Diperlukan Inovasi untuk Atasi Permasalahan Sektor Sawit

Menurunnya harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional telah menjadi persoalan utama yang dihadapi sektor persawitan di dalam negeri karena kondisi ini berdampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan petani sawit.

“Untuk memperbaiki kondisi ini dan meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, beberapa inovasi program perlu dilakukan dalam jangka pendek dan panjang ,” ujar Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari, dalam  Diskusi online Ngopi Sawit dan Launching Buku Panduan Sawit: Perkebunan Sawit Rakyat, yang diterbitkan InfoSAWIT, di Jakarta, Kamis (10/11/2022)

Menurut Sunari, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada dalam sektor persawitan di dalam negeri. Pertama, perbaikan dukungan utk petani sawit rakyat melalui peningkatan ketepatan sasaran [pendataan petani sawit rakyat]. Kedua, dukungan perbaikan rantai pasok petani sawit rakyat/ peningkatan daya saing, semisal melakukan perbaikan tata kelola pasokan dari petani ke PKS, daya saing PKS dan perbaikan infrastruktur logistik.

“Lantas ketiga, penyediaan layanan informasi kepada petani sawit rakyat atau penyediaan referensi harga TBS dan aplikasi petani sawit,” katanya

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi, secara umum menyebutkan tiga tantangan yang dihadapi industrisawit nasional saat ini. Pertama, bersama-sama berkolaborasi dalam rantai pasok kelapa sawit, semisal dengan tetap menjaga kinerja perkebunan kelapa sawit sehingga tingkat kesejahteraan petani sekitar kebun sawit juga tetap terjaga bahkan terangkat, kendati dengan kondisi ekonomi global yang masih belum menentu.

Lantas tantangan kedua ialah terkait keberlanjutan, terlebih dari total produksi minyak sawit Indonesia mencapai 53 juta ton sekitar 70 persen produk kelapa sawit Indonesia di ekspor, sementara 30 persen diserap di tingkat domestik. Di mana pasar utama minyak sawit adalah India, China, Uni Eropa dan Pakistan. Untuk pasar Uni Eropa kata Tofan, menuntut sustainability, namun demikian persyaratan aspek keberlanjutan menjadi keniscayaan supaya bisa bertahan. “Sustainability ini memastikan kelapa sawit tetap eksis dan berkelanjutan, terlebih pemerintah sudah komit untuk tidak menambah lahan, kendati produktivitas sawit rakyat masih menjadi PR besar” katanya. Tantangan ketiga adalah terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, lantaran kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bisa berdampak serius terhadap industri, “Sebab itu kita harus sering duduk bersama,” tandas Tofan.

Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrahman, mengatakan, sawit nasional dari hulu hingga hilir memiliki peranan penting bagi pembangunan nasional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, tercatat empat aspek indikator. Pertama, menciptakan lapangan kerja sebanyak 4,2 juta orang pekerja langsung dan 12 juta orang pekerja tidak langsung. Kedua, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ketiga, Berkontribusi terhadap perolehan devisa negara, rata-rata sebesar 13,5 persen dari ekspor non migas setiap tahunnya. Dan keempat, mendorong kemandirian energi melalui bahan bakar nabati atau biodiesel yang menghemat devisa impor solar senilai  8 miliar dolar AS per tahun.

Walaupun komoditas kelapa sawit memiliki peran penting bagi pembangunan nasional, namun petani sawit masih belum maju. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto mengungkapkan, sampai saat ini kondisi petani kelapa sawit utamanya petani sawit swadaya tidak mengalami perubahan, kendati pemerintah telah menerbitkan beragam kebijakan. “Apakah semua kebijakan itu meningkatkan jumlah petani swadaya di Indonesia,” katanya.

Sebab itu, dia minta  kedepan membangun kemitraan adalah dengan membangun kemitraan yang menguntungkan dan sejajar. Lantaran dalam konteks kemitraan petani mesti adil, dan menguntungkan secara bersama baik petani maupun pabrik kelapa sawit. “Selama ini apakah kemitraan petani sudah seimbang dan sejajar, adil dan menguntungkan? Apakah pabrik sawit bersedia membagi saham kepemilikannya dengan petani?, tutur Darto.

Sampai saat ini juga, kata Darto, petani masih belum memiliki daya tawar tinggi dan tidak bisa menentukan harga TBS Sawit nya, serta bagaimana posisi tawar koperasi dengan pabrik sawit.

Ke depan, ungkapnya,  berikanlah kesempatan masyarakat untuk mengelola kelapa sawit lebih leluasa lagi. “Ini butuh kebijakan yang nyata,” tandas Darto. Buyung N