Rampas Keuntungan Pelaku Karhutla

Kebakaran hutan dalan lahan (karhutla) kembali mencoreng Indonesia, ketika asap tak hanya membuat kualitas udara di dalam negeri berkualifikasi berbahaya, tapi juga menyebrang ke jiran. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun berang. Ancaman dipasang berlapis, termasuk penerapan instrumen baru: perampasan keuntungan.

Karhutla pantas membuat malu Kementerian LHK. Segala pujian selama 3 tahun mampu menjaga kawasan hutan sepi dari asap sejak karhutla hebat 2015, lenyap akibat hangusnya kawasan hutan dan lahan seluas 135.747 hektare (ha). Apalagi, Kementerian LHK baru saja memperoleh penghargaan Global Landscape Fire Award 2019 dari Global Fire Monitoring Center (GFMC) pada 11 September 2019 berkat kegigihan dan kerja keras mengendalikan karhutla pasca kejadian dahsyat 2015.

Tidak heran, reaksi Kementerian ini terlihat keras. Rentetan ancaman bagi perusahaan yang tertangkap membakar atau terjadi kebakaran di lahan konsesinya pun makin banyak. Tidak hanya terancam sanksi administratif, perdata, dan pidana, tapi juga sanksi perampasan keuntungan. “Kami sedang pelajari untuk menggunakan instrumen perampasan keuntungan,” kata Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK, Rasio Ridho Sani di Jakarta, Jumat (20/9/2019). “Kami akan gunakan semua instrumen yang ada untuk menghasilkan efek jera,” tandasnya.

Berdasarkan Pasal 119 huruf a Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pemerintah bisa menerapkan pidana tambahan. “…terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana”.

Menurut Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, Yazid Nurhuda, untuk menerapkan instrumen perampasan keuntungan, KLHK perlu menyita dan memeriksa dokumen pembukuan perusahaan penyebab karhutla. Pemeriksaan pembukuan dilakukan untuk melihat seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari aktivitas pembakaran lahan. “Kami hitung saat Pulbaket (pengumpulan bahan keterangan),” tegas Yazid.

Nah, sejauh ini, Ditjen Gakkum KLHK per 16 September 2019 telah menyegel 48 perusahaan pemegang izin konsesi dan 1 penyegelan lahan milik perorangan dengan luas total 8.931 ha. Mereka tersebar di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Namun, pengusaha meminta pemerintah tidak gegabah. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto menyebut lahan yang terbakar dan disegel aparat hukum adalah lahan “bermasalah” akibat adanya perambahan atau konflik dengan masyarakat. “Teman-teman itu bukan tidak mau melakukan upaya pencegahan dan pengendalian karhutla. Di lapangan sudah dilakukan upaya dan usaha. Tapi di areal konflik, kami mau masuk saja tidak bisa. Jadi, jangan sampai kemudian menjadi sanksi pidana atau perdata,” pintanya. AI

Selengkapnya baca: Tabloid Agro Indonesia No 740, 24-30 September 2019