Komodo mendadak ramai diperbincangkan publik, ketika Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menggarap Pulau Rinca, satu dari lima gugusan pulau yang masuk Taman Nasional (TN) Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pembangunan dilakukan sebagai bagian dari destinasi wisata super prioritas. Apa yang salah hingga banyak ditentang?
Gambar komodo (Varanus komodoensis), yang seolah menghadang sebuah truk di Pulau Rinca, TN Komodo, muncul di media sosial Twitter pada 23 Oktober. Foto unggahan akun @KawanBaikKomodo ini langsung viral dan memicu perdebatan di dunia nyata. Bahkan, belakangan muncul petisi daring di laman Change.org dengan tagar #savekomodo — yang dibuat oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat untuk menolak aktivitas konstruksi di TN Komodo. Per Sabtu (31/10/2020), petisi tercatat telah didukung 733.215 orang.
Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyatakan, pembangunan pariwisata premium di TN Komodo diduga akan berdampak buruk bagi keberlanjutan komodo. Proses pembangunan ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca itu telah mengganggu dan mengancam ekosistem komodo. Apalagi, komodo jenis binatang soliter atau memiliki sifat penyendiri, kecuali saat musim kawin. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan pembangunan yang berdampak pada perubahan habitat alamiahnya, tentu akan mengganggu keberadaan komodo. “Foto yang viral menjadi bukti ketidaknyamanan komodo terhadap aktivitas pembangunan skala besar itu,” katanya.
Ini bukan penolakan pertama, memang. Tahun 2018, rencana pembangunan sarpras oleh salah satu pemegang izin usaha pengusahaan pariwisata alam (IPPA) dibatalkan setelah ramai penolakan. Sama dengan tahun 2018, pertanyaannya apakah pembangunan itu menyalahi aturan main konservasi mengingat aktivitas itu dilakukan di sebuah taman nasional? Maklum, kali ini PUPR yang menggarap dengan anggaran Rp69,96 miliar untuk peningkatan dermaga saat ini, bangunan pengaman pantai, elevated deck, pusat informasi serta penginapan ranger, guide, dan peneliti, kantor resort, guest house dan kafetaria.
Menurut Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, pembenahan Loh Buaya di Pulau Rinca berada di zona pemanfaatan TN Komodo. Dengan posisinya sebagai zona pemanfaatan, berarti dimungkinkan pembangunan sarana prasarana (sarpras) untuk menunjang pemanfaatan dan pengelolaannya.
Secara luasan, zona pemanfaatan wisata daratan ini sangat kecil dari total luas TN Komodo yang mencapai 173.300 hektare (ha), yakni 824 ha (0,4%). “Luas keseluruhan areal penataan di Loh Buaya seluas 1 hektare. Untuk yang dimanfaatkan berupa bangunan jauh lebih kecil,” kata Wiratno.
Apalagi, penataan kali ini dilakukan murni oleh pemerintah dan bukan oleh perusahaan pemegang izin usaha pengusahaan pariwisata alam (IPPA). Selain itu, kata Wiratno, populasi komodo juga bertambah, bukan berkurang. Jika 2018 ada 2.897 individu komodo, maka 2019 lalu bertambah 125 individu menjadi 3.022 individu. Lalu, apa masalah sebenarnya dari penentangan dan tagar #savekomodo? AI
Baca juga: