Sawit Bukan Penyebab Deforestasi

Profesor Yanto Santosa

Namanya makin mencuat belakangan seiring makin panasnya isu tentang sawit dan deforestasi belakangan ini. Maklum, Guru Besar IPB Profesor Yanto Santosa baru saja merilis hasil penelitian yang menegaskan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah penyebab deforestasi.

Risetnya yang dituntaskan akhir 2016 lalu itu pun menuai banyak komentar miring dari kalangan aktivis lingkungan. Bahkan sampai ada yang mempertanyakan kredibilitas pakar ekologi kuantitatif itu. Namun pria yang juga alumnus fakultas kehutanan IPB pada tahun 1983 itu menegaskan, risetnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

“Saya juga tidak cari popularitas. Untuk apa?,” katanya.

Untuk tahu lebih banyak tentang risetnya, dan pandangannya tentang tudingan deforestasi di Indonesia, berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan lulusan studi doktoral di Universite Paul Sabatier Toulouse III, Perancis itu, akhir Maret lalu

Detil riset anda tentang sawit dan deforestasi itu sebenarnya seperti apa Prof?

Begini, saya dan tim melakukan penelitian di Riau. Kenapa Riau, karena katanya di sana kebun sawitnya luas dan menjadi salah satu penyebab deforestasi. Kami melakukan penelitian ke 8 perkebunan skala besar dan 16 kebun sawit swadaya (kebun rakyat). Kebun yang menjadi lokasi penelitian terletak di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan, dan Kabupaten Siak.

Hasilnya, lahan yang dijadikan kebun kelapa sawit sudah tidak berstatus kawasan hutan. Saat izin usaha usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan yang dikelola perkebunan besar sudah bukan merupakan kawasan hutan.

Jika dilihat berdasarkan areal perusahaan yang diamati seluas 46.372,38 hektare, seluas 68,02%  diantaranya berstatus lahan yang dialihfungsikan dari hutan produksi konversi dan areal penggunaan lain (APL). Demikian juga pada lahan kebun swadaya. Dari 47,5 hektare yang diteliti, ternyata 91,76% bukan kawasan hutan saat dijadikan kebun kelapa sawit.

Kami juga meneliti riwayat penggunaan lahan pada delapan lokasi sebelum PSB tersebut beroperasi. Hasilnya sekitar 49,96% merupakan eks HGU perusahaan lain, 35,99% merupakan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH), serta 14,04%  merupakan ladang masyarakat lokal dan eks transmigran.

Bagaimana dengan tutupan vegetasinya Prof?

Itu juga kami teliti. Sebab banyak yang bilang kebun sawit dulunya hutan. Hasil penafsiran citra landsat satu tahun sebelum perkebunan skala besar memperoleh izin usaha, ternyata sekitar 49,96% berupa perkebunan karet, 35,99% berupa hutan sekunder, 10,7% berupa tanah terbuka, 3,03% berupa semak belukar, serta 0,84% berupa pertanian lahan kering. Kalau melihat data itu, di mana letak deforestasinya?

Kalau kondisinya seperti itu, kenapa masih banyak tudingan yang menyebut kebun sawit sebagai penyebab deforestasi?

Mungkin karena ada perbedaan definisi terminologi deforestasi. Menurut pemahaman orang Eropa dan LSM asing, deforestasi adalah membuka lahan yang memiliki tutupan pohon. Sementara berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, deforestasi itu merupakan alih fungsi atau perubahan fungsi dari kawasan hutan menjadi peruntukan non hutan.

Jadi berbeda sekali. Artinya tidak peduli walau itu hanya ilalang, kalau itu kawasan hutan ya itu namanya hutan. Dan kalau itu diubah menjadi kebun sawit atau usaha lain, itu baru namanya deforestasi.

Di lokasi yang diteliti, secara hukum memang terbukti bukan deforestasi. Secara tutupan vegetasi juga tidak deforestasi. Tapi kenyatannya banyak di lokasi lain yang seperti itu. Di taman nasional, kawasan konservasi, banyak tuh kebun sawit. Bagaimana anda menanggapi ini?

Untuk seluruh Indonesia, tentu perlu dilakukan penelitian lanjutan. Penelitian kami juga bukan sampling. Saya tidak menggeneralisasi semuanya sama seperti di lokasi penelitian kami. Kawan-kawan LSM asing itu kan banyak seperti itu. Penelitian sedikit, kemudian digeneralisasi Indonesia.

Bagaimana jika ternyata hasil penelitian lanjutan mengungkap banyak kebun sawit yang ternyata di kawasan hutan?

Kalau benar, tinggal pemerintah menyiapkan kebijakan untuk menyelesaikannya. Bisa saja dilegalkan. Malaysia berani menetapkan sawit sebagai bagian dari hutan. Ini soal definisi lagi. Kan dinyatakan bahwa hutan berisi tumbuh-tumbuhan berkayu. Kalau sudah berusia 30 tahun, sawit itu ya kayu juga.

Saya tidak bicara secara politis ya. Tapi jika memang di lapangan ada sawit di kawasan hutan, putuskan saja berdasarkan kepentingan nasional. Jangan untuk perusahaan tapi untuk masyarakat lokal. Sekarang kan malah dibiarkan.

Anda setuju jika sawit dikategorikan sebagai tanaman hutan?

Begini, dulu ada HPH dengan kewajiban menyetor Dana jaminan Reboisasi (DJR). Sekarang uangnya dikemanakan? Padahal itu uang hutan loh. Itu uang sebagai jaminan jika HPH tidak melakukan rehabilitasi. Kalau dikumpulkan sudah berapa banyak tuh, sejak tahun 1970-an. Seharusnya dikembalikan ke hutan untuk rehabilitasi. Bukan uang pemerintah. Untuk pendapatan pemerintah, ada provisi sumber daya hutan (PSDH), pajak dan retribusi lain.

Tapi kan kemudian DJR itu dipakai untuk kepentingan lain-lain. Akhirnya hutannya tidak direhabilitasi.  Nah kemudian sawit hadir. Sawit ini juga bisa dikategorikan sebagai tanaman hutan, seperti yang dilakukan Malaysia. Bisa  untuk rehabilitasi juga.

Jika kita butuh langkah cepat untuk menghijaukan bumi ini, kenapa tidak. Ketimbang dibiarkan terlantar. Dalam bahasa produktivitas, dari lahan yang tadinya tidak produktif menjadi lahan yang produktif.

Ini bisa untuk rakyat. Apalagi, Presiden sudah mencanangkan untuk reforma agraria. Saya sangat setuju jika ada akses lahan bagi masyarakat. Tidak bolehlahan terfokus pada segelintir orang. Tidak baik secara sosial.

Sugiharto