Pemerintah akhirnya menutup sementara (moratorium) pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dan mengevaluasi izin yang telah diterbitkan, terutama jika terdapat di dalam kawasan hutan. Apalagi, dari data kehutanan nasional, sekitar 3,4 juta hektare kebun ada di dalam kawasan hutan.
Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit nasional memang luar biasa. Dari luasan tak sampai 300.000 hektare (ha) tahun 1980, luas perkebunan terus bergerak dan tembus 10 juta ha sejak tahun 2013. Bahkan, setelah dilakukan penataan data, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang menyatakan luas perkebunan sawit terkini sudah mencapai 14,03 juta ha. Angka itu naik hampir 2 juta ha dari 12,3 juta ha pada 2017 menurut Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017.
Yang menarik, data tersebut tidak semua memiliki status lahan yang ‘bersih’. Jutaan hektare tercatat dibangun di dalam kawasan hutan! Luasan itu terlacak dalam Sistem Monitoring Kehutanan Nasional (SIMONTANA), sebuah sistem informasi yang dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memantau perubahan tutupan hutan. Nah, pada tahun 2017, SIMONTANA mencatat terdapat 3,4 juta ha perkebunan ada di dalam kawasan hutan.
Luasnya kawasan hutan yang “dirambah” ini nampaknya yang coba dibenahi pemerintah, terutama demi tata kelola perkebunan yang berkelanjutan, memberi kepastian hukum dan menjaga serta melestarikan lingkungan. Setelah pembahasan alot sejak tahun 2015, Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit pada 19 September 2018.
Reaksi pun bermunculan. Buat Diah Suradiredja, penasehat senior Yayasan Kehati, Inpres ini dinilai positif dan menunjukkan keseriusan pemerintah menyelesaikan karut-marut legalitas perkebunan sawit. Selain itu, Inpres juga langkah cerdas membereskan persoalan deforestasi, terutama perubahan penggunaan lahan. “Kuncinya tinggal leadership dari masing masing kementerian dan pelaksanaan yang segera,” ujar Diah di Jakarta, Jumat (23/9/2018).
Namun, pengamat dan praktisi hukum lingkungan Sadino menilai, Inpres 8/2018 bisa membunuh sawit sebagai sumber penghasil devisa. “Inpres bisa melampaui peraturan perundangan yang lebih tinggi dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum usaha perkebunan sawit,” katanya.
Kekhawatiran itu bisa terjadi. Pasalnya, Menteri LHK Siti Nurbaya, ketika memberikan kisi-kisi inpres moratorium sawit meyakini Inpres bisa dijalankan, meski kawasan lahan perkebunan sudah dilepas dari kawasan hutan. Menurut Menteri Nurbaya, izin pelepasan kawasan hutan bisa ditinjau ulang selama untuk kebutuhan konservasi lingkungan. “Itu konteksnya kebutuhan lingkungan,” katanya beberapa waktu lalu. AI