Industri komoditi mencetak rekor laba kotor (gross profit) lebih dari 115 miliar dolar AS (Rp1.725 triliun dengan kurs Rp15.000/dolar AS) dari aktivitas perdagangan tahun lalu. Meledaknya keuntungan itu akibat volatilitas harga energi akibat perang di Ukraina, sehingga terjadi perubahan besar di pasar.
Keuntungan terbesar kebanyakan diraih oleh perusahaan-perusahaan dagang (trading house) independen, seperti Trafigura, Vitol dan Glencore, yang punya neraca untuk tetap bertahan di pasar, demikian hasil penelitian baru yang dilakukan Oliver Wyman.
“Tahun ini merupakan tsunami sempurna untuk seluruh komoditi, dilihat dari perspektif peluang perdagangan,” ujar Ernst Frankl, seorang mitra di lembaga konsultan Oliver Wyman dan salah satu penulis laporan tersebut. “Volatilitas merupakan aliran darah yang dibutuhkan buat trader untuk melakukan trading.”
Krisis energi Eropa dipicu oleh perang di Ukraina, serta diterapkannya sanksi terhadap komoditi tertentu Rusia, yang mendorong terjadi peralihan besar dalam arus perdagangan global, sehingga membuat waktu tempuh pelayaran lebih panjang serta terjadi volatilitas harga untuk semua kelas komoditi.
Laba kotor perdagangan di sektor ini — termasuk perbankan, hedge fund, trader independen dan trader-trader yang didukung aset seperti perusahan energi utama — melonjak sampai 115 miliar dolar AS atau naik 60% dari setahun sebelumnya dan hampir tiga kali lipat lebih tinggi ketimbang era sebelum pandemi, menurut hasil studi.
Para pelaku keuangan, seperti pengelola dana (hedge fund) juga menikmati cuan, di mana keuntungan ditaksir mencapai 12 miliar dolar AS dari aktivitas trading pada 2022. Angka itu jelas lonjakan besar karena setahun sebelumnya hanya meraup cuan 3 miliar dolar AS.
Bonanza keuntungan di kalangan perusahan energi pada tahun lalu itu juga menaikkan keprihatinan politik di Brussels dan di Washington, di mana Presiden Joe Biden menuduh mereka “mengambil untung dari perang” dan mengancam menerapkan pajak atas rejeki nomplok (windfall profit) kepada perusahaan-perusahaan minyak.
Meski trader komoditi sejauh ini terhindar dari ancaman pengenaan pajak yang sama, namun kinclongnya cuan mereka tetap jadi sorotan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan dagang (trading house) yang menggerakkan bahan mentah ke seluruh dunia.
Glencore, trading house yang berbasis di London, melaporkan pendapatan bersih 7 miliar dolar AS pada tahun fiskal yang berakhir September. Pendapatan itu naik lebih dari gabungan cuan selama empat tahun sebelumnya.
Namun, perang Ukraina bukan satu-satunya faktor yang berkontribusi terhadap ledakan keuntungan. Permintaan terhadap komoditi juga meningkat selama 2022, ketika aktivitas ekonomi bergairah lagi setelah adanya pelonggaran pembatasan selama pandemi dan ekonomi global tumbuh, kata Adam Perkins, mitra di Oliver Wyman.
“Bagaimanapun kita melihat kurangnya investasi dan produksi di seluruh komoditi,” ujar Perkins seperti dikutip Financial Times. “Bagaimanapun kami kemungkinan melihat volatilitas yang meningkat (pada 2022).”
Di antara berbagai kelas komoditi, perdagangan gas, listrik dan karbon lah yang berkontribusi memberi cuan paling besar, di mana keuntungan industri dari tiga segmen ini melonjak 90% pada 2022 dibandingkan setahun sebelumnya.
Laporan itu memperkirakan margin laba kotor para perusahaan dagang tersebut — yang mengacu pada selisih antara harga jual dan harga beli, dikurangi biaya-biaya langsung seperti transportasi dan pembiayaan. Margin kotor merupakan ukuran utama para trader yang dipakai untuk menilai kinerja mereka sendiri. AI