Hambatan terhadap ekspor produk hasil kehutanan dan perkebunan Indonesia seakan tak ada habisnya. Terbaru, Uni Eropa (UE) kembali memberlakukan peraturan yang menghambat produk hasil kehutanan dan perkebunan asal negara yang dinilai mengancam kelestarian lingkungan dengan menerapkan regulasi bernama The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), yang mereka sebut sebagai bagian dari upaya mitigasi lingkungan.
Lewat regulari itu, UE akan melakukan lacak menyeluruh yang hasilnya disertai dokumen pernyataan uji tuntas (due diligence) terhadap produk hasil kehutanan dan perkebunan beserta turunannya, termasuk produk mebel dan kerajinan, yang berasal dari lahan hutan atau perkebunan yang dinilai berpotensi melakukan praktik deforestasi dan degradasi lahan/hutan.
“Regulasi non-tarrif barrier ini pada akhirnya berpotensi menghambat ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia ke benua biru,” ujar Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, dalam penjelasannya, di Jakarta, Kamis (30/05/2024).
Menurutnya, dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Bebas Produk Deforestasi Uni (EUDR) ini akan menurunkan nilai ekspor mebel dan kerajinan Indonesia ke UE. EUDR akan membuat akses pasar produk olahan kayu dari Indonesia sulit masuk ke pasar Eropa karena persyaratan bahan baku yang ketat. “Padahal, Eropa menjadi pangsa ekspor mebel dan kerajinan Indonesia yang besar,” ucapnya.
Data HIMKI menyebutkan tahun lalu, nilai ekspor produk mebel dan kerajinan nasional mencapai 444 juta dolar AS.
“Ekspor mebel dan kerajinan kita pasti terpukul akibat EUDR. Nilai itu akan berkurang jika kita tidak mampu mengikuti persyaratan EUDR. EUDR memuat pelarangan masuknya tujuh produk komoditas yang dinilai menyebabkan deforestasi,” papar Sobur.
Akibat aturan itu, jelasnya, mulai 2025, sejumlah komoditas yang terpengaruh akibat EUDR adalah minyak sawit, sapi, kayu, kopi, kakao, karet hingga kedelai. Aturan itu juga berlaku untuk sejumlah produk turunan seperti cokelat, furniture, kertas cetak, dan turunan berbahan dasar minyak sawit lain.
Sobur menegaskan, prosedur EUDR yakni uji tuntas (due diligence) untuk ketertelusuran (traceability) produk, menyulitkan eksportir mebel dan kerajinan Indonesia menembus pasar UE.
“Anggota HIMKI yang jumlahnya lebih dari 2.500, tidak semuanya akan mampu mengikuti persyaratan EUDR,” katanya.
Meskipun EUDR berlaku di negara anggota UE, namun bukan tidak mungkin negara lainnya akan meniru peratuan yang sama untuk diberlakukan.
EUDR memberi tantangan besar kepada pengusaha secara administratif yang memberikan cost yang tinggi. Kesiapan di lapangan, di Indonesia, belum memadai sehingga menghambat proses ekspor yang dikehendaki dan feed back value export kita tidak sebagus di Amerika Serikat. EUDR sendiri akan memberikan feedback yang negatif terhadap negara Eropa sendiri yang sudah mengalami declining usaha yang dialami saat ini.
Terkait dengan hambatan EUDR itu, Sobur menjelaskan kalau HIMKI berupaya membantu pengusaha mebel dan kerajinan dalam menghadapi isu-isu terkini seperti adanya peraturan yang ada di EUDR dan mendorong pemerintah untuk mengantisipasi dampak regulasi UE terkait deforestasi tersebut.
“Pemerintah juga harus yang terdepan mengantisipasi dampak EUDR dengan melakukan perundingan kerja sama atau upaya-upaya lainnya,” tuturnya.
Melansir laman resmi badan sertifikasi independen, BM Certification, pengusaha dan pedagang yang ingin menempatkan produk tersebut di pasar UE harus menerapkan sistem pemeriksaan legalitas dengan melakukan penilaian risiko dan memperoleh koordinat lokasi geografis (lintang dan bujur) dari bidang tanah tempat barang yang bersangkutan berada. Barang yang masuk ke pasar UE tidak boleh dari lahan atau wilayah di mana telah terjadi degradasi hutan atau deforestasi sejak tanggal 31 Desember 2020.
17 Negara Menolak EUDR
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan didukung berbagai pihak termasuk perwakilan Indonesia di UE, secara diplomasi menolak pemberlakuan EUDR. Selain melakukan penolakkan secara mandiri, Indonesia menggalang Like Minded Countries (LMC’s) yang terdiri dari 17 negara yang menolak pemberlakuan peraturan ini dengan menyampaikannya pada WTO.
Sebagian besar negara-negara di dunia penghasil komoditas pertanian dan peternakan yang selama ini mengekspor produknya ke pasar Uni Eropa menolak peraturan tersebut. Amerika Serikat, Indonesia, Malaysia, Argentina, Brasil, Bolivia, Ekuador, Ghana, Guatemala, Honduras, Kolombia, Meksiko, Nigeria, Pantai Gading, Paraguay, Peru, Thailand, Republik Dominika dan sejumlah negara penghasil kayu tropis lainnya tidak setuju dengan pemberlakuan Regulasi anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Regulasi yang sudah diundangkan itu berlaku efektif pada akhir tahun ini, dan bagi pelaku UKM akan berlaku pada pertengahan tahun 2025.
EUDR akan berlaku efektif dalam beberapa bulan mendatang. Regulasi ini menimbulkan masalah karena dalam setiap pengiriman produk kayu dan produk-produk turunannya, dari dan ke Uni Eropa, membutuhkan sertifikasi geolokasi.
Tidak hanya itu. karena ini juga berlaku bagi setiap item yang berbahan kayu. Geolokasi harus menunjukkan secara tepat posisi pokok kayu saat penebangan dilakukan. Celakanya, kesemuanya harus disertakan dalam setiap consignment.
EUDR yang akan berlaku efektif ini memiliki jangkauan yang meluas, tidak lagi fokus pada pencegahan pembalakan liar seperti pada EUTR. Kebijakan tersebut merugikan sebagian eksportir global, karena tidak hanya menyangkut produk furnitur kayu tapi juga hasil pertanian dan peternakan.
Peraturan EUDR disahkan oleh parlemen Eropa pada 31 Mei 2023 melalui Undang- Undang Regulation EU 2023/1115 of The European Parliament and of The Council. Tedapat 3 entitas di Uni Eropa yang menyetujui regulasi ini, yaitu Parliament, Commission, dan Council, sehingga berlaku secara resmi dan mengikat. *** Buyung N