Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) ternyata berkejaran dengan putusan Mahkamah Agung tentang uji materiil Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No P.17 tahun 2017 tentang pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Uji materiil itu diajukan Konferasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Riau.
Hasilnya? MA ternyata mengabulkan lebih dulu gugatan yang diajukan SPSI Provinsi Riau. SK pembatalan RKU RAPP diterbitkan pada 17 Oktober 2017 lewat surat yang diteken Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian KLHK, IB Putera Parthama atas nama Menteri LHK Siti Nurbaya. Sementara putusan gugatan uji materiil PermenLHK No P.17 tahun 2017 ditetapkan pada 2 Oktober 2017. Putusan itu atas perkara dengan Nomor Registrasi 49 P/HUM/2017 tertanggal 25 Juli 2017. Putusan dilakukan oleh tiga hakim, Is Sudaryono, Harry Djatmiko dan Supandi.
“Putusan MA bisa di lihat di laman internet MA. Saat ini kami sedang menunggu salinan putusan tersebut,” kata Ketua SPSI Riau, Nursal Tanjung, Selasa (17/10/2017).
Keluarnya keputusan MA lebih awal dibandingkan SK pembatalan tentu bukan masalah sederhana. Pasalnya, Permen LHK No. 17 tahun 2017 merupakan salah satu butir ‘mengingat’ dari pembatalan RKU RAPP. Dalam bahasa hukum, butir ‘mengingat’ ini sangat penting karena merupakan dasar kewenangan pembentukan peraturan itu.
SPSI Riau sendiri melakukan uji materiil PermenLHK No P.17 tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen LHK No P.12 tahun 2015 tentang HTI karena dinilai merugikan pekerja sektor HTI dan bisa mematikan sektor tempat mereka bekerja. Nursal mengklaim ada 250.000 pekerja di Riau yang bergantung kepada sektor HTI. “Ratusan ribu pekerja di sektor HTI bersyukur atas putusan MA soal uji materiil tersebut,” katanya.
Dia menuturkan, PermenLHK No P.17 tahun 2017 itu bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Dalam petitum permohonan hak uji materiil (HUM), SPSI Riau menggugat Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (l), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P. 17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tertanggal 9 Februari 2017 yang diundangkan pada 27 Februari 2017 (lihat grafis) .
Pasal itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 1 angka 7, Pasal 3 huruf e, Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (3), Pasal 19,Pasa1 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Angka 1.
Untuk itu, termohon — dalam hal ini Menteri LHK — diminta untuk segera mencabut pasal yang digugat tersebut, di mana peraturan tersebut tidak mempunyai hukum mengikat.
“Putusan MA ini tidak hanya menguntungkan pekerja HTI di Riau, tetapi seluruh provinsi yang memiliki sektor usaha di lahan gambut,” katanya, seraya menambahakan bahwa Riau menjadi provinsi yang memiliki gambut luas mencapai 60% dari total kawasan hutan.
Nursal menyatakan, SPSI Riau berharap Menteri LHK Siti Nurbaya legawa dan menerima putusan MA tersebut. Menteri LHK juga diharapkan menjalankan putusan tersebut demi kepentingan umum yang lebih luas.
“Jika PP gambut dan peraturan turunannya — termasuk P.17 tahun 2017 – diterapkan, itu sangat berbahaya bagi pekerja di sektor kehutanan. Di Riau saja ada 250.000 orang, belum di Papua, Sumatera Selatan, Jambi dan lainnya. Berapa banyak yang akan kehilangan pekerjaan dan bagaimana nasib keluarga pekerja? Untuk itu. kita minta, karena putusan ini sudah mengikat, bisa dijalankan,” harapnya.
Tembusan ke Presiden
Dalam putusan pemenangan gugatan PermenLHK No P.17/2017, SPSI Riau sudah mengirim surat tembusan ke Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, termasuk Menteri LKH Siti Nurbaya.
Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono menyatakan belum bisa memberikan keterangan terkait putusan MA tersebut. Alasannya, Kementerian LHK belum menerima salinan asli putusan terbut. “Kami belum terima,” ujarnya, Jumat (13/10/2017).
Namun, Bambang menjelaskan bahwa Permen LHK No P.17 tahun 2017 adalah bagian dari kebijakan perbaikan tata kelola gambut. Kebijakan itu diterapkan untuk mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan. “Jangan sampai kebakaran terulang. Makanya perlu ada perbaikan tata kelola di lahan gambut. Ini juga menjadi amanat Presiden,” katanya.
Sekadar mengingatkan, setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.57 tahun 2016 tentang Perubahan PP No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) pada akhir tahun 2016, Kementerian LHK kemudian membuat paket kebijakan terkait yang terdiri atas empat PermenLHK. Paket itu adalah PermenLHK No P.14 tahun 2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, PermenLHK No P.15 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, PermenLHK No P.16 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut, dan PermenLHK No P.17 tahun 2017 tentang Perubahan P.12 tahun 2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Paket kebijakan itu juga dilengkapi dengan dua keputusan menteri (Kepmen), yaitu Kepmen LHK tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan KepmenLHK tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut. Paket kebijakan itu diteken Menteri LHK Siti Nurbaya pada 9 Februari 2017.
Berdasarkan paket kebijakan itu telah ditetapkan peta indikatif 865 Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas total 24,6 juta hektare (ha). Rinciannya, di Sumatera ada 207 KHG seluas 9,6 juta ha, Kalimantan ada 190 KHG seluas 8,4 juta ha, Sulawesi 3 KHG seluas 63.290 ha, dan Papua dengan 465 KHG seluas 6,5 juta ha.
Dari 24,4 juta ha KHG, Kementerian LHK menetapkan seluas 12,26 juta ha mempunyai fungsi budidaya dan 12,39 juta ha memiliki fungsi lindung. Luas fungsi lindung ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria. Yaitu paling sedikit 30% dari seluruh luas KHG yang letaknya pada kubah gambut dan sekitarnya. Kriteria ini direplikasi jika ada lebih dari satu puncak gambut pada sebuah KHG.
Luas KHG dengan fungsi lindung bertambah jika masih ada gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih; plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Dari KHG dengan fungsi lindung yang sudah ditetapkan, ada sekitar 2,5 juta ha yang telah dibebani izin kehutanan dan perkebunan. Sekitar 1,6 juta ha berupa izin HTI dan sisanya perkebunan.
Sesuai PermenLHK No 17 tahun 2017, KHG yang ditetapkan memiliki fungsi lindung tak bisa lagi dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya HTI, meski sejatinya areal tersebut masuk dalam kawasan budidaya berdasarkan RTRW maupun peta kehutanan. Jika areal tersebut berada di areal usaha dan telah terlanjur dibudidayakan, maka sesuai dengan PermenLHK, areal tersebut dilarang untuk ditanami kembali setelah pemanenan. Ketentuan inilah yang digugat oleh SPSI Riau ke MA.
Jangan sepotong-sepotong
Bambang meminta kebijakan tentang pengelolaan gambut tidak dilihat sepotong-sepotong. Menurut dia, meski areal yang ditetapkan sebagai fungsi lindung gambut tak bisa lagi ditanami, namun Kementerian LHK juga sudah menerbitkan PermenLHK No P.40 tahun 2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada 4 Juli 2017.
Inilah ketentuan yang akan menjadi landasan penyediaan lahan pengganti bagi pemegang izin HTI yang konsesinya ditetapkan sebagai fungsi lindung ekosistem gambut. “Jadi, HTI tetap bisa beroperasi karena pemerintah menyediakan lahan pengganti,” katanya.
Sementara itu, ketika dimintai tanggapannya tentang soal putusan MA tentang PermenLHK No P.17 tahun2017 manajemen RAPP menolak untuk berkomentar. “Kami baru tahu dari media. Kami akan mempelajari lebih lanjut,” kata Agung Laksamana, Direktur Corporate Afffairs APRIL Grup, induk RAPP, Kamis (19/10/2017). Sugiharto
Pasal yang Digugat SPSI Riau
Pasal 1 angka 15 d
Fungsi Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang berfungsi melindungi ketersediaan air, kelestarian keanekaragaman hayati, penyimpan cadangan karbon penghasil oksigen, penyeimbang iklim yang terbagi menjadi fungsi lindung Ekosistem Gambut dan fungsi budidaya Ekosistem Gambut.
Pasal 7 huruf d
Kriteria-4, Kawasan hutan dengan fungsi Ekosistem Gambut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8A
(1) Dalam hal identifikasi analisis areal IUPHHK-HTI terdapat kawasan hutan dengan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, pemegang IUPHHK-HTI wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI.
(2) Pemegang IUPHHK-HTI wajib menyusun usulan revisi RKUPHHK-HTI yang berdasarkan antara lain:
- rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut; atau
- peta fungsi Ekosistem Gambut skala 1:250.000.
(3) Usulan revisi RKUPHHK-HTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemegang IUPHHK-HTI paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pemegang IUPHHK-HTI menerima peta fungsi Ekosistem Gambut dan disampaikan kepada Direktur Jenderal untuk dikonsultasikan guna mendapat persetujuan.
Pasal 8B
(1) Peta fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (2) huruf b, sebagai salah satu dasar penetapan tata ruang IUPHHK-HTI.
(2) Penetapan tata ruang IUPHHK-HTI yang telah ada peta fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan caratumpang susun antara peta RKUPHHK-HTI dengan peta fungsi Ekosistem Gambut.
(3) Tumpang susun antara peta RKUPHHK-HTI dengan peta fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 8C
(1) Dalam hal hasil tumpang susun sebagaimana dimaksud Pasal 8B, berupa kubah gambut dan belum ditanami wajib dipertahankan sebagai Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung.
Pasal 8D
Hasil tumpang susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8B, dapat berupa:
- perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung Ekosistem Gambut;
Pasal 8E
(1) Perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8D huruf a, yang telah terdapat tanaman pokok pada IUPHHK-HTI, pemanfaatannya diatur sebagai berikut:
- tanaman yang sudah ada dapat dipanen 1 (satu) daur dan tidak dapat ditanami kembali.
- wajib dilakukan pemulihan; dan
- dialokasikan sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI.
Pasal 23A
(1) IUPHHK-HTI yang telah terbit dan sudah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, izinnya dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir, dengan wajib melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI dan RKUPHHK-HTI berdasarkan Peraturan Menteri ini.