Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan hak kepemilikan lahan hutan untuk menggairahkan bisnis kehutanan. Selain menarik minat perbankan, hak kepemilikan juga akan meningkatkan akuntabilitas pengelolaan. Bagaimana dengan UU 41/199 berikut turunannya yang jadi ganjalan? Indonesia bisa menerapkan prinsip omnibus law dalam menyusun aturan baru.
Inilah kejutan yang dilontarkan Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil. Bisnis kehutanan yang dijauhi kalangan perbankan harus punya daya ungkit, dan tidak cukup dengan pemberian izin hutan tanaman yang bisa diperpanjang sampai 100 tahun saja. Dibutuhkan status lahan yang bisa setara dengan perkebunan, misalnya, sehingga perbankan pun mau membiayai.
“Dengan hak kepemilikan akan meningkatkan leverage dan accountability-nya,” kata Menteri Sofyan di Jakarta, Kamis (15/9/2016), saat membuka Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun 2016.
Apalagi, dia menilai tanggung jawab pemegang konsesi hutan dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan juga setara. “Secara de facto, tanggung jawab pengusaha hutan yang punya konsesi 1 juta hektare itu sama dengan pemilik HGU 1 juta hektare. Namun, yang satu tak punya leverage dan pinjam uang, yang satu lagi bisa,” ujar Sofyan.
Itu sebabnya, dia mengaku gagasan pemberian hak di kawasan hutan sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri Kabinet Kerja, termasuk Menteri LHK Siti Nurbaya, dalam rapat terbatas beberapa waktu lalu. Sofyan mengaku tidak aneh jika konsesi hutan berbasis rakyat pun, seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), tidak berkembang. Masyarakat kesulitan dapat pembiayaan. “Karena tak ada HGU-nya, tidak dapat pembiayaan untuk penanaman,” katanya.
Ini memang bukan barang baru. Apalagi, usul itu menabrak UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan produk turunannya. Maklum, izin pemanfaatan kawasan hutan tak bisa dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain. Izin juga tidak dapat dipindah-tangankan tanpa persetujuan dari pemerintah. Jadi, tidak aneh jika Menteri LHK Siti Nurbaya juga menyatakan kepada Presiden perlu dilakukan kajian serius dan mendalam, termasuk hukum tata negara dan politik. “Karena masalah tanah ini banyak aspek,” ujar Siti.
Sofyan mengaku akan terus mengusung perubahan ini di internal pemerintahan. Bahkan dia mengusulkan diadopsinya prinsip omnibus bill atau omnibus law, di mana DPR dan pemerintah tak perlu merevisi satu per satu UU yang ada, tapi cukup membuat satu UU baru yang mengamandemen pasal-pasal dalam beberapa UU sekaligus. Menarik, memang. Asal bukan soal perebutan kewenangan saja. AI