Keputusan pemerintah memberlakukan PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengancam investasi ratusan triliun rupiah serta memberangus dua komoditi ekspor nonmigas andalan: minyak sawit, pulp dan kertas. Pasalnya, jutaan hektare areal hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit terancam menjadi kawasan lindung dan tak boleh dibudidayakan.
Ini bukan ancaman main-main. Dengan pemberlakuan PP No.57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, lahan konsesi HTI dan kelapa sawit bisa menjadi haram dikelola. Apalagi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga sedang menyiapkan empat peraturan menteri (Permen) sebagai produk turunannya. Salah satunya adalah Permen tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut.
Dalam draft yang diperoleh Agro Indonesia, Permen ini menjadi algojo pelaksanaan PP 57/2016, terutama soal kriteria kerusakan gambut. Vonis akan dijatuhkan setelah petugas mengukur tinggi muka air tanah di konsesi HTI dan kebun sawit di lahan gambut. Jika diketahui tinggi muka air kurang dari 0,4 meter (40 cm) dari permukaan gambut, areal tersebut dinyatakan rusak. Karena rusak, lahan tersebut tidak boleh dibudidayakan dan harus dilindungi.
Itulah vonis mati yang bakal dihadapi. Apalagi jika aturan ini berlaku untuk seluruh izin, lama maupun baru. Setidaknya, dari 2,6 juta hektare (ha) konsesi HTI di lahan gambut, separuh lebih atau 60% akan berhenti beroperasi. “Hanya sekitar 40% saja yang tetap memiliki fungsi budidaya,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Ancaman yang sama juga bakal dialami oleh perkebunan sawit. Itu sebabnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) keberatan, terutama soal penetapan muka air gambut minimal 0,4 meter. Gapki menilai penetapan itu tidak punya dasar akademis yang kuat. “Sampai saat ini tak pernah ada naskah akademik terkait batas 0,4 meter,” tegas Kepala Kompartemen Riset Lingkungan Gapki, Bandung Sahari. Kalaupun ada, itu hanya berdasarkan sebuah paper ilmiah yang terbit tahun 2011 karya Erianto Indra Putra dari IPB dan Hiroshi Hayasaka dari Universitas Hokkaido, Jepang.
Jika pemerintah tetap ngotot? Simak perhitungan Purwadi. “Ada investasi HTI senilai Rp103 triliun saat ini,” katanya. Jika berhenti, maka kontribusi PNBP kehutanan Rp189 miliar/tahun, plus PBB Rp146 milar/tahun, hilang. Berikutnya, devisa dari pulp dan kertas yang mencapai 6 miliar dolar AS/tahun susut minimal 60%. Buntutnya, sebanyak 2,5 juta tenaga kerja langsung dan tak langsung di HTI serta 680.000 orang pekerja langsung dan 1,1 juta pekerja tak langsung di industri pulp terancam menganggur.
Belum lagi di industri sawit. Devisa CPO dan produk turunannya sebesar 18,65 miliar dolar AS (2015) terancam tergerus dan 7,9 juta jiwa pekerja juga bisa hilang pekerjaan. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah menghitung dampak ekonomi dan sosial PP gambut tersebut? AI