Indonesia bergerak cepat membuat aturan mengenai nilai ekonomi karbon (NEK) atau carbon pricing untuk meraih dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perpres NEK ini menjadi insentif buat pelaku usaha kehutanan karena bisa menjalankan multiusaha. Hanya saja, pemerintah diminta terbuka dan jangan sampai ketentuan NEK tak lebih sebagai upaya pemerintah mencari sumber pendapatan baru.
Sebelum berangkat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Presiden Jokowi ternyata sudah meneken peraturan presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada 29 Oktober 2021. Perpres ini mengatur tentang pasar karbon yang berguna buat Indonesia untuk meraih pendanaan iklim melalui mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon. Instrumen pasar terdiri dari cap and trade serta mekanisme offset gas rumah kaca (GRK), sementara instrumen non-pasar adalah pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja (result-based payment).
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dewanthi menegaskan besarnya peluang Indonesia memobilisasi dana dari NEK. Hanya saja, implementasinya akan bertahap. “Mekanisme perdagangannya nanti sepenuhnya mekanisme pasar, tapi diatur supaya misalnya jangan sampai under value, memperhitungkan environmental integrity, dan sebagainya,” papar Laksmi kepada AgroIndonesia di sela COP26.
Soal harga, Laksmi menyatakan Indonesia berharap mendapat harga premium. Pasalnya, karbon Indonesia juga terkait dengan jasa lingkungan lainnya, seperti tata air dan juga keanekaragaman hayati. “Jadi, kalau harga RBP saat ini rata-rata 5 dolar AS/ton, maka seharusnya di atas itu. Kita ingin Put the Right Prize and Put the Prize Right,” katanya.
Perpres NEK disambut positif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). “Kebijakan ini yang kita tunggu dari dulu,” kata Direktur Eksekutif METI, Paul Butarbutar di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Kamis (4/11/2021). Jika diimplementasikan dengan baik dan tepat, Perpres ini bisa memacu tumbuhnya pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo juga menilai Perpres NEK akan jadi insentif bagi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). “NEK menjadi insentif untuk mengimplementasikan multiusaha di tingkat tapak dan membantu aksi mitigasi perubahan iklim,” katanya. Setidaknya, ada 567 unit izin usaha pemanfaatan kawasan hutan produksi dengan luas areal pengelolaan 30,5 juta hektare (ha) bisa bertransformasi menjadi PBPH dan menerapkan multiusaha kehutanan.
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai ada yang kurang tepat dari pengembangan carbon pricing di Perpres NEK. Seharusnya, untuk mekanisme cap and trade tidak bisa dicampur aduk dengan mekanisme pungutan pajak. “Yang saya khawatir, pajak karbon hanya untuk menambah sumber penerimaan negara,” kata Fabby. Ini berarti tujuan penerapan pajak karbon untuk mendorong penghematan emisi GRK dan mencapai Net Zero Emmisions akan sulit. Itu sebabnya, dia berharap pemerintah membuka komunikasi yang luas bagi semua pihak untuk mengetahui dan memahami bagaimana carbon pricing akan diterapkan. AI