Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan menanam dan rehabilitasi lahan kritis yang digencarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah kualitas bibit yang ditanam. Untuk itu, penggunaan bibit berkualitas pun dikedepankan.
Ibarat mendirikan bangunan, bibit pohon adalah pondasi terhadap keberhasilan menanam. Semakin bagus pondasi dibangun, semakin kokoh gedung yang berdiri. Ini berarti semakin berkualitas bibit yang digunakan, semakin baik juga pohon yang tumbuh berkembang.
Itu sebabnya, Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian LHK, Hilman Nugroho menyatakan, penggunaan bibit berkualitas terus ditingkatkan. “Kami mendorong penggunaan bibit dari sumber benih yang bersertifikat,” katanya.
Salah satu cara untuk mendorong penggunaan bibit berkualitas adalah melalui 50 persemaian permanen yang telah dibangun di seluruh Indonesia. Sejak pertama kali mulai dibangun tahun 2011, persemaian permanen telah menghasilkan tak kurang dari 86,7 juta batang bibit. Tahun ini seluruh persemaian permanen diharapkan mampu mengutilisasi kapasitas produksinya secara penuh dan memproduksi 37,5 juta batang bibit per tahun.
Bibit yang dihasilkan pun terus ditingkatkan kualitasnya, termasuk dengan menggunakan teknologi kultur jaringan. Pengembangan teknologi tersebut, selain memanfaatkan teknologi yang dimiliki oleh Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK, juga mendapat dukungan dari pemerintah Republik Korea. Teknologi kultur jaringan sangat bermanfaat untuk mendukung tanaman unggulan yang yang bibitnya sulit diproduksi secara generatif, seperti bambu.
“Dengan teknologi kultur jaringan, bibit yang dihasilkan bisa dipastikan memiliki kualitas yang sama dengan induknya. Selain itu, kuantitas produksinya pun bisa lebih banyak,” katanya.
Strategi
Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Kementerian LHK, Mintarjo mengatakan, dibangunnya persemaian permanen memang menjadi bagian dari strategi rehabilitasi hutan dan lahan. “Adanya bibit berkualitas dari persemaian permanen diharapkan bisa memberi manfaat dalam merehabilitasi lahan, meningkatkan kualitas lingkungan, memperluas hutan rakyat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Dia menuturkan, meski mampu memproduksi puluhan juta bibit, namun sesungguhnya bibit yang disediakan persemaian permanen masih jauh dari kebutuhan nasional. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, pemerintah menargetkan rehabilitasi lahan kritis seluas 5,5 juta hektare (ha). Dengan asumsi penanaman dilakukan dengan jarak 2×4 meter, penyulaman tahun berjalan 10%, dan penyulaman tahun pertama 20%, maka kebutuhan bibit secara nasional mencapai 1,43 miliar batang.
“Bibit dari persemaian permanen diiharapkan bisa menjadi stimulan untuk berkembangnya pembibitan swadaya di masyarakat,” katanya.
Untuk penyediaan bibit, Kementerian LHK masih memiliki program lain yang saling mendukung seperti Kebun Bibit Rakyat (KBR), kebun bibit pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), maupun kegiatan pembibitan dan penanaman lainnya yang dilakukan melalui intervensi kebijakan.
Mintarjo mengingatkan, persemaian permanen tak hanya berperan sebagai penyedia bibbit gratis bagi masyarakat. “Persemian permanen juga harus menjadi contoh dan sarana pembelajaran bagi kelompok tani hutan maupun masyarakat lainnya dalam memproduksi bibit tanaman hutan,” katanya. AI
Membangun Sumber Daya Genetik
Guna mendukung penggunaan bibit berkualitas, Kementerian LHK akan memfasilitasi pembangunan areal sumber daya genetik (ASDG), terutama di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Rencananya, sampai tahun 2019 akan ada 46 ASDG yang akan difasilitasi dengan luasan seluruhnya 230 hektare (ha).
Tak cuma itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) juga menetapkan sejumlah jenis tanaman hutan sebagai prioritas untuk pembangunan sumber daya genetik dan sumber benih unggul. Penetapan tersebut untuk mendukung produksi benih dan bibit unggul tanaman hutan.
“Jenis prioritas tanaman hutan dikelompokkan dalam satu region berdasarkan kesamaan sifat fisik, morfologi, dan edafik,” kata Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan Kementerian LHK, Mintarjo.
Ada enam bioregion yang ditetapkan. Keenamnya adalah bioregion Sumatera, Jawa-Madura, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku-Papua. Terdapat 33 jenis tanaman prioritas pada bioregion Sumatera, 34 jenis pada bioregion Jawa-Madura, 32 jenis pada bioregion Bali-Nusa Tenggara, 25 jenis pada bioregion Kalimantan, 25 jenis pada bioregion Sulawesi, dan 14 jenis pada bioregion Maluku-Papua. “Ada jenis tanaman yang masuk jenis prioritas di lebih dari satu bioregion,” kata Mintarjo.
Jenis prioritas yang ditetapkan bisa dimanfaatkan antara lain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu olahan, bahan baku industri pulp dan papan partikel, bahan baku energi terbarukan, dan bahan baku industri pengolahan hasil hutan bukan kayu.
Contoh tanaman yang termasuk jenis prioritas adalah Akasia (Acacia mangium, Acacia crassicarpa) yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu olahan, pulp, dan energi terbarukan, Belangeran (Shorea belangeran) yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu perkakas, Bangkirai (Shorea laevis) yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu perkakas, dan Merbau (Intsia bijuga, Intsia palembanica) yang bisa dimanfatkan untuk industri kayu perkakas.
Ada juga Gaharu (Aquilaria malacccensis, Aquilaria microcarpa) yang bisa dimanfaatkan untuk industri hasil hutan non kayu, Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu perkakas dan energi terbarukan, dan bambu gombong (Giganthocloa pseudoarundinaceacae) yang bisa dimanfaatkan untuk industri kayu perkakas, energi terbarukan, dan industri pengolahan hasil hutan non kayu.
Mintarjo menegaskan pentingnya membangun areal sumber daya genetik. Menurut dia, areal tersebut bisa menjadi sumber untuk pemuliaan tanaman hutan guna menghasilkan tanaman hutan dengan produktivitas yang lebih baik. “Areal sumberdaya genetik tidak dirancang untuk terjadinya perkawinan silang. Dijaga kemurnian jenisnya. Pemanfaatannya lebih bersifat penelitian yang terbatas,” katanya.
Sementara sumber benih unggul pemanfaatannya bisa langsung secara masal. Mintarjo menyatakan, ada banyak keuntungan dari pemanfaatan bibit yang berkualitas. Pertama adalah kualitas pohon yang bisa dipanen. Dia menjelaskan, keuntungan pertama adalah kualitas kayu yang dihasilkan saat panen.
Menurut Mintarjo, benih bersertifikat akan menurunkan sifat-sifat unggul induknya. Misalnya, batang lurus dan tidak banyak cabang. Jenis kayu itu yang dihargai mahal oleh industri. “Jadi, kalau benihnya bersertifikat, kualitas kayunya akan baik pula sehingga saat panen, harganya akan lebih baik,” katanya.
Keuntungan lain dari pemanfatan benih bersertifikat adalah produktivitasnya yang lebih baik. Menurut Mintarjo, dengan menggunakan benih bersertifikat, maka masa panen pohon bisa dipersingkat karena riap tumbuhnya lebih cepat. Contoh, jika Sengon dulu dipanen dalam waktu 6-7 tahun, kini sengon bisa dipanen dalam waktu 5-6 tahun. “Kalaupun jangka waktu panennya sama, tapi produksinya bisa lebih tinggi,” kata Mintarjo.
Sebagai gambaran, berdasarkan inventarisasi, terdapat 1.054 sumber benih dengan berbagai klasifikasi kualitas. Sumber benih itu tersebar di seluruh Indonesia dengan luas mencapai 14.463,33 hektare dan terdiri atas 263 jenis tanaman. AI
Sumber Benih di Indonesia
No | Wilayah | Jumlah Sumber Benih | Luas (hektare) | Jenis Tanaman |
1 | Sumatera | 181 | 2.516,68 | 54 |
2 | Jawa Madura | 220 | 4.021,23 | 46 |
3 | Bali Nusa Tenggara | 176 | 927,05 | 41 |
4 | Sulawesi | 276 | 1.824,53 | 52 |
5 | Kalimantan | 128 | 4.019,26 | 32 |
6 | Maluku | 73 | 1.154,58 | 38 |
Total | 1054 | 14.463,33 | 263 |
Sumber: Kementerian LHK, 2014