Dinamika EUDR: Dari Penundaan hingga Amandemen, Bagaimana Indonesia Bersiap?

Diah Suradiredja

Oleh:  Diah Y. Suradiredja (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan – IPB)

Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) telah menjadi salah satu kebijakan UE dengan perkembangan yang sangat dinamis dalam proses penerapannya. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa produk yang memasuki pasar UE tidak berasal dari lahan deforestasi atau berkontribusi pada degradasi hutan. Namun, perjalanan menuju implementasinya tidaklah mulus. Penundaan jadwal, usulan amandemen, dan diskusi politis menciptakan dinamika baru yang menantang sekaligus membuka peluang bagi negara-negara produsen komoditas seperti Indonesia.

Jika dilihat proses sejak awal, EUDR merupakan salah satu kebijakan yang paling ambisius dalam mewujudkan tujuan European Green Deal. Namun, dinamika yang terjadi sejak pengesahan hingga amandemen menunjukkan adanya ketegangan antara visi lingkungan Uni Eropa dan realitas rantai pasok global. Penundaan implementasi dan penambahan kategori “no risk” adalah bukti nyata bahwa kesenjangan ini masih memerlukan waktu dan strategi untuk dijembatani.

Keputusan untuk menunda implementasi selama 12 bulan, meskipun mengindikasikan fleksibilitas, juga mencerminkan tekanan dari berbagai pihak yang mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap perdagangan global. Dari sisi ekonomi, rantai pasok internasional, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, menghadapi tantangan untuk memenuhi standar keberlanjutan yang tinggi. Regulasi ini secara tidak langsung menuntut investasi besar dalam sistem ketelusuran, sertifikasi, dan teknologi pendukung lainnya.

Namun, terdapat peluang signifikan yang bisa dimanfaatkan. Penundaan ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk memperkuat kebijakan domestiknya sekaligus menginisiasi langkah-langkah strategis agar dapat bersaing dalam pasar Uni Eropa. Dengan adanya kategori “no risk,” Indonesia memiliki kesempatan untuk menonjolkan keberhasilan seperti pengurangan deforestasi dan implementasi kebijakan keberlanjutan, asalkan dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Uni Eropa.

Penundaan Implementasi dan Usulan Amandemen

Pada 16 Oktober 2024, Dewan Uni Eropa menyetujui proposal Komisi Eropa untuk menunda implementasi EUDR selama 12 bulan, dari 30 Desember 2024 menjadi 30 Desember 2025. Penundaan ini merespons kekhawatiran negara anggota, negara non-Uni Eropa, dan pelaku usaha global terkait kesiapan rantai pasok memenuhi persyaratan regulasi. Meski begitu, usulan ini masih memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa.

Sebelum keputusan final diambil, kelompok European People’s Party (EPP) mengajukan 15 amandemen terhadap proposal tersebut. Salah satu amandemen utamanya adalah memperpanjang penundaan hingga 24 bulan, sehingga penerapan dimulai pada 30 Desember 2026 untuk pelaku usaha besar dan 30 Juni 2027 untuk usaha kecil dan mikro. Selain itu, EPP mengusulkan kategori “tanpa risiko” (no risk) dalam sistem klasifikasi risiko negara. Kategori ini dirancang untuk memberikan persyaratan pelaporan lebih sederhana bagi negara dengan tingkat deforestasi minimal atau nihil.

Walaupun amandemen ini diusulkan, prospek penerimaan di Parlemen Eropa masih penuh ketidakpastian. Mayoritas diperlukan untuk mengesahkan perubahan ini, tetapi dukungan dari fraksi lain tampaknya sulit didapat. Kelompok Sosial Demokrat (S&D), Liberal (Renew), Hijau, dan Kiri umumnya skeptis terhadap amandemen yang dipandang dapat melemahkan EUDR.

Faktor lain yang menambah kompleksitas adalah perbedaan sikap di antara kelompok-kelompok sayap kanan, seperti Patriots for Europe, ESN, dan anggota non-terafiliasi. Kelompok-kelompok ini cenderung tidak mendukung EUDR sama sekali dan mungkin lebih memilih amandemen yang bertujuan menunda atau melonggarkan regulasi lebih lanjut. Hal ini memperumit prediksi mengenai hasil akhir pemungutan suara.

Reaksi Global dan Implikasi bagi Indonesia

Keputusan penundaan dan penambahan kategori baru memunculkan beragam reaksi. Organisasi pertanian di Brasil menganggap kategori “no risk” sebagai diskriminatif, karena hanya negara tertentu yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Sementara itu, negara Uni Eropa seperti Finlandia dan Swedia mempertanyakan dampaknya terhadap pasar tunggal Uni Eropa. Beberapa perusahaan besar di industri makanan menentang perubahan yang diajukan EPP, mengingat mereka telah menginvestasikan dana untuk mematuhi regulasi yang dirancang Komisi Eropa. Pascal Canfin, anggota Parlemen Eropa dari Prancis, memperingatkan bahwa kategori ini bisa mendistorsi pasar tunggal Uni Eropa dan justru memudahkan impor kayu dari negara non-Uni Eropa, seperti China, dibandingkan dengan Prancis atau Finlandia.

Bagi Indonesia, EUDR menghadirkan tantangan berat sekaligus peluang besar. Sebagai produsen utama kelapa sawit, kopi, dan kayu, Indonesia harus memastikan rantai pasoknya mematuhi standar keberlanjutan EUDR. Penundaan ini memberikan waktu tambahan untuk beradaptasi, tetapi kategori “tanpa risiko” berpotensi menjadi hambatan jika Indonesia tidak segera memperkuat diplomasi dan memperbaiki tata kelola keberlanjutan. Sebab, dengan adanya kategori baru pada sistem benchmarking ini.

Usulan ini tampaknya memberikan keuntungan bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang mengklaim telah menanam miliaran pohon. Jika mereka masuk kategori “tanpa risiko”, negara-negara tersebut dapat terhindar dari beban regulasi EUDR yang mahal. Selain itu, perpanjangan moratorium berguna bagi petani dan usaha kecil-menengah Eropa untuk mempersiapkan diri lebih baik.

Bagi Indonesia, perpanjangan moratorium akan memberi waktu lebih banyak untuk mempersiapkan diri memenuhi kewajiban EUDR. Meski demikian, regulasi ini tetap menjadi tantangan besar yang mahal dan menguras sumber daya bagi negara produsen seperti Indonesia. Perkembangan selanjutnya akan sangat menarik untuk diamati, termasuk apakah amandemen ini disetujui oleh Parlemen Eropa, bagaimana tanggapan Dewan Eropa, dan reaksi dari negara-negara besar seperti AS, China, serta negara produsen lainnya.

Pengesahan dan Penarikan Amandemen

Pada detik-detik terakhir sebelum pemungutan suara krusial di Parlemen Eropa, EPP menarik enam dari 15 amandemen yang diajukan. Amandemen yang dihapus meliputi perpanjangan moratorium dua tahun yang sebelumnya diusulkan, di mana tekanan internal dari anggota partai memaksa EPP untuk kembali ke perpanjangan satu tahun yang telah disepakati oleh sosialis, liberal, dan kelompok tengah-kanan. Beberapa amandemen terkait pengecualian kewajiban bagi trader juga ditarik, dengan alasan bahwa Komisi Eropa akan memperjelas panduan yang relevan.

Selain itu, tekanan dari kelompok liberal Renew Europe juga menjadi faktor penarikan amandemen. Renew, yang sebelumnya menolak proposal perpanjangan dua tahun, meminta EPP untuk menarik amandemen tersebut sebagai syarat dukungan mereka dalam voting untuk amandemen lainnya. Strategi ini bertujuan menghindari kekalahan EPP di sidang pleno dan menjaga koalisi yang rapuh.

Namun, amandemen penting yang masih ada adalah penciptaan kategori “tanpa risiko”. Kategori ini akan membebaskan negara-negara yang masuk dalam kategori tersebut dari sebagian besar persyaratan regulasi, sepanjang nagara ini memenuhi kriteria ketat, seperti stabilitas atau peningkatan area hutan sejak 1990, meratifikasi Perjanjian Paris dan hak asasi manusia, serta penegakan undang-undang konservasi hutan yang transparan.

Hasil Pemungutan Suara dan Langkah Lanjutan

Pada sidang pleno pada 14 November, Parlemen Eropa akhirnya setuju untuk menunda implementasi EUDR selama satu tahun. Proposal ini disetujui dengan 371 suara mendukung, 240 menolak, dan 30 abstain. Dengan keputusan ini, kewajiban untuk mematuhi regulasi mulai berlaku pada 30 Desember 2025 bagi pelaku usaha besar, sementara usaha mikro dan kecil diberi kelonggaran hingga 30 Juni 2026. Perpanjangan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu tambahan bagi pelaku bisnis global agar dapat mematuhi aturan tersebut tanpa mengganggu tujuan utama regulasi.

Selain itu, amandemen yang disetujui juga mencakup penambahan kategori “tanpa risiko” dalam sistem benchmark negara. Negara-negara dengan kategori ini akan menghadapi persyaratan yang jauh lebih ringan dibandingkan negara dengan kategori risiko rendah, standar, atau tinggi. Definisi negara “tanpa risiko” mencakup wilayah dengan area hutan yang stabil atau meningkat, di mana risiko deforestasi sangat kecil atau tidak ada.  Negara yang masuk kategori ini harus memenuhi kriteria tertentu, seperti stabilitas atau peningkatan area hutan sejak 1990, kepatuhan terhadap Perjanjian Paris, dan transparansi dalam implementasi regulasi anti-deforestasi. Komisi Eropa diberi mandat untuk menyusun sistem benchmark negara ini paling lambat 30 Juni 2025.

Akan tetapi, tidak semua amandemen berhasil disetujui. Salah satu amandemen yang bertujuan mengurangi kewajiban due diligence untuk semua pedagang ditolak, karena dianggap melemahkan regulasi secara drastis. Amandemen ini dilihat sebagai garis merah yang tidak boleh dilewati, mengingat pentingnya menjaga kredibilitas dan ketegasan EUDR.

Proses Negosiasi Selanjutnya

Setelah pemungutan suara, dokumen EUDR yang direvisi dikembalikan ke Komite Lingkungan Parlemen Eropa (ENVI) untuk negosiasi antar-lembaga atau trilogue. Negosiasi ini akan dimulai secepat mungkin, mengingat tenggat waktu yang semakin mendesak. Menurut laporan Euractiv, beberapa kelompok liberal dan kiri terus mendesak Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, untuk menarik proposal tersebut jika amandemen yang signifikan disahkan, sesuai dengan janjinya kepada Valérie Hayer dari Renew.

Dewan dan Parlemen memiliki waktu hingga pertengahan Desember untuk mencapai kesepakatan sebelum regulasi diberlakukan pada 30 Desember. Sesi pleno terakhir yang dijadwalkan untuk mengadopsi teks final akan berlangsung antara 16 hingga 19 Desember.

Amandemen EUDR yang diajukan oleh EPP mencerminkan ketegangan antara ambisi lingkungan dan kepentingan ekonomi. Penundaan 12 bulan yang telah disetujui memberikan kelonggaran bagi pelaku bisnis global, tetapi tetap menuntut keseriusan dalam adaptasi. Di sisi lain, penambahan kategori “tanpa risiko” memberikan peluang untuk pengakuan terhadap negara-negara yang berhasil mempertahankan kelestarian hutan, tetapi juga menuntut kehati-hatian dalam implementasinya. Ke depannya, keberhasilan negosiasi antara Parlemen Eropa dan Dewan akan menentukan nasib akhir EUDR serta implikasinya bagi rantai pasok global.

Di sisi lain, amandemen yang diajukan oleh EPP di Parlemen Eropa memicu kontroversi tambahan. Salah satu isu besar adalah bahwa langkah ini dianggap melanggar “kesepakatan gentlemanship” yang dibuat dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen. Meskipun keduanya berasal dari Jerman, tindakan EPP ini mengejutkan dan dianggap dapat memicu reaksi negatif serta ancaman jangka panjang terhadap pengambilan keputusan Uni Eropa. Beberapa pihak berspekulasi bahwa amandemen ini mungkin telah dibahas terlebih dahulu dengan Ursula untuk mengantisipasi potensi komplikasi dengan pemerintahan Donald Trump jika ia kembali berkuasa.

Selain itu, fraksi Sosialis dan Demokrat (S&D) turut mengkritik keras amandemen EPP, yang mereka anggap melemahkan kebijakan unggulan Uni Eropa di bidang lingkungan dan mengancam European Green Deal. Mereka bahkan mengusulkan agar Komisi Eropa mencabut usulan penundaan sepenuhnya jika amandemen EPP lolos. Koalisi tradisional antara EPP dan kelompok hijau terpecah, dengan EPP berkoalisi bersama sayap kanan dan ECR dalam voting ini.

Persetujuan atas proposal dan amandemen ini berarti implementasi EUDR kini memiliki landasan hukum yang lebih jelas, meskipun masih memerlukan persetujuan akhir dari Dewan Uni Eropa. Sistem country benchmarking yang akan menentukan status risiko negara-negara diharapkan rampung sebelum 30 Juni 2025. Proses ini akan diakhiri dengan publikasi resmi di EU Official Journal setelah kesepakatan trilogue antara Parlemen Eropa, Komisi, dan Dewan.

Mengoptimalkan Waktu Penundaan: Persiapan Indonesia melalui National Dashboard Indonesia (NDI)

Penundaan EUDR selama satu ini membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mempersiapkan ketertelusuran produk yang lebih kuat melalui National Dashboard Indonesia (NDI). Platform berbasis teknologi blockchain ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan ketelusuran rantai pasok komoditas Indonesia, khususnya minyak sawit. Dengan sistem pencatatan yang terdesentralisasi, aman, dan terstandarisasi, NDI memungkinkan verifikasi yang mudah terhadap asal-usul, kualitas, serta legalitas produk.

Keunggulan utama NDI adalah pencatatan yang transparan dan sulit diubah, yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar global terhadap produk Indonesia. Dengan dukungan pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas internasional, NDI juga memungkinkan Indonesia memenuhi persyaratan ketat EUDR, serta memperkuat posisinya di pasar premium yang mensyaratkan ketelusuran tinggi.

Dalam jangka panjang, pengembangan National Dashboard Indonesia diharapkan tidak hanya meningkatkan daya saing produk, tetapi juga memperluas akses pasar dan mendorong peningkatan pendapatan ekspor. Dengan NDI, Indonesia menunjukkan kesiapan dan keseriusan dalam memenuhi regulasi global, sekaligus memperkuat posisinya sebagai mitra dagang andal yang berkomitmen pada keberlanjutan. Ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah dan pelaku industri untuk berkolaborasi, menyelaraskan kebijakan nasional dengan regulasi internasional, dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global yang kompetitif.

Dampak Strategis Penundaan dan Amandemen Bagi Indonesia

Penundaan implementasi hingga 30 Desember 2025 memberi kesempatan bagi pemerintah dan pelaku usaha Indonesia untuk memperbaiki rantai pasok dan mematuhi persyaratan due diligence. Waktu tambahan ini dapat digunakan untuk mempercepat implementasi National Dashboard Indonesia. Melalui National Dashboard, Indonesia bisa mendapatkan keunggulan kompetitif melalui sistem yang dapat diverifikasi dan diandalkan.

Kategori “no risk” dalam sistem klasifikasi risiko EUDR juga menawarkan peluang strategis bagi Indonesia. Jika Indonesia mampu membuktikan keberlanjutan produk-produk unggulannya, akan ada akses yang lebih luas ke pasar Uni Eropa. Namun, ini bukanlah langkah yang mudah. Indonesia harus meningkatkan upaya diplomasi internasional untuk memastikan bahwa kriteria “no risk” tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan Uni Eropa, tetapi juga mempertimbangkan kondisi negara produsen di kawasan tropis. Selain itu, penting juga bagi Indonesia untuk mengambil sikap tegas dalam forum-forum internasional guna memastikan bahwa klasifikasi risiko ini tidak mengesampingkan keberhasilan yang telah dicapai, seperti moratorium hutan dan program perhutanan sosial.

Peluang di Balik Penundaan

Perpanjangan implementasi EUDR bukan hanya soal penundaan, tetapi juga peluang untuk berbenah dan mengambil langkah strategis. Pengembangan inisiatif seperti National Dashboard Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam memperkuat tata kelola komoditas berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya menjawab tantangan global, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra dagang yang andal dan berkelanjutan.

Namun, memanfaatkan waktu tambahan ini memerlukan koordinasi lintas sektor dan reformasi kebijakan yang terintegrasi. Pemerintah harus mempercepat tata kelola agribisnis dan memastikan bahwa produk unggulan Indonesia mematuhi standar keberlanjutan. Jika dikelola dengan baik, EUDR dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing, memperkuat kepercayaan global, dan memimpin dalam praktik keberlanjutan.

Di sisi lain, dinamika EUDR memberikan pelajaran penting bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai secara sepihak. Penundaan implementasi dan perubahan regulasi ini menunjukkan perlunya dialog konstruktif antara negara-negara produsen dan konsumen. Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk menegaskan komitmen terhadap keberlanjutan sambil memperjuangkan keadilan dalam perdagangan internasional. Dengan strategi terintegrasi dan diplomasi yang efektif, Indonesia dapat memanfaatkan regulasi EUDR sebagai momentum untuk memperkuat daya saing produknya, memperbaiki tata kelola, dan menjadi pemain kunci dalam upaya global melestarikan lingkungan. Narasi keberlanjutan yang didukung oleh diplomasi aktif dan inovasi teknologi adalah kunci bagi Indonesia untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga unggul di pasar internasional. ***