Desakan AMKRI Jadi Senjata UE

BISNIS/PAULUS TANDI BONE Pekerja memotong kayu bulat di Makassar, Selasa (31/7). Data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan realisasi produksi kayu alam Janauri-Mei 2012 hanya 600.000 m3 atau 6,7% dari target 9 juta m3.

Kalangan produsen furnitur dan kerajinan rotan menilai, masih adanya kendala yang dihadapi Indonesia dalam kegiatan ekspor produk hasil kayu dan rotan ke Uni Eropa (UE) menunjukkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak perlu diwajibkan untuk seluruh sektor industri.

“Kami tetap berpendapat kalau SVLK hanya boleh diterapkan di industri hulu saja untuk mencegah terjadinya aksi penebangan liar atau penyelundupan kayu. Sementara untuk industri hilirnya tidak perlu lagi,” kata Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Abdul Sobur, akhir pekan lalu.

Menurut Sobur, sikap Uni Eropa yang masih menempatkan produk-produk hasil kayu dan rotan asal Indonesia pada jalur merah dalam pemeriksaan barang di bea cukai negara-negara Uni Eropa merupakan bukti SVLK belum menjadi jaminan mulusnya produk hasil kayu dan rotan Indonesia memasuki pasar negara-negara di Uni Eropa.

“Karena itu, SVLK tidak perlu dipaksakan untuk diterapkan di semua sektor industri hasil kayu dan rotan,” ucapnya.
Sobur menyatakan, saat ini Indonesia sedang berusaha meningkatkan nilai ekspor produk furnitur. Dalam lima tahun mendatang, AMKRI mematok target nilai ekspor produk furnitur Indonesia bisa mencapai 5 miliar dolar AS. Tahun lalu, Indonesia hanya mampu meraup nilai ekspor produk furnitur sekitar 1,7 miliar dolar AS. Sementara untuk ekspor furnitur berbasis rotan, pada tahun 2014 nilai ekspor Indonesia hanya mencapai sekitar 202 juta dolar AS. Padahal, nilai perdagangan furnitur dunia pada tahun 2014 mencapai sekitar 111 miliar dolar AS.

Saat ini pasar furnitur dunia masih didominasi Tiongkok. Adapun Malaysia dan Vietnam masuk dalam jajaran 10 pemain besar utama dunia. Padahal, negara-negara tersebut minim bahan baku kayu dan rotan
Agar bisa mencapai target nilai ekspor produk furnitur kayu dan rotan sebesar 5 miliar dolar AS, ungkap Sobur, diperlukan dukungan dari berbagai sektor, baik dalam hal regulasi, penyediaan bahan baku dan pendanaan.

“Untuk menggenjot ekspor, kami butuh dukungan. Sementara penerapan SVLK bisa menghambat ekspor produk furnitur dan rotan,” ucapnya.

Cukup DE
Sobur menegaskan lagi bahwa pihaknya meminta agar pemerintah hanya menerapkan SVLK di industri hulu saja dan untuk industri hilirnya, cukup dengan menerapkan deklarasi ekspor (DE) saja.

Dia juga menyanggah kalau tren kenaikan nilai ekspor produk kayu dan rotan saat ini dikarenakan adanya penerapan SVLK, sehingga negara-negara pengimpor mau menerima produk hasil kayu dan rotan dari Indonesia.
“Kenaikan nilai ekspor yang terjadi saat ini bukan dipicu oleh adanya SVLK, tetapi disebabkan peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar internasional,” tegasnya.

Dijelaskan, dengan makin membaiknya desain yang dibuat para produsen serta makin tingginya daya saing seperti soal harga jual yang lebih murah, menjadikan produk hasil kayu dan rotan Indonesia mendapatkan tempat di pasar internasional.

“Negara-negara yang tidak menerapkan SVLK, seperti Vietnam dan Tiongkok, yang sulit mendapatkan bahan baku kayu yang legal, juga nilai ekspornya sangat besar,” tutur Sobur.

Desak UE
Sementara pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk mendesak negara-negara Uni Eropa agar memuluskan ekspor produk hasil kayu dan rotan Indonesia yang sudah memenuhi persyaratan SVLK.

“Kita memang perlu mendesak negara-negara di kawasan itu untuk mempermudah ekspor produk hasil kayu dan rotan kita karena sudah menerapkan SVLK,” ujar Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kementerian Perindustrian, Pranata.

Menurut Pranata, pihaknya menginginkan agar SVLK memiliki dampak positif bagi kegiatan ekspor produk hasil kayu dan rotan Indonesia, bukan menjadi penghambat kegiatan ekspor.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, pertumbuhan industri kayu, barang dari kayu dan gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya untuk periode Januari-Maret 2015 hanya mencapai 0,88%. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,87%.

Sementara untuk industri furnitur, tingkat pertumbuhannya pada periode Januari-Maret 2015 mencapai 5,13% atau jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan yang dialami industri tersebut pada periode yang sama tahun lalu sebesar 2,4%. B Wibowo