Jutaan hektare perkebunan nasional yang berstatus ilegal, karena mencaplok kawasan hutan, kembali memperoleh peluang mendapat pemutihan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menghidupkan kembali peluang tersebut, yang pernah diberikan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2012, melalui PP No. 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Inilah PP yang diteken Presiden Joko Widodo pada 22 Desember 2015 untuk mendukung percepatan pembangunan proyek-proyek strategis yang menggunakan kawasan hutan. Selain itu, PP ini juga menyederhanakan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan, baik tukar-menukar maupun pelepasan kawasan hutan. Juga untuk menyesuaikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, yang menarik, di PP ini pemerintah kembali membuka peluang kepada pengusaha perkebunan — yang secara hukum areal kerjanya mencaplok kawasan hutan produksi ataupun konversi — untuk segera membenahi izinnya. Peluang itu pernah dibuka melalui PP No. 60/2012 yang hanya berlaku enam bulan. Bahkan, yang mengejutkan, di PP 104/2015 pemerintah juga membuka peluang perusahaan perkebunan yang terlanjur dibangun di kawasan konservasi dan hutan lindung untuk tetap menjalankan bisnisnya selama satu daur. Peluang itu semuanya terbuka di ketentuan peralihan, yakni pasal 51 ayat (1) dan (2).
Berdasarkan data Kementerian LHK, ternyata banyak pengusaha perkebunan yang bermasalah. Meski mengantongi izin kebun sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRWP/K), namun berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, izin tersebut masuk dalam kawasan hutan. Artinya, selama ini izin bisnis mereka ilegal. Sialnya, bukan hanya perusahaan kecil, tapi raksasa seperti PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk, PT SMART Tbk, atau PT Ciliandra Perkasa, bahkan PTPN V.
Kondisi itu yang ingin dibenahi pemerintah. “Ini agar tertata. Tata kelolanya biar benar,” kata Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK, San Afri Awang di Jakarta, (17/2/2016). Hanya saja, tambah Awang, proses permohonan pelepasan atau tukar-menukar dilayani jika izin kebun sesuai dengan RTRWP/K yang diterbitkan berdasarkan peraturan daerah (Perda) sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Persoalannya, adakah perusahaan kebun yang tertarik? Nampaknya kurang. Setidaknya, itu yang dikemukakan Sunggu Situmorang dari Kompartemen Otonomi Daerah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Alasannya? “Karena prosedurnya rumit. Mencari lahan pengganti juga tidak mudah,” katanya.
Benar atau tidak, masih harus dilihat, memang. Yang jelas, hitungan Kementerian LHK, setidaknya ada 1 juta hektare perkebunan yang akan mengajukan permohonan pemutihan. Bagaimana jika peluang sudah dibuka masih tidak dimanfaatkan? “Kalau sudah kami beri kesempatan, belum juga ikut proses, ya matikan saja,” kata San Afri Awang. AI