Komoditas Tembakau Semakin Terjepit

Tembakau (foto: pixabay.com)

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, produk-produk perkebunan memiliki kontribusi besar pada produk domestik bruto (PDB) tetapi mengapa banyak regulasi yang menekan seperti pada komoditas tembakau.

“Tembakau ini setelah kita periksa banyak sekali regulasinya. Salah satunya yaitu Pada tahun 2009, ada aturan pembatasan iklan rokok. Kemudian kasus baru ini tidak boleh mensponsori salah satu kegiatan seperti kasus Djarum Foundation,” ujar Danang dalam “Desiminasi Hasil Kajian Kemitraan dalam Pertanian Tembakau” di Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2020).

Kemudian, kebijakan pembatasan merek dan menerapkan kemasan polos (plain packaging) yang keluar  tahun 2017 yang lalu, yang dimana nanti rokok akan menjadi kemasan putih tanpa merk dan peringatan bahaya merokok yang ada pada kemasan tersebut yang semula  24% menjadi 90%.

“Memang di Australia dan di beberapa Negara Asia telah menerapkan aturan tersebut. Tetapi hal itu dapat memicu rokok ilegal. Nanti kita lihat sendiri Apakah Indonesia akan menerapkan aturan tersebut atau tidak,” sambung Danang.

Selain itu, peraturan tentang sistem impor tembakau yang mulai dibatasi. Pemerintah berencana melakukan pembatasan atas impor tembakau yang dilakukan industri-industri tembakau. Salah satu tujuannya adalah untuk memanfaatkan pasokan tembakau dalam negeri.

Akan tetapi APINDO justru menilai pembatasan impor ini menyulitkan Industri tembakau, “Pembatasan impor tembakau diberlakukan oleh pemerintah merupakan salah satu upaya untuk mematikan seluruh produksi lokal,” ujar Danang.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno juga tidak setuju dengan pemerintah terkait dengan pembatasan Impor ini. Pasalnya  Impor tembakau sangat dibutuhkan, karena lahan tembakau dalam negeri sendiri masih kurang.

Produksi tembakau nasional hanya bisa memenuhi setengah dari kebutuhan industri setiap tahunnya. Luas tembakau domestik ini hanya sekitar 200 ribu hektare dengan produksi 160-180 ribu ton. Sementara kebutuhan industri setiap tahunnya sekitar 320 ribu ton.

“Terlebih lagi, tembakau yang paling dibutuhkan untuk komposisi rokok ada tiga jenis, yaitu virginia, burley, dan oriental. Tembakau itu hanya sedikit diproduksi lokal,” ujar Soesono.

Kemudian, Pemerintah membatasi impor tembakau harus setengah dari produksi atau setara 2:1. Dengan perbandingan seperti itu, Soeseno menjelaskan, berarti produksi dalam negeri diserap semua dan sisanya diimpor.

“Kalau 240 tersedia, 160 produksi terserap, 80 ton impor, ya habis. Pabrik rokok cuman biasa jualan 240 miliar batang. Padahal sekarang butuh 303 miliar batang. Hampir hilang 100 miliar. Ngeri itu,” lanjutnya.

Soeseno menduga pembatasan impor ini merupakan keinginan pemerintah untuk membatasi seluruh produksi rokok sehubungan dengan kenaikan bea cukai yang tinggi dan Perda Kawasan Tanpa Rokok yang ada dimana-mana.

Menurut Danang, industri-industri perkebunan memang semakin dikerdilkan, termasuk industri tembakau ini. “Jika hal ini terus menerus dilakukan maka akan menghantam pelaku industri dan para petani tembakau di Indonesia,” ujarnya.

Atiyyah