Gagasan untuk bisa membebankan hak di kawasan hutan disambut positif pelaku usaha kehutanan. Perwujudan ide revolusioner itu diharapkan bisa menjadikan sektor kehutanan kembali moncer.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irsyal Yasman menyatakan, gagasan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil sangat positif. “Jika memang bisa diwujudkan akan membuat pelaku usaha semakin optimis akan masa depan bisnis kehutanan,” katanya di Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Usulan yang dimunculkan Menteri Sofyan sejatinya bukan baru. Pelaku usaha kehutanan, baik di hulu maupun di hilir, sudah sejak lama menggulirkan ide ini. Catatan Agro Indonesia, ide untuk membebankan hak di kawasan hutan sudah mulai dimuncul sejak awal tahun 2000-an. Itu artinya, sudah 16 tahun ide ini belum juga terealisasi.
Namun, mengemukanya ide ini sekarang sangat menarik karena dimunculkan dari jajaran pemeritahan. Apalagi, yang memulai pun pejabat sekelas menteri. Bahkan, ide ini sudah dibawa ke Istana dan dibahas dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo.
“Apa yang dinyatakan oleh Pak Menteri Sofyan sangat menarik,” ungkap Irsyal.
Dia menuturkan, mengacu kepada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan turunannya, maka korporasi hanya dapat menerima izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di kawasan hutan. Izin tersebut tidak boleh dijadikan agunan kepada perbankan. Ini berbeda dengan pemegang sertifikat hak guna usaha (HGU) seperti perkebunan yang bisa dengan mudah mengagunkan untuk mendapat pembiayaan.
“Padahal, yang dikelola sama-sama lahan negara,” katanya.
Irsyal melanjutkan, izin usaha kehutanan bukan saja tidak boleh dijadikan agunan. Namun, juga tidak bisa dihitung sebagai aset perusahaan. Padahal, jika hal itu bisa dilakukan, maka neraca keuangan perusahaan akan terdongkrak. Ini bisa membuat bank melirik untuk membiayai perusahan tersebut.
Isryal mencontohkan, jika ada perkebunan dengan HGU seluas 20.000 hektare (ha) dan setiap hektarenya dinilai Rp100.000, maka aset perusahaan akan sangat signifikan. “Sementara kami yang lahannya lebih luas tidak bisa,” ujarnya.
Selain lahan yang bisa lebih luas, durasi konsesi kehutana sejatinya juga lebih panjang. Jika HGU memiliki batas waktu 25 tahun, maka pada IUPHHK masa waktu berlakunya hingga 55 tahun pada hutan alam (HPH). Bahkan pada HTI (Hutan Tanaman Industri) jangka waktu izin bisa mencapai 100 tahun! Namun, meski panjang, toh tetap tak banyak dilirik perbankan.
Irsyal menyatakan, adanya hak di kawasan hutan bukan berarti akan mengubah status dan fungsi hutan. “Yang dikelola tetap tanaman kehutanan. Fungsinya tetap hutan, hanya ada label tambahan untuk memperkuat leverage-nya,” katanya.
Irsyal mengakui, bukan perkara mudah untuk melegalkan hak di kawasan hutan. Merevisi UU Kehutanan jelas butuh waktu. Namun, katanya, ada celah yang bisa dimanfaatkan dalam UU Pokok Agraria. “Kalau pakai HGU, apalagi hak milik, bakal susah. Maka bisa memanfatkan hak pakai,” katanya.
Hak pakai juga fleksibel karena tidak dibatasi jangka waktu dan luasan. Menurut Irsyal, kajian tentang kemungkinan pembebanan hak di kawasan hutan sudah disampaikan dirinya kepada Menteri Sofyan.
Hutan tanaman
Upaya untuk menggenjot sektor kehutanan memang butuh terobosan, termasuk untuk penguatan status lahan konsesi. Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah meminta agar pelaku terus menggenjot hutan tanaman.
Ketua Umum APHI Sugiono menyatakan, upaya mendongkrak kinerja sektor kehutanan memerlukan usaha yang ekstra keras di tengah situasi perekonomian global yang kurang kondusif. Padahal, peran dan produk dari sektor kehutanan sesungguhnya sangat potensial untuk menopang perekonomian nasional. “Oleh karena itu, kelesuan perekonomian saat ini selayaknya menjadi momentum dan peluang bagi sektor kehutanan untuk bangkit kembali,” kata Sugiono.
Sejarah membuktikan, sektor kehutanan telah beberapa kali menyelamatkan Indonesia dari krisis. Namun, faktanya, kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional terus menurun dari tahun ke tahun. Data BPS (Satellite Account) tahun 2014 menunjukkan, sektor kehutanan hanya mampu menyumbang PDB sebesar 0,60%. Jika perhitungannya ditambah dengan industri berbasis kehutanan dan perdagangan, produk kehutanan menjadi 2,2%.
Menurut Sugiono, penurunan kinerja sektor kehutanan diakibatkan banyaknya perusahaan tidak aktif, yang berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. “Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah biaya transaksi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi, risiko bisnis yang meningkat, regulasi yang kurang kondusif, lemahnya status lahan kehutanan, serta harga kayu dalam negeri yang terlalu rendah,” ujar Sugiono.
Dia melanjutkan, untuk mengembalikan kejayaan bisnis kehutanan seperti pada era tahun 1990-an, mutlak diperlukan upaya-upaya riil untuk memperkokoh pondasi bisnis usaha ini. Upaya ini memerlukan terpenuhinya 2 prasyarat penting. Pertama, dari sisi internal bisnis kehutanan harus mampu dan berkomitmen untuk berinovasi mengembangkan bisnisnya, dengan dukungan kebijakan yang memadai. Kedua, bagaimana kebijakan memberikan ruang dan arah yang jelas kemana bisnis usaha kehutanan harus didorong. “Disertai pengakuan bahwa sektor ini mampu menjadi sektor unggulan strategis,” ujar Sugiono.
Untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan APHI, Februari 2016 sudah mengarahkan agar ada pergeseran orientasi pengelolaan hutan Indonesia, dari yang bertumpu pada pemanfaatan hutan alam ke arah pemanfaatan HTI. Presiden juga menginstruksikan agar segera disusun peta jalan (road map) bersama antara Kementerian LHK dan Kementerian terkait lainnya dengan APHI, untuk merumuskan strategi dalam rangka mendorong percepatan HTI dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat).
Menurut Sugiono, APHI saat ini sedang memfinalkan proses penyusunan Road Map Kehutanan, yang telah di presentasikan ke Kementerian LHK serta Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN). Sugiharto
Hutan Desa Bisa Jadi Awal
Penguatan status lahan hutan didukung oleh Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, Dodik R. Nurrochmat. Menurut Dodik, yang juga pengajar di Fakultas Kehutanan, pemberian hak yang paling dekat untuk direalisasikan adalah pada skema Hutan Desa (HD).
“Sepakat jika pemberian hak di kawasan hutan bisa meningkatkan nilai penawarannya untuk pembiayaan perbankan,” katanya.
Apalagi, di tengah belum optimalnya pengelolaan hutan oleh negara. Menurut Dodik, kawasan hutan diklaim sebagai aset negara, namun negara belum benar-benar mengelolanya sebagai aset. “Sebagai aset, seharusnya negara tahu persis bagaimana kondisi kawasan hutan. Kenyatannya kan tidak,” katanya.
Dia mencontohkan pengelolaan aset negara seperti pada perangkat furnitur atau properti lainnya. Setiap barang diketahui kondisinya, bahkan ada nomor registrasinya. Ini belum terjadi pada kawasan hutan.
Dodik mengingatkan, gagasan untuk membebankan hak pada kawasan hutan bisa jadi akan mentah sejak dini. Pasalnya, UU Kehutanan tak memungkinkan hal itu. Hak yang paling mungkin bisa dibebankan adalah dalam skema HD. Dalam skema tersebut, pemerintah bisa memberikan hak pengelolaan HD. Hak pengelolaan ini secara status jauh lebih kuat ketimbang izin.
Namun, lagi-lagi Dodik mengingatkan potensi ganjalannya. Menurut dia, prosedur penerbitan HD yang panjang dan birokratis membuat realisasinya rendah. Terbukti, hingga saat ini belum banyak HD yang telah diterbitkan.
Berdasarkan data Kementerian LHK, sampai awal 2016, baru ada 117.838 ha HD yang sudah ditetapkan. Untuk diketahui, peta areal kerja HD ditetapkan oleh Kementerian LHK, sementara hak pengelolannya di terbitkan oleh Pemerintah Daerah. Sugiharto