Pemerintah mulai menggelar Operasi Pasar (OP) untuk menstabilkan harga beras medium yang sudah jauh di atas harga eceran tertinggi (HET). Namun, harga tak kunjung turun dan yang terjadi beras medium makin mahal, meski produksi beras diklaim meningkat. Kebijakan HET pun dinilai malah merugikan konsumen.
Keputusan pemerintah menerapkan HET beras medium dan premium mulai dapat ujian dari pasar. Terhitung sejak diberlakukan per 1 September, harga beras medium tidak kunjung turun dari patokan Rp9.450/kg untuk wilayah Jawa, Lampung dan Sumsel. Harga beras medium malah cenderung naik seiiring musim paceklik saat ini.
Di seluruh pasar Jakarta, harga beras medium untuk IR-64 II dan IR-64 III per 11 November secara rerata tercatat naik masing-masing Rp223/kg dan Rp192/kg menjadi Rp10.836/kg dan Rp10.017/kg dibanding sehari sebelumnya. Bahkan, kondisi yang sama terjadi di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Kecuali IR-64 III yang tercatat Rp7.800/kg, maka harga beras medium IR-64 I dan II masih di atas HET beras, yakni Rp10.600/kg dan Rp9.875/kg.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengakui terjadi kenaikan beras medium akibat menurunnya produksi padi sejak Oktober, yang mulai memasuki musim tanam. “Panen padi di sejumlah sentra produksi berkurang sehingga pasokan ke pasar juga ikut berpengaruh,” ujarnya. Untuk itu, dia telah memerintah Bulog melakukan OP beras medium. “Berapapun yang dibutuhkan, kita siapkan,” jelasnya.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Karyawan Gunarso menyatakan, OP sudah digelar sejak 10 Oktober dan akan terus dilakukan sampai Maret 2018. Bulog sendiri memiliki 1,7 juta ton stok beras. Namun, beras itu mayoritas untuk beras rakyat sejahtera (rastra) dan OP biasanya menggunakan cadangan beras pemerintah (CBP). Sejauh ini, Bulog telah melepas 10.000 ton beras untuk OP di Jakarta, sementara pihak Food Station Tjipinang (BUMD DKI) meminta 75.000 ton.
Hanya saja, langkah OP dinilai kalangan petani tidak efektif menstabilkan harga selama mengacu ke aturan HET. Yang terjadi malah pedagang makin untung karena mengoplos beras. “HET beras belum efektif karena harga gabah di tingkat petani masih tinggi, yaitu di atas Rp5.000/kg,” kata Dede Samsudin, Ketua Gabungan Kelompok Tani, Sri Asih, Desa Ciptamarga, Kecamatan Jayakerta, Kabupaten Karawang, Jabar, Sabtu (11/11/2017).
Menurutnya, pemerintah sebaiknya menerapkan HET untuk beras premium saja hingga tidak merugikan konsumen. Jika kembali ke aturan HET, maka konsumen atau masyarakat ditipu pedagang beras, karena beras yang dijual bukan medium, bahkan kualitasnya di bawah medium, tapi harga mahal. “Kalau kembali aturan HET, ya masyarakat tertipu. Tapi kalau kembali ke hukum pasar, ya tidak ada yang salah,” ungkapnya. AI