Uni Eropa akhirnya mengendorkan tekanan politiknya dan membatalkan penghapusan biofuel (bahan bakar nabati atau BBN) berbasis minyak sawit dari tahun 2021 menjadi tahun 2030, sama seperti BBN lainnya dari kedele, rapa dan bunga matahari. Indonesia pun terus berbenah, termasuk melakukan percepatan peremajaan sawit rakyat, perbaikan tata kelola sawit serta sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ancaman diskriminasi BBN berbasis minyak sawit oleh Uni Eropa (UE) sempat membuat cemas dan marah Indonesia. Pasalnya, dengan dalih kerusakan lingkungan, Parlemen UE sempat memajukan penghapusan BBN berbasis minyak sawit tahun 2021 dari semula tahun 2030 sama dengan BBN lainnya dari kedele, rapa dan bunga matahari. Alasannya, BBN minyak sawit tidak memberi kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca karena masalah perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (ILUC).
Pembatalan itu merupakan hasil keputusan trilog antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa yang digelar pada 14 Juni lalu. Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend dalam pernyataannya menyatakan, kesepakatan yang dicapai dalam merevisi Arahan Energi Terbarukan (RED II) UE mencakup pengurangan bertahap dari sejumlah kategori biofuel tertentu. “Berbagai jenis biofuel akan dikaji dengan perlakuan yang sama, tanpa melihat sumbernya. Teks RED II tidak akan membedakan atau melarang minyak sawit,” kata Vincent Guerend dalam pernyataannya yang diperbarui, Senin (25/6/2018).
Namun, ancaman terhadap minyak sawit di UE masih tinggi jika masuk dalam kategori risiko tinggi ILUC. Risiko tinggi ini misalnya BBN dihasilkan dari tanaman yang melakukan ekspansi produksi ke lahan yang memiliki stok karbon tinggi, seperti lahan basah, gambut dan hutan.
Hal ini disadari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Itu sebabnya, dia menyatakan saat ini kementeriannya serius melakukan pembenahan tata kelola untuk mendukung sawit berkelanjutan. Hal inilah yang akan terus meneruskan disampaikan kepada publik internasional. “Kita sampaikan usaha-usaha yang sudah dilakukan. Baik untuk pengendalian deforestasi, pengelolaan gambut, masyarakat hukum adat, satwa liar dan tentang tenaga kerja,” kata dia saat ditemui di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Langkah-langkah pengendalian deforestasi juga sudah dilakukan, di antaranya moratorium pembukaan hutan alam dan lahan gambut serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan gambut pun semakin baik dengan implementasi dari paket regulasi perlindungan dan pengelolaan gambut.
Senior Advisor Yayasan Kehati, Diah Suradiredja mengakui, pembenahan tata kelola perkebunan kelapa sawit bukan hal mudah. Untuk itu, dia berharap perbaikan tata kelola perkebunan sawit lestari yang sedang dilakukan KLHK harus didukung semua pihak di tanah air, termasuk komunitas internasional. AI