Ketika Intaian DBA Masuk ke Sumut

ilustrasi ternak babi (Foto: Jai79 dari Pixabay)
drh Ida Lestari

Oleh: Drh Ida Lestari, MVU-Ditkeswan Kementerian Pertanian

KKetika intaian musuh penyakit Demam Babi Afrika (DBA) akhirnya  dikonfirmasi masuk dalam wilayah Negara kita, banyak hal (pekerjaan rumah) yang mesti dilakukan oleh Pemerintah maupun masayarakat kita sendiri. Harian Kompas (Sabtu 21 Desember 2019) mencatat DBA sudah merasuk di 17 kabupaten/kota di Sumatera Utara yang berdampak dengan kematian 30.803 ekor babi sejak 4 September 2019.  Intaian musuh penyakit DBA yang sudah ditakutkan sejak lama akhirnya  terindikasi pertama kali di Kabupaten Dairi, dan sejak itu Dinas Peternakan setempat beserta Laboratorium (Balai Veteriner) setempat terus mensosialisasikan penanganan dan pencegahan penyebaran penyakit ke daerah lainnya.

Keberanian Pemerintah yang menyatakan hadirnya penyakit DBA yang dikenal sebagai African Swine Fever di Sumut ini patut diapresiasi walau terkesan agak lambat terkait berbagai kebijakan yang harus diambil. Dimulai dengan keluarnya Surat Kepmentan  No 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 terkait pernyataan wabah DBA di beberapa kabupaten/Kota Sumut tanggal 12 Desember 2019 yang lalu. Kemudian dinotifikasi/dilaporkan ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (Organization International of Epizootica/OIIE) tanggal 17 Desember 2019.

Hal ini mengingatkan saya pada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November 2019 yang  terasa lebih terkesan karena Mentan Syahrul Yasin Limpo memimpin  langsung upacara perdananya dimana seluruh pegawai Kementan hadir di lapangan upacara.

Peringatan yang mengambil tema:  “Pengabdian, Perjuangan dan Pengabdian Para Pahlawan Hanya Untuk Bangsa dan Negara”  mengingatkan kepada peserta upacara apakah kita sudah mengabdi bagi Negara dan bangsa lewat karya-karya kita sebagai abdi Negara. Dalam amanatnya, beliau mengingatkan agar kita dapat menjadi “Pahlawan Masa Kini”  dengan unjuk kerja yang melebihi normatif di tempat kita masing-masing.

Kita semua pasti sudah mengerti, jasa para pahlawan pendahulu kita  yang  telah mengantar dan menjadikan Indonesia sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat. Pengertian merdeka dalam arti luas antara lain sama dengan bebas, merdeka/berani menyatakan pendapat yang benar, merdeka dari rasa putus asa, merdeka dari rasa takut disalahkan/dikucilkan/dicopot dari jabatannya ketika kita menyatakan/melakukan  hal yang benar untuk kepentingan bangsa dan Negara kita.

Umumnya strategi pencapaian  suatu  kemerdekaan tidak lepas dari  rangkaian  proses yaitu: a) rencana peluang/potensi yang kita miliki, b) mencari informasi (mengintai), memecahkan sandi untuk menyusun strategi, dan c) pengerahan aksi hasil susunan strategi kita untuk merebut/mendapatkan kemerdekaan  tersebut. Hal ini ibarat “pengintaian” penyakit hewan DBA yang  telah melanda beberapa Negara Asia Tenggara dan memberi dampak luas bagi Indonesia.

Walau  DBA  ini tidak  zoonosis  (tidak menular kepada manusia), namun penyakit ini telah bikin pusing dunia,  khususnya personel Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, karena penyakit babi yang berasal dari Afrika tahun 1921 di Kenya- Afrika eksis kembali di Tiongkok di bulan Agustus 2018 yang telah menginfeksi sekitar 150-200 juta ekor babi di sana. Penyakit ini merupakan penyakit eksotik bagi Indonesia karena belum pernah ada sebelumnya.

Penyakit yang muncul kembali di Tiongkok setelah 1 abad tidak terdengar beritanya ini, lalu berekspansi ke Mongolia, kemudian diketahui hadir di Vietnam, Kamboja, Hongkong, Korea Utara dan Laos sampai pertengahan tahun 2019. Ketika Filipina (Juli 2019 ) menjadi Negara ke 8 yang menyatakan  ternak babinya terkena penyakit yang sama,  membuat Indonesia kecut hati karena pengintaian penyakit ini dapat berpotensi ke Indonesia, khususnya pada salah satu lumbung ternak babi kita di Sumut yang hanya berjarak 1.300 km saja dari Filipina.

Kemudian ada kabar kemunculan DBA di Myanmar bulan berikutnya. Bagaikan ikut merasa demam  tinggi,  kekuatiran Indonesia semakin tinggi karena ternyata Timor Leste (RDTL) menyatakan adanya wabah penyakit yang sama Oktober 2019.

Sungguh drama penyakit yang meresahkan karena dalam kurun sangat cepat (1 tahun) penyakit ini sudah menyebar ke 10 Negara, dan sungguh sangat mengkhawatirkan mengingat Timor Leste  berbagi Pulau Timor dengan Provinsi Nusa Tenggara  Timur (NTT) yang  secara geografis  hanya berjarak kurang dari 1.000 km dari NTT untuk mencapainya.  Sementara NTT  kental dengan “Babi Minded”, dimana transisi kehidupan orang NTT butuh babi, sehingga posisi babi disana tidak hanya penting secara ekonomi tapi juga penting secara sosial budaya.

Di Indonesia, ada beberapa lumbung ternak babi  seperti Bali, Kalimantan Barat, Papua yang masih bebas DBA, dan tentu saja Sumut. Ternak babi bagi wilayah–wilayah umumnya untuk dikonsumsi juga sebagai celengan dan kebutuhan upacara adat istiadat yang umumnya dipelihara skala kecil dalam kategori peternakan rakyat.

Lain halnya dengan Tiongkok yang hampir 90% penduduknya beternak babi,  sehingga  kejadian penyakit DBA  ini sungguh merupakan pukulan telak.  Di prediksi akhir tahun ini  Tiongkok  bisa kehilangan 50% dari ternak 750 juta ekor babi yang diternakkan. Bahkan kantor berita Reuters menyatakan DBA dapat mengancam cadangan pangan global. Tidak main-main, babi yang agak  kurang kita perhatikan  atau di nomor sekiankan  ini, diprediksi dapat mengancam pangan dunia mengingat babi merupakan salah satu sumber pangan penting di banyak Negara. Ini selaras dengan pernyataan Presiden Organisasi Kesehatan Hewan Dunia Mark Schipp, Kamis 31 Oktober 2019.

Apalagi sifat virus penyebab DBA ini sangat tahan di lingkungan seperti di daging asap  virus DBA tahan sampai 1 bulan; daging beku 33 bulan, daging segar 3 bulan. Selain  itu virus DBA  tahan hidup pada  feces babi terinfeksi  selama 0,5 bulan dan di  lingkungan atau  kandang survive sampai 1 bulan. Kenyataan yang merepotkan ini diperparah dengan belum adanya obat-obatan penangkal penyakit ini maupun vaksin yang telah diproduksi.

Pencegahan utama adalah upaya kuat kita dalam melakukan sanitasi lingkungan (budaya hidup bersih mencegah kontaminasi kotoran dan alat dan manusia) yang ketat (biosecurity) untuk mencegah perluasan penyakit dan menjamin ternak babi kita maupun manusia itu sendiri tetap sehat.

Kita beruntung memiliki 8 Balai Veteriner yang sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional/KAN yang tersebar di wilayah Republik Indonesia dengan personelnya yang sangat mumpuni. Mendiagnosa penyakit hewan walaupun termasuk eksotik atau baru bukanlah hal yang terlalu pelik bagi Balai Veteriner yang sudah sangat familiar dengan berbagai metode uji.

Untuk DBA, isolasi virus dapat kita lakukan dengan uji dari yang termudah yaitu FAT; VNT; ELISA dan agak rumit seperti RT-PCR selain juga kita dapat mengetahui apakah babi di lingkungan kita terinfeksi dengan mengetahui adanya antibody ditubuh ternak kita melalui uji seperti ELISA; IFAT; dan SNT.

Selain gejala klinis DBA yang khas seperti adanya kemerahan pada kulit (telinga kaki dan perut), demam tinggi (lebih dari 42 derajat C) serta adanya suara seperti batuk yang sering orang keliru menyebutkan dengan istilah flu babi, gambaran nekropsi dari babi yang terinfeksi juga sangat menciri dengan adanya pembengkakan pada kelenjar pertahanan dan khususnya pada organ limpa yang akan bewarna merah tua kehitaman serta menjadi sangat  rapuh yang biasanya penyakit sudah dalam stadium kronis.  Otak mengalami kongesti; bengkak atau kemerahan (hemorrhagi)  dan Paru-paru mengalami peradangan (pneumonia) untuk kasus kronis.

Gejala lain di lapangan yang dapat membuat keliru dengan penyakit lain yang juga dipunyai DBA antara lain muncul 2-3 hari setelah infeksi bahkan 15 hari dengan dosis virus yang sangat rendah:  tidak ada nafsu makan, berkerumun dan  malas bergerak, adanya muntah dan diare berdarah; gejala syaraf ataxia (kejang); sekresi dari lubang hidung dan mata, sesak nafas, batuk dan pengaruh ke reproduksi pada kawanan ternak adanya aborsi (keguguran).

Mengapa Sumut bisa kemasukan DBA padahal awalnya kekhawatiran penularan akan terjadi di Sulawesi yang dekat dengan Filipina atau NTT yang dekat dengan Timor Leste? Kembali belajar dari strategi perang pahlawan pendahulu kita,  strategi Pemerintah Indonesia juga mengantisipasi masuk  dan menghambat/mencegah meluasnya penyakit ini dengan

  1. a) Rencana peluang/potensi yang kita miliki, dimana kita beruntung memiliki Negara yang terdiri dari kepulauan sehingga bila ada satu wilayah pulau terkena maka penyakit tersebut tak mudah menyerang seluruh negeri karena dibatasi laut dan samudera. Kita beruntung memiliki 8 Balai Veteriner yang tersebar yang siap membantu menyidik penyakit  penyakit hewan dari lapangan, mengingat penyakit ini mirip antara penyakit babi lainnya (differential  diagnose-nya dengan  penyakit babi yang memang sudah ada di Indonesia seperti  “Demam Babi Klasik” /DBK (Classical Swine Fever/CSF) atau dikenal juga dengan nama Hog Cholera dan  terkait gejala klinis yang bisa rancu dengan  penyakit  Porcine  Respiratory  and  Reproductive  Syndrome/PRRS.    Kita  juga masih memiliki peluang ekspor dari peternakan besar babi kita yang mampu ekspor ribuan babi per harinya dengan terus menerus menjaga dan melakukan sanitasi pada lingkungan sehingga tidak mampu ditembus penyakit ini.  Kita  masih bisa berpeluang menyetop penyakit  DBA  hanya ada di  Sumut sebelum peternakan pulih kembali dan tidak menyebar ke daerah lainnya dengan mengontrol dilarangnya lintas babi dari daerah sakit keluar.
  2. b) Mencari informasi  (“mengintai”), memecahkan sandi untuk menyusun strategi: dengan melakukan  super  early  detection  (deteksi  super  dini): melalui investigasi ke lapangan, melakukan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) kepada masyarakat terkait membina kesehatan hewan  di daerah khususnya di lumbung babi. Edukasi kepada para peternak mengenai cara beternak yang baik agar kehidupan ternak dan peternak dapat langgeng. Membuat posko di beberapa titik untuk menampung adanya informasi/update data dari tiap kecamatan khususnya di    Membantu penyediaan disinfectant  khususnya mengandung sodium  chloride potassium peroxymonosulfat  untuk menunjang  penerapan  sanitasi  kandang.  Membantu  dan mengedukasi peternak dalam mengubur ternak babi yang mati.
  3. c) Pengerahan aksi hasil susunan strategi kita untuk merebut/mendapatkan kemerdekaan tersebut: berkoordinasi antar Kementerian/Kelembagaan untuk mencegah meluasnya ke wilayah  Melakukan aksi  biosekuriti ketat mengingat sifat penyakit ini yang belum ada penangkalnya. Dalam upaya pemotongan rantai penyakit tidak menyebar, mengajak lintas sektoral/stake holder seperti: dinas kesehatan; pariwisata; perhubungan; TNI;  perhotelan; restoran dan dinas yang  membidangi peternakan dan kesehatan hewan  daerah  berkolaborasi.  Melakukan pengawasan lebih ketat terhadap lalu-lintas ternak, alat kendaraan transportasi, personel (tamu, karyawan, anak kandang) termasuk edukasi  pengontrolan pemakaian pakan limbah  asal  pesawat,  kapal laut, resto, hotel, rumah tangga mengingat sebagian besar peternakan babi kita adalah peternakan rakyat yang minim penerapan sanitasi /biosekuriti. Pemberian sisa bahan makanan lebih aman dimasak terlebih dahulu mengingat virus DBA mati dalam pemanasan diatas 70 derajat C selama 30 menit.

Jadi kita semua boleh menjadi “Pahlawan Masa Kini”  di tempat kita masing-masing dengan unjuk kerja yang melebihi normatif,  seperti pesan Mentan saat pertama kali memberi pesan di hari Pahla wan 10 November 2019, niscaya kita menang melawan intaian musuh DBA dengan usaha keras dan kolaborasi yang baik.