Embung yang di bangun Kementerian Pertanian (Kementan), melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), dapat dimanfaatkan untuk sektor lain, seperti perkebunan, hortikultura dan peternakan.
Direktur Irigasi Pertanian, Ditjen PSP, Rahmanto mengatakan, embung dibangun tidak semata-mata untuk sektor tanaman pangan, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk sektor lainnya, seperti perkebunan, hortikultura dan peternakan. Untuk itu, selain untuk pertanian, Rahmanto berharap embung dapat memberi nilai tambah untuk petani. Terlebih ketika mengalami gagal panen saat musim kemarau dapat dicegah melalui embung.
“Kami berharap embung dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan pendapatan petani,” ujarnya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Kamis, (20/5/2021).
Atas dasar itu, Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) PSP membangun embung untuk Kelompok Tani (Poktan) beberapa kelompok tani di seluruh Indonesia, seperti Poktan Sinagigi di Desa Giwu, Kecamatan Klaurung, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Dia menyebutkan, melalui embung nantinya pengelolaan air, baik air hujan maupun air tanah, akan dikelola dengan baik sesuai kebutuhan. Tak hanya itu, kata dia, embung juga berfungsi mengatur pengairan pertanian agar tahan di segala kondisi, baik saat musim hujan maupun musim kemarau.
“Embung itu adalah water management. Embung berfungsi mengatur air, baik air hujan maupun air tanah guna memasok kebutuhan pertanian di sekitarnya. Air yang tertampung dalam embung ini nantinya bisa dimanfaatkan petani saat kemarau,” ucapnya.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menjelaskan, embung akan menjaga stabilitas pertanian.Terlebih, kata dia, saat memasuki musim kemarau, embung akan menjaga irigasi pengairan pertanian.
“Ketika musim kemarau tiba, petani tak perlu khawatir karena ada embung yang akan memasok air sehingga produktivitas pertanian tetap terjaga,” katanya.
Sementara itu embung dibangun di Desa Pandulangan, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan memilik panjang panjang 15 meter, lebar 15 meter dan kedalaman 2,35 meter.
Embung ini sangat berkontribusi bagi pengaturan pengairan lahan persawahan milik petani. Melalui ketersediaan air yang cukup, produktivitas pertanian dapat terjaga dengan baik.
Rahmanto mengatkan, embung merupakan water management. Embung berfungsi mengatur air, baik air hujan maupun air tanah yang nantinya akan memasok kebutuhan pertanian di sekitarnya. Air yang tertampung dalam embung inilah yang bisa dimanfaatkan petani saat kemarau.
RJIT Atasi Masalah Air
Sementara Kementan juga melakukan rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RJIT), salah satunya yang dilakukan di daerah irigasi Rawa Sepat, Desa Cibodas, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Rahmanto mengatakan, RJIT di Desa Cibodas dilakukan karena kondisi saluran irigasi awalnya berupa saluran tanah. Kondisi tersebut membuat distribusi air ke lahan persawahan kurang lancar akibat sering kehilangan air yang disebabkan kebocoran dan banyak mengalami sedimentasi.
“Kami perbaiki kondisi itu dengan RJIT. Agar fungsinya lebih maksimal, saluran irigasi ini kami buat permanen menggunakan konstruksi pasangan batu dengan dua sisi saluran,” tuturnya.
Dia menjelaskan, kegiatan RJIT adalah bagian dari water management, yakni untuk memperbaiki atau membenahi saluran irigasi. “Selain itu, juga untuk memaksimalkan fungsi saluran irigasi agar luas areal tanam bertambah, begitu juga indeks pertanaman dan produktivitasnya,” katanya.
Syahrul Yasin Limpo sebelumnya juga mengatakan, kegiatan RJIT dilakukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan air di lahan persawahan.
Dia mengatakan, air adalah faktor yang sangat menentukan dalam pertanian. Dengan air yang terpenuhi, tanaman bisa maksimal. Melalui kegiatan RJIT, dipastikan air bisa dipenuhi.
“Kami pastikan air di saluran irigasi bisa memenuhi kebutuhan di lahan persawahan,” katanya. Adapun program RJIT di Desa Cibodas dikerjakan Kelompok Tani (Poktan) Budi Karya. Ketua Poktan Budi Karya Igud mengatakan, jumlah anggaran pelaksanaan kegiatan RJIT sebesar Rp38,5 juta.
Kondisi saluran saat ini telah menjadi saluran permanen dengan menggunakan konstruksi pasangan batu belah dengan finishing plester aci di tempat dengan dua sisi saluran.
“Panjang saluran yang bangun 139 meter (m), lebar 40 centimeter (cm), dan tinggi 75 cm. Luas layanan irigasi sebelum dilakukan rehab saluran seluas 35 hektare (ha), luas layanan irigasi setelah dilakukan rehab saluran seluas 45 ha. Terdapat penambahan luas layanan irigasi seluas 10 ha,” jelasnya.
Igud juga menjelaskan, produktivitas pertanaman sebelumnya hanya 5,8 ton/ha. Namun, berkat rehabilitasi saluran, produktivitas mengalami kenaikan menjadi 6,0 ton/ha.
Pada lokasi tersebut, intensitas pertanaman (IP) menjadi 300 atau 3 kali tanam dalam 1 tahun. “Dampak lain dari rehabilitasi saluran adalah dapat dilakukannya percepatan tanam secara serempak serta semakin mudahnya pengaturan air di tingkat usaha tani,” tuturnya.
Jatiluhur Krisis Air
Sementara Bendungan Jatiluhur dikebarkan mengalami kiris air. Petani di sekitar bendungan atau petani yang memanfaatkan suplai air dari bendungan ini, seperti di Karawang, terancam tidak bisa langsung bertanam padi pada musim Gadu ini.
Surat Dinas tertanggal 16 April 2021 dari Perum Jasa Tirta II — yang ditandatangani oleh Supervisor Sungai dan Irigasi, Sub Seksi Batujaya — dikirim langsung kepada Kepala UPTD Pertanian Pakisjaya (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP Pakisjaya) dan diunggah dalam media sosial.
Surat tersebut berisikan pemberitahuan untuk tidak melakukan aktivitas tanam bagi wilayah Kecamatan Pakisjaya pada musim Gadu ini, berhubung kondisi air di Bendungan Jatiluhur masih dibawah normal dan dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan tanam padi.
“Adapun wilayah yang telah melakukan aktivitas tanam padi di musim Gadu, kami tidak bertanggungjawab atas ketersediaan air selama proses tanam,” tulis Sub Seksi Batujaya, Yudi Irawan dalam surat dinas tersebut.
Dilansir dari wartamerdekanews.com, Wakil Bupati (Wabup) Kabupaten Karawang H. Aep Syaepuloh, S.E mengatakan, kekeringan yang terjadi di Batujaya dan Pakisjaya karena berbagai faktor. Salah satunya terjadi penyempitan lahan irigasi yang mengakibatkan debit air berkurang.
Untuk rencana jangka pendeknya, sambung H. Aep, pihaknya akan melakukan normalisasi dan menertibkan bangunan-bangunan liar di sekitar irigasi, agar debit air yang mengalir tidak terhambat. “Semoga ke depan, masalah kekeringan yang terjadi bisa teratasi dengan baik, agar para petani dan sektor pertanian yang menjadi jantung ekonomi Karawang bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Pengelola Bendungan Utama dan Bendung Curug PJT II Jatiluhur mengakui kekeringan persawahan di empat kecamatan di Karawang, sebagai dampak dari pengeringan dan inspeksi saluran bawah air (Tailrace) Waduk Ir H Djuanda atau Waduk Jatiluhur.
Manager Pengelola Bendungan Utama dan Bendung Curug, Satrio Edy mengatakan, dengan pengeringan salah satu tailrace berarti debit air yang dialirkan ke wilayah Karawang melalui Tarum Utara menjadi berkurang. Selain itu, prioritas penyaluran air lebih ke Tarum Barat, yakni untuk pemenuhan kebutuhan air baku dan air minum warga DKI Jakarta.
Embung
Sebelumnya, pada tahun 2020 Pemerintah Kabupaten Karawang berencana membangun dua bendungan skala kecil (embung) untuk menanggulangi persoalan kekurangan air.
Dua embung tersebut rencananya dibangun di wilayah Karawang Selatan dan Karawang Utara, yaitu Kecamatan Tegalwaru dan Kecamatan Pakisjaya. Embung di Pakisjaya akan dibangun di Kampung Kalimati, Desa Telukbuyung, Pakisjaya.
“Namun, pihak kami masih mencari sumber air yang akan digunakan untuk memenuhinya,” ucap Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Karawang, Asep Hazar,.
Diakuinya, mereka kesulitan membenahi saluran irigasi karena kewenangan pengelolaan irigasi terbagi-bagi pada sejumlah instansi. “Mengurusi irigasi rumit. Sebab, kewenangannya ada di beberapa pihak, seperti Perusahaan Jasa Tirta (PJT) II, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), Dinas Pertanian dan Kementerian Pertanian serta Kementerian PUPR,” katanya. PSP