Pemerintah Malaysia tidak akan melanjutkan rancangan undang-undang (RUU) yang mencegah polusi asap lintas batas (transboundary haze) dengan alasan sulit memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk melakukan penuntutan.
Hal itu ditegaskan Kementerian Lingkungan Hidup dalam jawaban tertulisnya kepada parlemen. Kementerian LH menyatakan, pendekatan diplomatik melalui perundingan merupakan cara yang lebih baik untuk “membahas secara kolektif” masalah asap lintas batas.
Awalnya, RUU tentang polusi asap lintas batas ini diajukan untuk mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan Malaysia atau individu yang menyebabkan kabus asap di negeri tersebut, tidak peduli di mana kebakaran itu terjadi.
Menteri Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim, Nik Nazmi Nik Ahmad mengatakan, keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan pendapat yang diberikan Kejaksaan Agung dan pandangan pakar-pakar hukum mengeni sulitnya penuntutan.
“Pihak kementerian telah menguji kelayakan menerbitkan UU tersebut dari berbagai perspektif, termasuk fisibilitas RUU tersebut, hubungan diplomatik, dan pentingnya pencegahan polusi terhadap lingkungan.
“Guna menegakkan aturan, bukti yang jelas bahwa kabut asap berasal dari negara-negara tetangga harus didukung oleh data yang cukup, termasuk peta lokasi, titik koordinat, informasi pemilik lahan serta wilayah operasionalnya.
“(Dan) masalah ini melibatkan masalah kerahasiaan, keamanan nasional dan kedaulatan,” ujar Nik Nazmi dalam jawaban tertulis ke parlemen pada Senin (6/11), seperti dimuat New Strait Times, Selasa (7/11).
Nik Nazmi menjelaskan hal itu untuk menanggapi pertanyaan Tan Hong Ping mengenai status RUU tersebut.
Pada saat yang sama, Nik Nazmi menambahkan bahwa sulit untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan-perusahaan Malaysia yang beroperasi di luar negeri karena mayoritas ekuitas dipegang oleh warga negara tuan rumah.
Terkait dengan hal itu, Nik Nazmi menambahkan pihak kementerian punya beberapa strategi dan langkah pencegahan, serta memprioritaskan pada pendekatan diplomatik melalui perundingan bilateral dan multilateral untuk mengatasi masalah ini.
“Polusi asap lintas batas tidak bisa diselesaikan semata-mata melalui pembuatan UU da nada banyak cara untuk mencegah dan mengurangi intensitas asap lintas batas.
“Terkait hal itu, pemerintah akan menerapkan pendekatan yang holistik mwealui hubngan diplomatik yang erat serta kerja sama teknis guna meningkatkan kapabilitas kedua negara,” tandasnya.
Seperti diketahui, pada bulan Oktober kemarin, pendahulu Nik Nazmi, Yeo Bee Yin meminta pemerintah mempertimbangkan pembuatan UU Asap Lintas Batas di Malaysia. Anggota parlemen ini memperingatkan, pemerintah bisa mengalami kerugian 1 miliar dolar Malaysia lebih akibat asap lintas batas yang memukul sektor pariwisata dan bisnis, karena harus membiayai pemadaman dan operasi penyemaian bibit hujan, pembatalan penerbangan, beban kesehatan, dan kerusakan terhadap keanekaragaman hayati.
Menurutnya, pada tahun 2020, kabinet Pakatan Harapan secara prinsip telah sepakat untuk membuat UU tersebut; namun progress RUU tersebut macet setelah terjadi perubahan pemerintah.
Kecuali Singapura, taka da negara anggota ASEAN lainnya yang membuat UU tentang asap lintas batas. Berdasarkan UU Polusi Asap Lintas Batas tahun 2014, dianggap pelanggaran jika menyebabkan atau berkontribusi terhadap polusi kabut asap di Singpura
UU ini juga memberi wewenang kepada individu dan organisasi di Singapura untuk menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab atas polusi tersebut dan yang menyebabkannya kerugian ekonomi terhadap mereka.
ASEAN sendiri sudah punya kerangka kerja — Perjanjian Polusi Asap Lintas Batas Tahun 2002 — untuk kerja sama dan saling berbagi sumberdaya terkait kabut asap. Namun, ASEAN dinilai perlu untuk membangun kerangka kerja dan masing-masing membuat UU polusi asap lintas batas. AI