Ditunggu, Komoditas Perkebunan Bebas PPN

Demi kesejahteraan petani, kalangan usaha optimis Kementerian Keuangan segera menyetujui pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) 22 komoditas perkebunan. Bahkan, jika ingin cepat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2017 bisa diaktifkan kembali, yang membebaskan hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dari pengenaan PPN.

Optimis. Kesan itu tergambar jelas ketika Ketua Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan (FKDKP), Aziz Pane, ditanya perkembangan pembebasan PPN untuk 22 komoditas perkebunan. “Proses berjalan lancar. Bahkan, pihak Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan juga sudah memberikan lampu hijau,” ujar Aziz, Jumat (14/6/2019).

Maklum, sudah empat tahun pihaknya berjibaku agar pemerintah menerapkan kembali barang-barang pertanian, termasuk kehutanan, sebagai kategori barang strategis yang dibebaskan dari PPN. Pengenaan PPN sendiri terjadi akibat adanya putusan judicial review Mahkamah Agung No. 70P/HUM/2013 yang menganulir PP No. 31/2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Padahal, dalam salah satu pasalnya, sejumlah komoditas pertanian dan perkebunan dibebaskan dari PPN.

Memang, kata Aziz, petani masih bisa mendapatkan kembali pembayaran PPN itu melalui restitusi pajak. Hanya saja, “Kalau memang dananya bisa dikembalikan, mengapa harus diterapkan pemungutan PPN?” tanya Aziz.

Meski ada program restitusi, namun pengusaha tetap menilai berat, terutama soal waktu pengembalian yang lama, dan itupun belum tentu cair seluruhnya. Hal itu dikemukakan pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang Produksi, Bahan baku, dan Pemasaran, Gunawan Salim. Itu sebabnya, dia mendukung revisi pengenaan PPN untuk kayu bulat (log). “Log kan belum ada nilai tambahnya. Jadi memang belum layak jika dikenai PPN,” katanya.

Apalagi, nilai PPN yang tertahan sangat besar dan bisa mengganggu cashflow industri panel kayu. Berdasarkan kajian tim IPB tahun 2018, nilai PPN yang tertahan bisa hampir Rp1 triliun/tahun. Hitungannya, dengan recovery rate 50% dan produksi 2,3 juta m3/tahun saat ini, maka bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan adalah 4,6 juta m3. Dengan PPN sebesar 10% dan harga kayu bulat rata-rata diasumsikan sebesar Rp2 juta/m3, maka PPN yang tertahan selama setahun adalah Rp920 miliar.

Kementan sendiri sudah menyurati Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu sebelum Idulfitri terkait usulan pembebasan PPN tersebut. “Surat sudah dikirim Sekjen Kementan sebelum Lebaran kemarin. Namun, sampai sekarang belum ada respon dari pihak BKF,” ungkap Dirjen Perkebunan Kementan, Kasdi Subagyono, Sabtu (15/6/2019).

Sebetulnya, kata Aziz, pemerintah bisa bertindak cepat. Caranya, aktifkan kembali PP No. 31 Tahun 2007. “Pemerintah bisa saja mengaktifkan lagi PP tersebut, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk penerbitan aturan tersebut tidak butuh lama,” katanya. AI