Menjelang Implementasi EUDR: Dilema Global antara Keberlanjutan dan Perdagangan

Ilustrasi Kawasan hutan Indonesia
Diah. Y. Suradiredja

Oleh: Diah Suradiredja (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan Institut Pertanian Bogor-IPB, diahyulinar@apps.ipb.ac.id )

Dengan semakin dekatnya implementasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada 30 Desember 2024, berbagai negara dan sektor menanggapinya dengan beragam, hal ini mencerminkan kompleksitas serta tantangan yang menyertai regulasi ambisius Uni Eropa (UE). EUDR, yang dirancang untuk mencegah impor komoditas yang terkait dengan deforestasi seperti minyak kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan kayu, telah menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.

Di Eropa sendiri, beberapa negara anggota UE, seperti Jerman dan Italia telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Jerman, melalui Menteri Pertanian Cem Özdemir, mengusulkan penundaan enam bulan dengan alasan perlunya waktu lebih bagi perusahaan untuk mempersiapkan diri mengingat ketidakpastian terkait penilaian risiko deforestasi yang rendah. Demikian pula, Italia mendesak penundaan selama satu tahun, menekankan bahwa kondisi yang diperlukan untuk implementasi penuh pada akhir 2024 belum sepenuhnya tersedia.

Selain itu, Asosiasi Perdagangan Kayu Jerman (GD Holz) mengkritik belum adanya sistem benchmarking negara yang dijanjikan oleh Komisi Eropa. Menurut mereka, hal ini dapat memberatkan negara-negara dengan risiko deforestasi rendah yang harus menjalani prosedur yang sama dengan negara berisiko tinggi, sehingga mendesak penundaan atau setidaknya penyelesaian sistem tersebut sesegera mungkin.

Di sisi lain, sektor-sektor di dalam UE  sendiri juga mendesak penundaan implementasi. Anggota Parlemen Eropa, seperti Peter Liese dan Herbert Dorfmann, menyebut EUDR sebagai “monster birokrasi” yang akan membebani petani, pengecer, serta bisnis kecil dan besar. Mereka mendesak agar lebih banyak waktu diambil untuk memperbaiki berbagai masalah dalam regulasi ini sebelum diterapkan, karena kekhawatiran tentang tumpukan birokrasi yang dapat mengancam pasokan pakan ternak dan perdagangan barang konsumsi lainnya.

European Cocoa Association (ECA) juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka menekankan bahwa masih banyak tantangan yang belum terselesaikan, seperti kurangnya pedoman komprehensif dan masalah operasional dengan sistem informasi. ECA memperingatkan bahwa ketidakjelasan ini dapat menghambat impor kakao bebas deforestasi, yang dapat berdampak langsung pada petani di negara-negara penghasil kakao dan menciptakan krisis pasokan di Eropa.

Reaksi dari Negara Produsen dan Mitra Dagang

Di luar UE, negara-negara produsen dari Amerika Latin hingga Asia Tenggara menunjukkan reaksi keras terhadap EUDR.  Brazil, sebagai eksportir utama komoditas seperti kedelai dan daging sapi ke UE, mengkritik regulasi ini sebagai instrumen sepihak yang menghukum negara-negara dengan sumber daya hutan, meningkatkan biaya produksi, dan diskriminatif. Menteri Pertanian Brazil memperingatkan bahwa hampir sepertiga ekspor negara tersebut ke UE dapat terkena dampak negatif, dan mereka meminta penundaan implementasi.

Pun Indonesia, produsen utama minyak kelapa sawit, bersama dengan Malaysia, juga menyuarakan keprihatinan mereka. Eddy Martono, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), meminta penundaan hingga 2026, dan menyoroti kurangnya konsultasi antara UE dan mitra dagang, yang menimbulkan ketidakpastian besar. Malaysia, dalam konteks yang sama, memperingatkan bahwa regulasi ini akan memperumit proses ketertelusuran minyak sawit, sehingga dapat menghambat eksportir dan merugikan petani kecil.

Tantangan Pemenuhan EUDR dan Privasi Data

EUDR mensyaratkan seluruh eksportir ke EU mengirimkan data Geolocation dari komoditi yang masuk ke Pelabuhan negara anggota EU. Perkembangan dan perdebatan yang berjalan sampai saat ini, kekhawatiran terkait pelaksanaan ini, khususnya dalam konteks perlindungan data pribadi di bawah General Data Protection Regulation (GDPR) atau Regulasi Perlindungan Data Umum dari UE.    GDPR mendefinisikan data pribadi sebagai informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk data lokasi. Dalam konteks EUDR, kewajiban perusahaan untuk menyediakan data geolokasi untuk membuktikan kepatuhan dan pemenuhan EUDR, dapat bersinggungan dengan ketentuan GDPR, khususnya jika data tersebut terkait dengan lahan milik petani kecil.

Artikel no 14 di dalam  GDPR mengatur bahwa “ketika data pribadi dikumpulkan secara tidak langsung, subjek data harus diinformasikan mengenai pengumpulan tersebut, termasuk tujuan dan dasar hukum pemrosesan, kategori data yang diproses, serta hak-hak subjek data, seperti akses, perbaikan, dan penghapusan data”. Jika data geolokasi petani kecil dianggap sebagai data pribadi, maka EUDR berpotensi mengharuskan UE untuk mempublikasikan data tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah regulasi ini mempertimbangkan sepenuhnya implikasi terhadap privasi data, terutama bagi petani kecil yang mungkin tidak mendapatkan perlindungan data yang memadai sesuai dengan standar GDPR.

Sejalan dengan aturan GDPR terkait privasi data, Indonesia, melalui PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, juga secara tegas mengatur kewajiban pemerintah untuk membangun dan mengembangkan sistem informasi pertanian yang terintegrasi dan aman. Regulasi ini tidak hanya berfokus pada pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan penyebaran data, tetapi juga memastikan bahwa data pertanian diproses dengan memperhatikan keamanan dan kerahasiaan.

Dalam konteks pertanian, regulasi ini penting untuk menjaga integritas data komoditas pertanian yang sangat krusial bagi rantai pasok dan ketahanan pangan nasional. Sistem yang dibangun harus mampu menelusuri informasi dari hulu ke hilir serta melindungi data dari potensi kebocoran atau penyalahgunaan.  Selain itu, regulasi ini menekankan bahwa pengelolaan data harus dilakukan dengan teknologi yang memenuhi standar keamanan tinggi, memberikan akses yang mudah bagi pengguna, namun tetap menjaga kerahasiaan informasi. Pemerintah pusat dan daerah diwajibkan untuk memastikan sistem ini berjalan dengan baik melalui pusat data dan informasi, sehingga tercipta transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan informasi pertanian.

Ditengah perdebatan di atas, beberapa perusahaan telah mulai menyesuaikan diri dengan EUDR. Misalnya, SD Guthrie Berhad, sebuah perusahaan Malaysia, telah berhasil melakukan pengiriman 40.250 metrik ton minyak sawit pertama yang sepenuhnya sesuai dengan EUDR ke Eropa dan Inggris.  Pengiriman ini mencakup minyak sawit yang dapat dilacak sepenuhnya dari rantai pasokan mereka, termasuk dari 102.337 hektar perkebunan dan petani kecil. Perusahaan ini menggunakan citra satelit dan audit menyeluruh untuk memastikan kepatuhan terhadap EUDR, yang menunjukkan komitmen terhadap praktik pertanian berkelanjutan dan ketahanan rantai pasokan.

Posisi World Trade Organization (WTO) terhadap EUDR

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi atau desakan formal yang dikeluarkan oleh WTO, sebagai Organisasi Perdagangan Dunia, terkait posisi terkini mengenai EUDR.  Namun, jika melihat sejarah kasus yang pernah dibawa Malaysia ke WTO mengenai sengketa impor bahan bakar berbasis tanaman, terlihat bahwa WTO memberikan kelonggaran bagi pemerintah UE untuk memberlakukan langkah-langkah perdagangan yang terkait dengan perlindungan lingkungan.

Pada Januari 2021, Malaysia telah mengajukan keluhan resmi ke (WTO), dengan tuduhan bahwa larangan impor terkait deforestasi bersifat diskriminatif. Putusan WTO pada Maret 2024 adalah mendukung UE, walaupun mereka juga mencatat adanya “diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan” terhadap Malaysia. UE diberikan hak untuk tetap melanjutkan kebijakan terkait larangan impor bahan bakar berbasis tanaman demi alasan lingkungan, tetapi dengan kewajiban untuk menyesuaikan regulasi agar tidak terlalu diskriminatif.

Terlepas dari keputusan tersebut, Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, telah menyampaikan pandangannya dalam wawancara dengan Financial Times pada 12 September 2024. Ia meminta UE untuk mempertimbangkan kembali peraturan larangan impor dari wilayah yang mengalami deforestasi, mengingat peraturan ini menimbulkan kebingungan di kalangan eksportir yang belum mendapatkan pedoman kepatuhan yang jelas. Okonjo-Iweala juga menekankan bahwa banyak pemimpin G20 telah mengangkat masalah ini, dan ia berharap UE  bisa menggunakan umpan balik yang diterima untuk mengevaluasi ulang sistem regulasinya.  Sebagai contoh, ia menyoroti situasi petani di Nigeria, yang menggunakan praktik tradisional membiarkan lahan pulih hingga 10 tahun sebelum menanam ulang, yang bisa saja disalahartikan sebagai deforestasi.  WTO berharap UE lebih mendengarkan masukan dari negara anggotanya untuk memastikan aturan ini tidak memberikan dampak negatif yang berlebihan bagi para eksportir.

Menjawab hal tersebut, UE telah menginformasikan kepada anggota WTO bahwa mereka tidak akan menunda pemberlakuan regulasi deforestasi ini, meskipun mendapat keberatan dari negara-negara eksportir utama seperti Brasil, India, Indonesia, dan Amerika Serikat. Hal ini disampaikan dalam pertemuan Komite Pertanian WTO pada 25 dan 26 September lalu.  UE berargumen bahwa menunda pelaksanaan regulasi ini akan memerlukan perubahan legislatif dan tidak akan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dengan segera. Sikap tegas UE ini menegaskan komitmen mereka terhadap perlindungan lingkungan meskipun ada kekhawatiran internasional.

Langkah Komisi Eropa dan Prospek ke Depan

Menghadapi tekanan yang semakin besar, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berencana untuk mengajukan proposal guna mengatasi kebuntuan dalam implementasi EUDR. Dalam pertemuan dengan kelompok Partai Rakyat Eropa (EPP) tanggal 19 September 2024, von der Leyen mengisyaratkan kemungkinan penundaan atau solusi sementara untuk mengatasi tantangan dalam penerapan aturan ini.  Menurut anggota Parlemen Eropa dari EPP, Herbert Dorfmann, proposal ini bisa diajukan dalam beberapa hari ke depan. Dorfmann juga menekankan bahwa pembukaan kembali dan revisi regulasi harus dipertimbangkan, karena “dalam situasi saat ini, pemberlakuan aturan ini tidak mungkin.”

Komentar von der Leyen di pertemuan tersebut tampaknya memicu banjir surat yang diterima Komisi, di mana kelompok Sosialis, Greens/EFA, dan MEP dari kelompok liberal Renew mendesak untuk segera mempublikasi panduan dan FAQ yang telah lama tertunda. Mereka menekankan bahwa dokumen-dokumen ini sangat penting bagi perusahaan untuk memulai persiapan kepatuhan.

Di sisi lain, penundaan EUDR juga memiliki konsekuensi besar. Pascal Canfin, koordinator liberal untuk Komite Lingkungan (ENVI), memperingatkan bahwa menunda EUDR bisa membuka “kotak Pandora” yang dapat menghambat legislasi Green Deal lainnya, serta merusak kredibilitas global UE. Menurut Canfin, panduan ini sebenarnya telah siap selama beberapa bulan, namun terblokir oleh von der Leyen.

Menunggu dengan Catatan

Implementasi EUDR telah menciptakan medan perdebatan yang kompleks, dengan respons yang beragam dari berbagai negara dan sektor.  Sementara beberapa negara dan perusahaan telah mulai menyesuaikan diri dengan regulasi ini, banyak pihak lain yang merasa keberatan dan meminta penundaan. Dengan berbagai kepentingan yang saling bertentangan, masa depan implementasi EUDR masih menunggu keputusan akhir dari Komisi Eropa akan sangat menentukan arah kebijakan ini di masa mendatang.

Kini, langkah selanjutnya adalah bagaimana von der Leyen akan menemukan solusi untuk kebuntuan implementasi EUDR. Salah satu opsi yang mungkin adalah mengusulkan regulasi baru yang menunda tanggal kepatuhan, yang saat ini dijadwalkan pada 30 Desember 2024 atau 30 Juni 2025 untuk usaha mikro dan kecil. Solusi pada opsi ini harus melalui proses legislatif yang panjang, yang memerlukan persetujuan dari Dewan dan Parlemen setelah negosiasi.  Sebagai alternatif, von der Leyen dapat mempercepat perubahan melalui prosedur darurat, yang memungkinkan proposal langsung diajukan ke sidang pleno parlemen, tanpa perlu persetujuan tingkat komite. Preseden bagi proses ini dimungkinkan karena prosedur serupa telah digunakan awal tahun ini untuk memodifikasi persyaratan Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) bagi petani.

“Bagaimana Indonesia sendiri menyikapinya? Pemerintah, Dunia Usaha, Petani dan NGOs?”, akan ada catatan yang terkumpul untuk artikel selanjutnya.  ***