Visioner, tapi rendah hati dan ramah. Tiga kata ini cocok disematkan untuk Yudi Nurul Ihsan. Di usianya yang masih muda, Yudi boleh dibilang hebat karena kini menjadi Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Padjadjaran (Unpad).
Berangkat dari masa kecilnya yang sangat perhatian terhadap ikan, Yudi pun serius memilih jalur pendidikan terkait. “Pokoknya dari kecil, saya senang sekali melihat ikan. Kalau melihat ikan di kolam kantor orang tua, langsung ingin ngubek-ngubek airnya sampai pernah terjebur saking asiknya,” kenang Doktor Biologi Laut, Magister Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sarjana Perikanan ini.
Bicara tentang ikan, kematian massal ikan di keramba jaring apung (KJA) Danau Toba yang kerap terulang tidak luput dari sorotan Yudi. Hanya saja, Doktor Biologi Laut jebolan University of Kiel, Jerman ini punya perspektif yang berbeda dari pemerintah.
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) disibukkan dengan urusan umbalan (upwelling) dan penertiban KJA yang diklaim sebagai biang kematian massal ikan di danau ikonik Sumatera Utara.
Yudi membantah kematian ikan secara masif dan massal di Danau Toba akibat berlebihnya KJA atau pakan. Meski memang kelebihan KJA dan pakan akan menyebabkan mortalitas tinggi atau tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) rendah.
“KKP masih berpikir konvensional melihat kematian massal ikan di Danau Toba yang berbarengan dengan upwelling,” ujar Yudi, kelahiran Bandung, 1 Desember 1975.
Untuk mengetahui pandangan akademiknya terhadap kematian massal ikan di Danau Toba, berikut penuturan Yudi yang pernah dilibatkan dalam tim Riset Max Planck Institut, program Hypoxia pada 2009-2011 kepada Agro Indonesia pekan lalu.
Bisa dijelaskan pandangan akademik Anda terhadap kematian massal ikan di Danau Toba yang kerap terjadi?
Yang membuat kematian ikan secara masif dan massal bukan disebabkan berlebihnya KJA atau pakan. KJA memang harus dibatasi dan dikelola dengan baik. Kelebihan KJA atau pakan akan menyebabkan mortalitas tinggi atau tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate/SR) rendah namun kematian ikan tidak akan masif dan massal serta KJA yang tidak diatur dengan baik akan menyebabkan kualitas ikan rendah.
Menurut pandangan saya, kematian ikan massal dan masif disebabkan oleh senyawa toksik yaitu H2S atau sulfida yang ada di dalam dasar sedimen yang terangkat ke dalam kolom air karena adanya turn over.
H2S ini terakumulasi di sedimen atau kolom air yang anoxic (tidak ada oksigen) atau biasa disebut dead zone. Kalau sedimen atau kolom air tersebut kemudian sudah mengandung oksigen, maka H2Snya akan hilang, berubah menjadi sulfate atau elemen sulfur.
Sulfida atau H2S ini 10 kali lipat lebih beracun daripada sianida.
Danau Toba menjadi salah satu sumber sulfida (source of sulfida). Sumber sulfida berasal dari gunung berapi. Danau Toba itu adalah danau meromictic terbesar di dunia.
Untuk lebih meyakinkan maka perlu dilakukan sampling atau coring di sedimen atau dasar perairan sampai kedalaman tertentu, sekitar 0 sampai dengan 50 sentimeter dibawah dasar perairan, lebih bagus pada saat musim kemarau.
Jadi upwelling di Danau Toba sulit dikendalikan karena faktor alamnya ya?
Upwelling alamiah tidak bisa dikendalikan. Sebetulnya kalau di danau lebih tepat disebut turn over. Yang harus diteliti yakni titik-titik dimana konsentrasi sulfida yang tinggi. Maka kemudian yang harus dilakukan pertama, tempatkan KJA jauh dari sumber sulfida. Kedua, membuat oksigenasi di bawah air, bisa dengan aerasi bawah air atau dengan bubble oxygen, khususnya di sekitar sumber sulfida. Oksigen atau aerasi akan menghilangkan sulfida. Juga bisa dengan menambahkan Sulfide Oxydizing Bacteria (SOB), sejumlah bakteri yang dapat membantu mengoksidasi sulfida.
Sejauh ini apa upaya pemerintah pusat dan daerah sudah maksimal mensosialisasikan kondisi Danau Toba yang notabene sumber sulfida?
Saya melihatnya KKP masih berpikir konvensional melihat kematian massal yang berbarengan dengan upwelling atau turn over. Yang dimaksud konvensional itu masih mengukur kualitas perairan dengan parameter yang umum seperti konsentrasi DO, pH dan ammonia.
Jarang yang mengukur secara rutin senyawa kimia yang terakumulasi di dalam sedimen atau substrat, terutama senyawa toksik seperti sulfida atau sianida.
Padahal, sulfida itu cepat hilang mirip hantu. Kalau dicek konsentrasi sulfida di ikan atau di kolom air yang konsentrasi oksigennya tinggi pasti nilainya nol, sudah berubah menjadi sulfat atau sulfur. Karena sulfida ini kan gas.
Jika begitu apa pemerintah teledor?
Bukan teledor tapi memang kurang dipahami. Ini salah satu pentingnya ada penyuluh perikanan. Tapi sekarang kan tidak ada penyuluh perikanan. Sejak 2 Oktober 2016 kewenangan penyuluh perikanan ditarik ke pemerintah pusat (KKP). Daerah tidak lagi punya kewenangan terhadap penyuluh perikanan. Di sisi lain, kewenangan budidaya perikanan masih ada di daerah. Selain itu petugas penyuluh perikanan juga masih sangat sedikit. Kalau tidak salah hanya sekitar 2.500 orang untuk seluruh Indonesia.
Pemerintah mengklaim butuh 75 tahun untuk memulihkan Danau Toba, jika KJA tidak kunjung tertib. Apa iya?
Apanya dulu yang mau dipulihkan? Kalau turn over atau upwelling itu alamiah, sampai kiamat juga akan terjadi. Kalau senyawa toksik seperti sulfida, harus dicek dulu sumbernya. Bisa jadi Danau Toba adalah source of sulfida. Kalau konsentrasi bahan organik bisa dilakukan: penataan KJA, bioremediasi, waktunya tidak perlu sampai 75 tahun. Lihat saja Korea Selatan, sekitar 5 tahun mereka dapat menyelesaikan problem pencemaran di perairan, baik di sungai mau pun kawasan pesisir.
Riset Anda untuk S3 di Peru dan Black Sea tahun 2009 silam terkait hal itu. Ada yang bisa diadopsi untuk pengelolaan Danau Toba?
Penggunaan bakteri sebagai agen bioremediasi untuk memulihkan lingkungan perairan, monitoring secara menyeluruh dengan melakukan pengukuran kualitas air dan sedimen secara rutin. Fenny YL Budiman