Sumberdaya Hutan, Antara Asset dan Liabilitas

Putera Parthama

Oleh: Putera Parthama (Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari tahun 2015-1018. Anggota Dewan Penguatan APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia)

Mengacu Pasal 33 UUD 45, sumberdaya hutan jelas adalah asset dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Tetapi dalam realita, sumberdaya hutan bisa juga menjadi liabilitas atau sesuatu yang menimbulkan biaya, bukan penerimaan, tergantung bagaimana mengelolanya.

Pada awal mula mulai dikelola di akhir tahun 60-an atau awal 70-an, sumberdaya hutan jelas diperlakukan sebagai asset. Bahkan ketika itu hutan adalah asset paling liquid, karena paling cepat menghasilkan devisa. Berbeda dengan sumberdaya tambang misalnya, yang harus melewati tahapan pra-eksploitasi yang rumit, pohon-pohon hutan alam hanya tinggal ditebang, diangkut, dijual. Maka setelah terbit UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, investasi pengelolaan sumberdaya hutan melesat.  Ada ratusan unit HPH (Hak Pengusahaan Hutan) – sekarang disebut PBPH  (Perijinan Berusaha Pemanfatan Hutan) — memproduksi belasan juta meter kubik log (kayu bulat) per tahun. Sumberdaya hutan menjadi salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar, sekaligus pencipta lapangan kerja, dan berkontribusi bagi penyelamatan ekonomi nasional yang terpuruk.

Tetapi dalam perjalanannya pengelolaan sumberdaya hutan tidak konsisten berada dalam trajectory yang diskenariokan.  Sebagai sumberdaya alam terbarukan (renewable natural resource) hutan sebenarnya akan pulih dan siap ditebang kembali setelah sekian puluh tahun. Demikian menurut ilmu kehutanan yang mendasari sistem TPI (Tebang Pilih Indonesia) yang diterapkan. Dengan pertumbuhan diameter rata-rata 1cm per tahun, pohon-pohon yang tidak ditebang (yang berdiameter kurang dari 50cm) pada saat logging/pembalakan pertama, 35 tahun kemudian diameternya akan bertambah 35cm dan siap ditebang pada pembalakan rotasi kedua. Tetapi itu hanya terwujud apabila selama 35 tahun tidak terjadi gangguan terhadapnya, misalnya berupa pembalakan liar.  Karena asumsi kunci ini tidak dipenuhi, maka banyak hutan bekas pembalakan yang tidak pulih kembali.  Alih-alih memberikan penerimaan yang sama pada rotasi berikutnya, malah sebaliknya banyak yang berubah menjadi hamparan belukar dan alang-alang. Sumberdaya hutan kehilangan statusnya sebagai salah satu asset utama penghasil devisa.

Pada periode selanjutnya negara mengijinkan sebagian kawasan hutan (yang terdegradasi) dijadikan hutan tanaman.  Meskipun konservasionis menganggap peralihan hutan alam menjadi hutan tanaman sebagai tindakan deforestasi (penghilangan hutan), kebijakan ini efektif mendorong Indonesia sebagai salah satu produsen pulp dan kertas terkemuka. Akan tetapi, karena devisanya berasal dari ekspor pulp dan kertas, maka ia tidak mengangkat kontribusi kehutanan, melainkan kontribusi sektor perindustrian.  Selanjutnya terjadi booming kelapa sawit dan sebagian kawasan hutan dialih-fungsi menjadi kebun, baik secara legal terencana maupun illegal. Kelapa sawit berkibar sebagai komoditas utama penghasil devisa.  Namun, lagi-lagi sumberdaya hutan sendiri semakin menyusut signifikansinya bagi penerimaan negara.

Hutan dan sektor kehutanan seakan-akan bertransformasi menjadi liabilitas ketika marak terjadi kerusakan-kerusakan lingkungan. Bahkan atas bencana banjir dan tanah longsor, yang pertama-tama dipersalahkan ialah sektor kehutanan.  Bencana yang paling menjatuhkan ialah kebakaran hutan berulang yang menyedot perhatian internasional. Dibarengi dengan maraknya isu sosial, seperti perampasan hak-hak masyarakat lokal, sektor kehutanan semakin menjadi liabilitas.  Indonesia sampai harus menerima desakan IMF untuk melakukan moratorium pengelolaan hutan alam. Kehutanan bukan lagi sumber devisa, sebaliknya seakan-akan telah memberi Indonesia nama buruk di mata internasional.

Mungkin terkait dengan itu juga, pada Kabinet Kerja Presiden Jokowi, portofolio Kehutanan yang maha luas hanya ditempelkan pada Lingkungan Hidup. Pernah seorang Menteri Keuangan mempertanyakan, sumbangan kehutanan ke PDB hanya 0,66 persen (Rp 112 T). Orang-orang kehutanan tentu cepat mengatakan bahwa itu sebuah pertanyaan yang salah.  Ada beragam peran hutan bagi kehidupan berupa  jasa lingkungan yang tidak terukur atau tidak bisa dirupiahkan, seperti keseimbangan tata-air, kelestarian sumberdaya hayati, penyerapan gas rumah kaca, sampai keindahan alam sebagai obyek wisata.  Dan dimanapun di seluruh dunia, sumbangan kehutanan relatif kecil ke PDB. Meskipun argumen itu valid, tetapi pointnya ialah bahwa Menteri Keuangan berharap nominal sumbangan kehutanan lebih tinggi.

Kembali sebagai Asset?

Dalam Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran, Kehutanan kembali berdiri sendiri. Banyak yang menyambut optimis, kehutanan kini kembali ke “khitahnya”.  Akan tetapi, itu tidak otomatis mereposisi sumberdaya hutan sebagai asset, sebagai penyumbang signifikan penerimaan negara.  Dari kiprah dan statemen-statemen Menteri Kehutanan di minggu-minggu pertama masa tugasnya belum cukup terbaca kemana sumberdaya hutan akan dibawa.  Ada yang mulai menduga bahwa Menteri Kehutanan justru akan lebih memfokuskan konservasi-rehabilitasi, disertai penegakan hukum atas perusakan hutan.  Kedua hal ini tentu sangat perlu, tetapi dampaknya dalam mengembalikan posisi sumberdaya hutan sebagai asset tidak banyak.  Bila dikaitkan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang realisasinya menuntut peningkatan penerimaan negara, Menteri Kehutanan semestinya tidak membiarkan sumberdaya hutan tidak berkontribusi signifikan.  Bila itu yang menjadi arah kebijakan, ada beberapa hal prioritas untuk dilakukan.

Pertama, mendorong kebangkitan segmen hulu. Pelaku segmen hulu industri kehutanan, yaitu PBPH, sudah lama banyak yang rontok, sisanya yang masih adapun tiarap. Dari jumlah PBPH sebanyak hampir 500 unit pada tahun 90-an, saat ini tinggal sekitar 200 unit dan sebagian tidak beroperasi. Akibatnya produksi log dari tahun ke tahun terus menurun dan tentu demikian juga PNBP.  Penyebab dari situasi ini ialah harga jual kayu bulat yang terdistorsi sangat rendah sehingga tidak menutupi ongkos produksi yang semakin tinggi.  Distori harga itu adalah konsekuensi kebijakan larangan ekspor.  Sejak tahun 80-an Pemerintah mengharuskan kayu diekspor berupa produk olahan, minimal berupa kayu gergajian dengan luas penampang tidak melebihi 15.000mm persegi (terbaru Permendag No. 23/2023).  Kebijakan hilirisasi ini pernah secara instant menjadikan Indonesia penghasil dan pengekspor kayu lapis tropis terbesar dunia pada tahun 80an.  Hilirisasi hanya sesuatu yang bagus bila menciptakan nilai tambah.  Dan untuk sumberdaya alam terbarukan, ekspor produk non-olahan sebenarnya bukan hal yang sangat membahayakan atau harmful bagi kelestarian.

Masalahnya, pengolahan kayu bulat menjadi kayu lapis tidak banyak menciptakan nilai tambah, dan kayu lapis bukanlah produk high-end tanpa substitusi sehingga permintaan pasar dan harganya mudah berfluktuasi. Lain halnya kalau kayu bulat diolah menjadi high-end product misalnya fancy furniture bernilai jual tinggi.  Alhasil, kebijakan larangan ekspor kayu bulat itu ibaratnya seperti mengolah seekor ayam yang sebenarnya laku lebih mahal sebagai ayam panggang utuh (rotserie), tetapi terpaksa diolah menjadi chiken nugget agar boleh diekspor, meskipun secara total penerimaan dari penjualan chicken nugget lebih rendah.  Kondisi yang sangat menekan pelaku usaha ini harus diatasi dengan relaksasi peraturan ekspor.  Relaksasi bisa berupa izin ekspor kayu bulat secara selektif (jenis-jenis kayu tertentu) dan peningkatan luas penampang kayu gergajian yang boleh diekspor.

Kedua, dorong investasi bisnis carbon dan percepatan realisasi perdagangan carbon. Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan mengutarakan harapannya pada penerimaan negara dari perdagangan carbon.  Pemerintah sering menekankan bahwa segala infrastruktur perdagangan carbon sudah siap. Namun realitasnya karena perdagangan carbon masih stagnan, para investor yang siap mengucurkan investasi pada bisnis carbon masih memilih wait and see menunggu kebijakan yang menghilangkan bottle neck saat ini. Salah satunya incompatibility antara SRN (Sistem Registri Nasional) Indonesia dengan sistem-sistem verifikasi internasional. Selain itu, banyak pelaku usaha yang berharap carbon trade sukarela  diberi kesempatan selain mandatori.

Ketiga, percepatan realisasi Multi-Usaha Kehutanan (MUK). Multi Usaha Kehutanan adalah sebuah keniscayaan karena pada sumberdaya hutan secara alamiah melekat multi-manfaat.  Seyognyanya multi-potensi itu dikapitalisasi untuk mengangkat kinerja sektor.  Akan tetapi perubahan orientasi usaha sebuah PBPH sebaiknya dibiarkan sebagai keputusan pelaku usaha, tanpa pembatasan-pembatasan rigid (semacam keharusan tetap menghasilkan kayu secara proporsional). Sebaiknya itu dibiarkan menjadi strategi optimasi manajerial.  Salah satu potensi yang paling menjanjikan ialah bahan baku energi biomassa. Pemerintah perlu memberikan insentif  pengembangan energi biomassa serta mendorong percepatan implementasi Permen ESDM No.12/2023 tentang co-firing PLTU.

Tentu masih ada lagi langkah-langkah terobosan lain yang bisa dan perlu dilakukan, tetapi tiga hal tadi diyakini relatif cepat membuat sektor kehutanan kembali menggeliat. Ketiganya hanya memerlukan perubahan atau relaksasi peraturan.  Terobosan-terobosan lain dengan dampak lebih long-term misalnya mendorong industri pengolahan kayu ke produk high-end, revitalisasi teknologi pengolahan kayu, penyederhanaan perizinan-perizinan, peningkatan keberterimaan produk (terkait sertifikasi), serta intensifikasi upaya promosi produk hutan Indonesia. Semua ini juga perlu dilakukan tetapi bisa subsekuen setelah ketiga hal tadi.

Sumberdaya hutan memang jangan dijadikan liabilitas melainkan dikelola sebagai sebuah asset untuk kemakmuran rakyat, terlepas dari wadah atau bentuk organisasi Pemerintah yang memegang otoritas pengelolaannya. ***