Demi Intensifnya Rehabilitasi

Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No P.77/2015 menuai kritik dari kalangan organisasi masyarakat sipil. Meski demikian, ketentuan ini sangat adil dari sisi ketegasan sanksi dan upaya pembinaan bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan, prinsip dari Permen LHK No P.77/2015 adalah pembinaan bagi pemegang IUPHH yang lalai menjaga arealnya dari kebakaran. Berdasarkan ketentuan itu, pemegang izin diperintahkan untuk merehabilitasi areal eks kebakaran. “Jika setelah dua tahun sudah tidak ada masalah, pengelolaannya bisa dilanjutkan,” katanya, Rabu (16/3/2016).

Menteri Nurbaya menegaskan bahwa pihaknya tidak akan begitu saja mengembalikan areal eks kebakaran kepada pemegang izin. Dia menjelaskan, Kementerian LHK memberi peringatan keras kepada pemegang izin yang lalai menjaga konsesinya dari kebakaran. Oleh karenanya, pemerintah mengambil alih areal yang terbakar.

Namun, pengambilalihan ini bukan berarti luas konsesi pemegang izin langsung dipotong. Jika hal itu dilakukan akan memberi dampak besar terhadap perekonomian nasional. Di sisi pemotongan luas konsesi juga dihindari agar tidak mempengaruhi legalitas perusahaan.

“Jadi, areal yang terbakar kami ambil dalam arti itu menjadi kontrol pemerintah, dan perusahaan diminta untuk mengintensifkan rehabilitasi,” kata Menteri Nurbaya.

Jika setelah dua tahun ternyata pengelolaan di areal eks terbakar itu masih bermasalah, maka pemerintah akan mempertimbangkan untuk mengadendum luas surat keputusan tentang luas konsesi IUPHH. Pengelolaan konsesi akan dikembalikan kepada pemegang izin jika setelah masa monitoring dan evaluasi pengelolaan lahan eks terbakar sudah tidak menghadapi persoalan.

Menurut Menteri Nurbaya, nantinya Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional juga segera mengeluarkan ketentuan sejenis untuk mengatur penanganan areal terbakar pada konsesi perkebunan.

Tata cara

Mengacu kepada prosedur yang diatur dalam Permen LHK No P.77/2015, pengambilalihan lahan konsesi eks kebakaran dilakukan setelah pemegang IUPHH menyerahkannya kepada Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan dengan berita acara.

Areal tersebut kemudian diverifikasi dan dilakukan pemetaan zonasi fungsi ekosistem. Verifikasi dilakukan oleh Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dengan kegiatan berupa pemeriksaan areal yang terbakar, kesesuaian jenis tanaman dengan memperhatikan kearifan lokal, serta kondisi sosial dan masalah tenurial. Selain itu juga dilakukan pemetaan areal yang terbakar.

Sementara pemetaan zonasi fungsi ekosistem dilakukan oleh Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan inventarisasi ekosistem gambut dengan menggunakan citra satelit atau potret udara pada areal yang terbakar. Kemudian dilakukan penetapan fungsi ekosistem gambut yang terdiri zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya.

Pemegang izin sendiri punya kewajiban untuk melakukan pemetaan dengan supervisi Kementerian LHK. Pemegang izin juga wajib melakukan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Untuk mencegah kebakaran, pemegang izin juga diharuskan untuk membuat sekat kanal pada areal gambut serta menjaga kebasahan gambut (rewetting) dan melakukan pengamanan areal kerja yang terbakar.

Berdasarkan hasil verifikasi dan zonasi gambut yang sudah dilakukan, maka ditetapkan peta areal terbakar. Peta ini ditetapkan dalam keputusan Menteri LHK sebagai Addendum Kesatu terhadap IUPHH. Adendum mencakup lokasi dan luas areal, areal terbakar yang tidak dapat dimanfaatkan selama periode evaluasi, dan kewajiban lainnya bagi IUPHH.

Monitoring dan evaluasi terhadap progres seluruh kegiatan tersebut. Hasilnya akan menjadi bahan pertimbangan bagi Menteri LHK untuk menentukan tindak lanjut pengelolaan atas areal yang terbakar.

Ada tiga skema yang disediakan. Skema pertama adalah pengelolaan dilanjutkan oleh pemegang izin dengan penyesuaian teknis dan kondisi lapangan. Skema kedua, areal eks terbakar dikelola dalam program strategis pemerintah untuk pembangunan nasional. Misalnya restorasi ekosistem, konservasi, suaka, dan  pengembangan wilayah.

Sementara skema yang ketiga adalah melalui program perhutanan sosial dengan pola hak kelola Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat.

Jika skema pertama yang dipilih, maka akan ditetapkan oleh Menteri LHK lewat addendum kedua terhadap IUPHH.

Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead menilai, Permen LHK No P.77/2015 sebagai sesuatu yang adil dalam upaya restorasi gambut yang terbakar. “Kalau negara mengambil alih semua, biaya restorasinya akan besar. Jadi, saya pikir ini adil,” katanya.

Berdasarkan perhitungan, ada sekitar 2,6 juta hektare (ha) hutan dan lahan yang terbakar pada tahun 2015 lalu, di mana sekitar 900.000 ha berupa lahan gambut. Mengacu data yang dibuat World Recourses International (WRI), sekitar 42% kebakaran terjadi di areal konsesi perusahaan, 20% di hutan lindungan dan kawasan konservasi, dan sisanya di lahan milik masyarakat.

Menurut Nazir, kebakaran pada konsesi perusahaan tak lepas dari kelalaian pemegang konsesi. Untuk itu, mereka harus bertanggung jawab. Pemerintah mendorong untuk dilakukan restorasi pada areal tersebut, sesuai perintah Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. “Kalau  dalam waktu dua tahun berhasil direhabilitas, areal tersebut bisa dikelola kembali. Tapi kalau gagal, akan ada tindakan yang lebih tegas,” katanya. Sugiharto

Menghindari Kebakaran Susulan

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soperihanto menyatakan, anggota APHI siap untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk merestorasi areal eks kebakaran. Untuk itu, dia berharap pemerintah segera mencabut sanksi pembekuan izin yang pernah dijatuhkan kepada sejumlah perusahaan.

Menurut dia, untuk pencabutan sanksi pembekuan, beberapa perusahaan yang dikenai sanksi sudah mengikuti persyaratan yang diminta Kementerian LHK, termasuk pernyataan untuk menyerahkan areal yang terbakar, peningkatan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran, serta persyaratan lainnya.  Pihak Kementerian LHK nantinya akan melakukan verifikasi lapangan terhadap pemenuhan persyaratan tersebut. “Kami berharap verifikasi berlangsung cepat sehingga perusahaan bisa kembali beroperasi,” katanya.

Dia mengingatkan, pencairan pembekuan izin diperlukan agar perusahaan tersebut bisa segera melaksanakan perintah untuk merestorasi areal yang terbakar dan mencegah munculnya kebakaran susulan. Apalagi, saat ini titik api terus muncul di Sumatera dan Kalimantan. Perusahaan yang dibekukan izinnya otomatis tidak beroperasi sehingga kawasan konsesi mereka relatif tanpa penjagaan.

“Dengan dicabutnya sanksi, pencegahan kebakaran akan diintensifkan. Industri dan perekonomian pun bisa berjalan kembali,” katanya. Sugiharto