepatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Seperti diketahui sumber anggaran Pemerintah Pusat selama ini tidak memadai dan biasanya khusus untuk Rehabilitasi dalam kawasan hutan (sebelum berlakunya UU 23 tahun 2014) pelaksanaannya didukung bersama dengan menggunakan Sumberdaya SDM, anggaran dari Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Itupun target rehabilitasi hutan dan lahan sulit tercapai. Maka ke depan alarm akan menyala merah untuk penanganan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (khususnya dalam Kawasan Hutan Negara).
Apabila menimbang Organisasi KPH sebagai operator pengelolaan hutan di tingkat tapak, yang menjadi tangan Pemerintah Provinsi (khususnya yang menangani Hutan Lindung dan Hutan Produksi), maka akan menjadi masalah karena KPH tidak bisa melaksanakan Rehabilitasi hutan dalam kawasan Hutan Negara yang notabene adalah menjadi wilayah kerja KPH yang bersangkutan serta menjadi penanggung jawab terhadap pengelolaannya.
Nasib Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Rehabilitasi hutan dan lahan sesuai per definisi bertujuan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Dengan demikian rehabilitasi hutan dan lahan keberhasilannya tidak ditentukan oleh waktu tertentu tetapi sampai suatu saat dimana lahan tersebut mampu memenuhi tujuannya. Pola penganggaran dalam sebagian besar praktik rehabilitasi hutan dan lahan selama ini (sampai dengan tahun 2017) dilakukan dengan pola sebagai berikut:
- Dana APBN melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS HL) melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan selama 3 tahun mulai penanaman di tahun pertama (P0), pemeliharaan di tahun kedua (P1), Pemeliharaan di tahun ketiga (P2). Selanjutnya diserahkan ke pengelola dalam hal ini kalau HL dan HP ke Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Provinsi, dan selanjutnya menjadi tanggung jawab pengelola.
- Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi melalui APBD dan atau sumber daya lain meneruskan pemeliharaan areal tersebut sampai tujuan tercapai.
Dengan mulai efektifnya UU 23 tahun 2014, maka pola seperti itu sudah berubah. Beberapa hal berikut, akan menjadi kendala dalam keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan ke depan:
- Kabupaten/Kota tidak punya kewenangan dan tanggung jawab melakukan pemeliharaan RHL.
- Pemerintah Provinsi melalui Pengelola operasional pengelolan hutan di tingkat tapak yaitu Kesatuan Pengelolaa Hutan (KPH) tidak bisa menganggarkan RHL dalam kawasan hutan negara, termasuk biaya pemeliharaan setelah tahun ketiga (P2) sampai keberhasilannya dimasa mendatang. Padahal KPH memikul tanggung jawab hasil kegiatan yang di berada di wilayahnya.
- Keterbatasan APBN, padahal seharusnya APBN membiayai pemeliharaan tidak terbatas sampai tahun ketiga (P2), sesuai perintah UU 23 tahun 2014.
Fakta ini tidak dapat dianggap remeh karena akan sangat menentukan keberhasilan dan kelestarian hasil rehabilitasi yang sekaligus sebagai salah satu bentuk tanggung jawab terhadap komitmen Pemerintah RI dalam mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia, selain aktivitas hijau lainnya (Energi terbarukan, pencemaran lingkungan dll).
Contoh sektor lain terkait dengan pemberlakuan UU 23 tahun 2014 ini yang berakibat buruk adalah di sektor pendidikan, misal pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Surabaya dan beberapa Kota lainnya, dimana penarikan kewenangan ke Provinsi menjadikan pendidikan gratis setingkat SMA yang selama ini sudah disediakan oleh Pemerintah Kota menjadi tidak gratis lagi.
Dengan kewenangan seperti itu maka Pemerintah Pusat harus bisa menempatkan peran Pemerintah Provinsi (dalam hal ini KPH sebagai pengelola tingkat tapak), yang notabene adalah penanggung jawab pengelolaan hutan di Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) dalam kerangka pelaksanaan RHL kedepan.
Mencari Alternatif Solusi
Pemerintah harus memikirkan dan mencari solusi kendala dan permasalahan ini ke depan. Beberapa saran alternatif bisa dilakukan, antara lain:
- Meyakinkan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan akan besarnya tanggung jawab yang sudah beralih ke Pusat terhadap kegiatan RHL dalam Kawasan Hutan Negara, yang memaksa Pemerintah harus bertanggung jawab tidak hanya 3 tahun tapi lebih dari itu sampai mencapai tahapan RHL berhasil.
- Mencari cara/metode lain dalam pelaksanaan RHL yang selama ini dilakukan, dengan menempatkan pengelola hutan di tapak benar-benar dapat menerima manfaat sosial, ekonomi dan ekologi dari kegiatan RHL ini. RHL harus konstekstual sesuai kemanfaatan bagi tapak. Misalnya tanaman tidak sekedar tumbuh dan menjadi pohon, tapi bisa memproduksi hasil hutan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengelola tapak, walaupun ongkos per hektarnya menjadi mahal. Jadi jangan berorientasi proyek semata dan pada besarnya luasan saja tapi pada manfaat atau aoutcomenya. Dengan demikian akan ada rasa memiliki (sense of belonging dan sense of responsibility) dari masyarakat dan pengelola tapak karena ada nilai kemanfaatannya.
- Memposisikan dan memerankan Pemerintah Provinsi (dalam hal ini Dinas yang membidangi kehutanan dan UPTD nya yaitu KPH) dalam pengaturan-pengaturan kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan terkait RHL dengan lebih bertanggung jawab (artinya memerankan Pemerintah Provinsi dan sekaligus menyiapkan pembiayaannya).
Kementerian LHK dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan HL (Ditjen PDAS HL) yang mendapat beban tanggung jawab kegiatan RHL pasca UU 23 tahun 2014, mulai saat ini harus kerja lebih ekstra lagi untuk mencari solusi dan memulai langkah-langkah kebijakan dan kegiatan yang berbeda untuk memastikan RHL benar-benar berhasil.