Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bersama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencabut gugatan uji perundangan-undangan (judicial review/JR) empat pasal pada Undang-undang (UU) No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Padahal baru genap dua pekan gugatan tersebut di daftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa alasannya?
Menurut Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, awalnya JR diajukan untuk mencari keadilan terkait siapa pihak yang paling bertanggung jawab dalam terjadinya kebakaran lahan dan hutan (karhutla), bukan bermaksud untuk mencabut keempat pasal dalam dua UU tersebut.
Selama ini, dengan prinsip strict liability seperti diatur dalam pasal 88 UU 32/2009, dalam setiap terjadinya kebakaran, korporasi menjadi pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Sebab, tergugat bisa dinyatakan bersalah oleh penggugat tanpa mengetahui apakah tergugat benar-benar melakukan kesalahan. Hanya dengan membuktikan bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh tergugat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, tanpa mengetahui siapa yang melakukan pencemaran maupun kerusakan lingkungan tersebut.
Joko melanjutkan, setelah Gapki mempelajari lebih mendalam bersama para ahli terutama untuk pasal 88 UU 32/2009, pihaknya akan mengusulkan baik kepada pemerintah maupun DPR untuk memperbaiki pasal tersebut sehingga lebih berkeadilan.
“Jadi yang paling tepat adalah kita membuktikan dan memberikan hukuman bagi para pelaku penyebab karhutla. Termasuk dalam hal ini, jika korporasi terbukti bersalah, maka secara gentle mereka harus siap untuk memberikan pertanggung jawaban di hadapan hukum,” kata Joko dalam pernyataan pers yang diterima di Jakarta, Senin (12/6/2017).
Sebelumnya APHI dan Gapki menggugat Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 ayat (1) UU 32/2009, serta Pasal 49 UU 41/1999 tentang Kehutanan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal-pasal yang digugat terkait dengan pembukaan lahan dengan cara membakar sebagai bagian dari kearifan lokal dan strict liability alias tanggung jawab mutlak.
Komitmen
Joko menegaskan, Gapki berkomitmen untuk selalu melakukan tata kelola perkebunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Terkait kebakaran lahan, Gapki selalu meminta kepada anggotanya untuk melakukan pencegahan dan antisipasi kebakaran terutama ketika memasuki musim kemarau. Seluruh perusahaan kelapa sawit anggota Gapki telah menerapkan zero burning policy (pembukaan lahan tanpa bakar). Melalui penerapan zero burning policy, perusahaan berkomitmen untuk tidak sama sekali membenarkan adanya aktivitas pembakaran lahan di perkebunan.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh anggota Gapki untuk mencegah terjadinya kebakaran. Mulai dari membentuk masyarakat peduli api, hingga melakukan patroli siaga tim tanggap darurat peduli api yang melibatkan partisipasi aktif pemerintah dan masyarakat sipil. Hingga akhir tahun 2016 lalu, para anggota Gapki telah membentuk sedikitnya 350 Desa Peduli Api.
“Alhasil, hingga saat ini perusahaan telah berhasil menekan angka kebakaran secara drastis,” kata Joko
Data dari Global Forest Watch, pada kejadian kebakaran tahun 2015, titik api yang berasal dari dalam konsesi perusahaan sawit kurang dari 10% dari total titik api yang muncul.
Sugiharto