Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus menjadi lokomotif peningkatan ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan melalui pengembangan berbagai usaha produktif pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu.
Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Drasospolino menjelaskan sebagai unit yang berada di tingkat tapak, KPH adalah garda terdepan pengelolaan hutan di Indonesia. “KPH adalah bentuk kehadiran Negara dalam pengelolaan hutan yang harus berdampak pada perbaikan pengelolaan hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata dia saat Forum Bisnis KPH Produksi Wilayah Provinsi Bangka Belitung di Bangka, Jumat (2411/2017).
Saat ini beberapa KPH, telah berhasil mengembangkan usaha produktif berbasis masyarakat. Misalnya, KPH Limau di Jambi yang mengembangkan minyak kepayang dan KPH Batulanteh, Nusa Tenggara Barat yang mengembangkan madu sumbawa. Sementara KPH Yogyakarta sudah berhasil mengembangkan minyak kayu putih dengan pendapatan mencapai Rp10 miliar per tahun. “KPH Yogyakarta juga mengembangkan ekowisasata dengan pendapatan mencapai Rp6 miliar per tahun,” katanya.
Saat ini telah ada 149 KPH Produksi yang telah beroperasi. Sebanyak 63 diantaranya telah mengembangkan usaha produktif berbasis masyarakat. Drasospolino mengungkapkan, evaluasi yang dilakukan pihaknya menunjukan, keberadaan KPH Produksi berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan Kepala Keluarga (KK) yang menjadi mitra KPH produksi naik sebesar 70,48% pada tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Peningkatan kembali terjadi pada tahun 2017 sebesar 192% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu Kepala Sub Bagian Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Edi Subiyanto mengungkapkan, pihaknya menyediakan pembiayaan yang bisa dimanfaatkan KPH untuk mendukung berbagai usaha produktif masyarakat.
“Kami menyediakan pembiayaan dengan suku bunga yang terjangkau bagi masyarakat dengan grace periode yang cukup panjang,” kata Edi.
Selain melalui skema pinjaman, penyaluran pembiayaan dari P3H juga bisa dilakukan melalui skema kerja sama dan syariah. Sementara, jenis usaha yang bisa dibiayai untuk pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu baik on farm maupun off farm.
Edi menyatakan, untuk penyaluran pembiayaan, pihaknya juga menyasar usaha kehutanan yang dilakukan di wilayah tertentu pada KPH. “Di wilayah KPH, masyarakat yang ingin mendapatkan pembiayaan harus memiliki perjanjian kerja sama dengan KPH,” katanya.
Sampai saat ini sudah banyak usaha produktif masyarakat yang dibiayai oleh P3H. Termasuk diantaranya adalah pengembangan madu di Putusibau, Kalimantan Barat, pengolahan gula aren di Bengkulu, dan pengembangan usaha pakan ternak kelinci di Garut.
Sementara itu Direktur Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) Hermanto menyatakan salah satu komoditas yang bisa dikembangkan oleh KPH adalah madu. Menurut dia, madu telah menjadi bagian dari gaya hidup sehat masyarakat milenial.
“Madu memiliki banyak khasiat. Apalagi madu hutan bersumber alami dan bebas dari kontaminasi pestisida,” katanya.
Hermanto menyatakan salah satu alasan madu layak dikembangkan adalah komoditas ini bisa dikembangkan dan dipasarkan dengan memperhatikan empat pilar, yaitu masyarakat (people), produk berkualitas (product), keuntungan (profit) bagi masyarakat, dan kelestarian hutan dan lingkungan (planet). Sugiharto