Tanpa RKU, Izin HTI Terancam Dicabut

Kanal di HTI

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bersikukuh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) harus menyesuaikan Rencana Kerja Usaha (RKU) dengan regulasi perlindungan dan pengelolaan gambut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 dan peraturan turunannya. Kementerian LHK bahkan mengancam menjatuhkan sanksi yang lebih tegas berupa pencabutan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri (HTI) RAPP.

Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono mengingatkan, tanpa RKU, RAPP tidak bisa melakukan aktivitas operasional di konsesinya. Jika hal ini berlangsung selama satu tahun, Kementerian LHK bisa menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin HTI. “Karena RAPP menelantarkan arealnya,” kata Bambang di Jakarta, Jumat (13/10/2017).

Bambang mengakui, RAPP beberapa kali mengajukan perbaikan dokumen RKU. Namun, sayangnya, usulan yang diajukan tetap akan memanfaatkan lahan gambut yang telah ditetapkan sebagai Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG). Dia mengingatkan, areal yang telah ditetapkan sebagai fungsi lindung tak boleh lagi dimanfaatkan untuk budidaya tanaman HTI.

Dia menyayangkan manajemen RAPP yang ‘berkepala batu’. Menurut Bambang, RAPP selalu berargumen bahwa konsesi mereka tak terbakar. Namun, Kementerian LHK, katanya, tak bisa mengambil risiko dengan membiarkan lahan gambut berfungsi lindung dikelola untuk budidaya tanaman HTI. “Tak ada yang menjamin lahan itu tidak terbakar nantinya,” cetus Bambang.

Dia menyatakan, seharusnya RAPP bisa meniru apa yang dilakukan perusahaan pesaingnya. Mereka patuh dan mau menyesuaikan RKU-nya sesuai dengan arahan Kementerian LHK dan menyisihkan areal yang ditetapkan sebagai fungsi lindung dari alokasi lahan budidaya HTI. “Kalau perusahaan lain bisa, RAPP juga harus bisa. Kami tidak bisa memberikan pengecualian pada perusahaan tertentu,” katanya.

Bambang menekankan, kebijakan perlindungan dan pengelolaan gambut yang diatur melalui PP 71/2014 jo. PP 57/2016 dan peraturan turunannya, bertujuan untuk menata ulang pengelolaan lahan gambut agar bencana kebakaran hutan dan lahan tak terulang. Menurut Bambang, kejadian kebakaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi semua pihak harus dijadikan pelajaran. “Kebakaran yang terjadi di tahun 2013 dan tahun 2015 menjadi pelajaran. Kita harus cegah jangan sampai terulang. Makanya perlu ada perbaikan tata kelola di lahan gambut,” katanya.

Bambang juga menegaskan, kebijakan pengelolaan gambut ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk melakukan upaya taktis mencegah kebakaran hutan dan lahan. Presiden, kata Bambang, juga sudah menginstruksikan bahwa PP 57 tahun 2016 menjadi acuan dalam perlindungan dan pengelolaan lahan gambut.

Regulasi gambut diakui memberi dampak bagi perusahaan HTI. Namun, pemerintah menyiapkan jaring pengaman yang jika ditaati tak akan mengganggu kinerja operasi HTI dalam menyediakan pasokan bahan baku kayu bagi industri di hilir.

Bambang menyatakan, Kementerian LHK juga memberikan asistensi bagi perusahaan HTI untuk memastikan mereka tetap bisa beroperasi dan berproduksi sehingga mencegah kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Perusahaan HTI tetap bisa bekerja dan tidak akan ada PHK jika mengikuti arahan yang kami siapkan,” kata Bambang.

Menurut Bambang, tim asistensi Kementerian LHK membantu melakukan penataan tata ruang HTI, sehingga lahan yang dialokasikan sebagai fungsi budidaya bisa dioptimalkan. “Kenyataan selama ini ada lahan yang tidak dikelola karena konflik atau malah dibiarkan. Ini yang akan ditata kembali,” kata Bambang.

Dia memaparkan bahwa KLHK memiliki visi jauh ke depan dalam perbaikan tata kelola gambut. Ini dibuktikan dengan disiapkannya kebijakan tentang lahan pengganti bagi perusahaan HTI yang arealnya menjadi fungsi lindung sesuai peta fungsi ekosistem gambut. “Karena pemerintah menginginkan perbaikan tata kelola gambut ini juga tidak sampai mematikan usaha yang ada saat ini,” katanya.

Tidak bijak

Namun, langkah Kementerian LHK menuai kritik Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr. Gusti Hardiansyah. Menurut dia, langkah Kementerian LHK yang menghentikan operasional RAPP dengan cara membatalkan persetujuan RKU adalah tidak bijak.

Dia mengingatkan, kebijakan tersebut telah mengakibatkan adanya pemutusan hubungan kerja ribuan orang dan Indonesia akan kehilangan devisa saat Negara sesungguhnya sedang butuh penerimaan. “Seharusnya kebijakan pengelolaan gambut bisa win-win solution,” katanya.

Gusti menyatakan, kebijakan pengelolaan gambut adalah pengelolaan risiko. Jadi, lahan itu harusnya tidak diharamkan untuk dimanfaatkan sepanjang risikonya bisa dikendalikan. Gusti memberi ibarat pengelolaan SPBU alias pom bensin yang juga mudah terbakar, bahkan dekat permukiman. Pom bensin tetap bisa beroperasi karena manajemen risiko yang baik.

Gusti menyindir kebijakan manajemen risiko dalam pengelolaan gambut yang menutup total peluang pemanfaatan. Menurut dia, kebijakan seperti itu bukanlah kebijakan kelas pejabat tinggi. “Kalau sekadar melarang, anak SD juga bisa,” katanya.

Gusti menduga, kebijakan yang diambil Menteri LHK Siti Nurbaya karena menerima informasi yang keliru dari orang-orang di sekelilingnya. Dia pun berharap agar Menteri LHK membuka ruang komunikasi dengan lebih banyak pemangku pihak sehingga kebijakannya akan lebih komprehensif.

Gusti mengingatkan, mengutip kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat UI, kebijakan soal gambut saat ini telah menggangu investasi di sektor kehutanan dan perkebunan senilai Rp277,3 triliun. Belum lagi dampak sosial karena banyak pekerja yang dirumahkan.

LSM dukung

Sementara itu, kalangan LSM justru mengapresiasi langkah Kementerian LHK yang ‘menghukum’ RAPP. Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) Woro Supartinah menyatakan, argumen yang disampaikan manajemen RAPP banyak yang tidak sesuai kenyataan.

“RAPP berbohong dengan menyatakan dengan pencabutan RKU, maka operasionalnya berhenti. Nyatanya, di lapangan operasional masih berjalan, termasuk aktivitas ekspor,” kata dia.

Kebohongan lain adalah soal proses pembatalan RKU yang disebut manajemen RAPP sangat cepat. Padahal, kenyataannya, ujar Woro, proses komunikasi antara Kementerian LHK dan perusahaan untuk merevisi RKU sudah dimulai sejak 19 Mei 2017 setelah diterbitkannya Peta Fungsi Ekosistem Gambut.

Selama proses itu, ungkap Woro, RAPP nyaris menutup diri dari proses transparansi penyusunan RKU sesuai dengan PP gambut. RAPP, katanya, mengklaim mengikuti amanat PP gambut. Kenyataannya, mereka malah menanam di kawasan fungsi lindung ekosistem gambut. Hal inilah yang berbuntut peringatan II dari Kementerian LHK.

RAPP juga dituding berbohong jika menyatakan memikirkan rakyat Riau ketika operasionalnya dihentikan. Menurut Woro, langkah RAPP yang mengajukan RKU tanpa berkiblat pada PP gambut sama dengan mempertaruhkan nasib jutaan rakyat Riau bila ekosistem gambut tidak terlindungi dengan baik. “Ribuan karyawan RAPP sesungguhnya adalah bagian dari jutaan rakyat Riau yang bisa menjadi korban jika lingkungan hidup rusak dan gambut terbakar. Sugiharto

RAPP adalah Objek Vital Nasional

Langkah Kementerian LHK menghentikan operasional HTI RAPP, salah satu industri strategis nasional memicu respons dari Kementerian Perindustrian. Kementerian yang dipimpin oleh Airlangga Sutarto itu dipastikan tidak akan tinggal diam.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyiapkan langkah yang akan diambil untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi RAPP.

“Langkah-langkah sedang kami siapkan bersama Biro Hukum (Kementerian Perindustrian),” ujarnya, ketika dihubungi Jumat (20/10/2017).

Edy menyatakan, langkah atau opsi yang akan ada nantinya segera didiskusikan  dengan pimpinan, yakni Menteri Airlanggar Hartato — yang saat ini sedang melakukan kunjungan kerja ke Jepang.

Edy menyatakan, Kemenperin sangat berkepentingan dengan keberadaan RAPP karena merupakan salah satu dari 38 industri yang masuk dalam Objek Vital Nasional Indonesia (OVNI) di sektor industri. Kegiatan produksi perusahaan itu juga sangat berpengaruh terhadap industri lainnya, seperti industri kertas dan tekstil. Bubur kayu (pulp) memang selain menjadi bahan baku pembuatan kertas juga bisa diolah menjadi serat rayon untuk tekstil. B Wibowo