Audit Lahan Tebu PG Baru

Petani tebu meminta pemerintah mengaudit luas tanaman tebu nasional, terutama pabrik-pabrik gula baru, karena produksi dinilai tidak bergerak dan impor gula malah terus bertambah. Bahkan, produksi gula konsumsi tahun 2019 sebanyak 2,2 juta ton pun diragukan akurasinya.

Inilah ironi produksi gula nasional. Meski sudah ada sekitar tujuh pabrik gula (PG) baru, yang terintegrasi dengan kebun tebu maupun PG perluasan, namun produksi gula 2019 berdasarkan taksasi terakhir sekitar 2,22 juta ton atau kurang dari kebutuhan sekitar 2,7-2,9 juta ton. Impor pun tak terelakan. “Impor gula konsumsi, ya sekitar 500.000 ton. Angka pastinya akan ditetapkan melalui Rakortas,” ujar Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan, Agus Wahyudi di Jakarta, Sabtu (19/1/2020).

Namun, ini yang menyesakkan. PG-PG baru itu nampaknya yang akan mengisi kekurangan produksi gula konsumsi lewat impor untuk menutup kapasitas giling mereka. Fasilitas itu memang diberikan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 10/M-IND/3/2017 tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Dalam Rangka Pembangunan Pabrik Gula. PG itu merupakan industri yang didirikan setelah 25 Mei 2010.

Aturan ini yang dikecam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR). Menurut ketuanya, Soemitro Samadikun, aturan tersebut justru dimanfaatkan PG-PG baru untuk bisa mengimpor raw sugar. Bahkan, melalui kemitraan dengan petani tebu dalam pengelolaan lahan tebu, PG bisa memiliki utilisasi pabrik sangat tinggi. “Dengan utilisasi pabrik yang tinggi itu, mereka bisa mengajukan permohonan impor gula mentah dalam jumlah besar ke pemerintah,” ujar Soemitro, Jumat (17/1/2020).

Praktik ini dinilai berbahaya. “Kondisi ini akan melemahkan program ketahanan pangan karena petani tebu akan tersingkir dan akan mencari komoditas lain yang lebih menguntungkan. Selain itu, akibat persaingan mendapatkan bahan baku yang tidak fair, akan ada pabrik gula lama yang tutup karena kesulitan bersaing dengan PG baru itu,” ujarnya.

Itu sebabnya, APTR mendesak pemerintah meneliti dan mengaudit lahan perkebunan tebu naisonal maupun PG-PG baru. “Ada pabrik yang sudah berdiri sejak tahun 2015. Tapi coba lihat bagaimana pengadaan lahan tebunya? Apakah sesuai dengan kapasitas produksi yang dimilikinya?” tanya Soemitro.

Logikanya, makin banyak PG baru, maka lahan tebu di Indonesia juga bertambah dan produksi otomatis naik. Sejauh ini sudah ada 7 PG baru, masing-masing 3 PG di Jawa (PG Gendhis Multi Manis, Blora; PG Kebun Tebu Mas, Lamongan; PG Rejoso Manis Indo, Blitar) dan 4 lagi di luar Jawa  (PG Sukses Mantap Sejahtera, Dompu; PG Laju Perdana Indah, OKU; serta PG Adhikarya Gemilang dan PG Pemuka Sakti Manis, Lampung. Namun, Soemitro menilai produksi gula kristal putih tidak mengalami pergerakan berarti.

Itu sebabnya, dia juga meragukan produksi gula konsumsi tahun lalu, yang disebut dalam taksasi akhir mencapai 2,22 juta ton. “Produksi gula sebanyak 2,2 juta ton data dari mana? Produksi 2 juta ton saja masih belum jelas,” sergahnya. AI

Selengkapnya baca: Agro Indonesia Edisi No. 752 (21-27 Januari 2020)