Krisis Pasokan, Harga Kakao Terbang

* Pabrik Pengolahan Berhenti Operasi

Harga biji kakao dunia diperkirakan bakal melonjak terbang menyusul pabrik-pabrik utama di dua produsen kakao dunia, Pantai Gading dan Ghana, berhenti berproduksi atau mengurangi pengolahan karena tak sanggup membeli biji kakao. Hal itu dikemukakan empat empat sumber perdagangan. Melambungnya harga bahan baku otomatis akan menerbangkan harga cokelat.

Produsen cokelat sendiri sudah menaikkan harga jual produknya ke konsumen, setelah tiga tahun terjadi panen kakao yang buruk, dan akan disusul pada panen keempat, di dua negara penghasil 60% kakao dunia tadi.

Harga kakao sudah naik dua kali lipat lebih selama tahun lalu, sehingga mencetak rekor harga kakao tertinggi sepanjang masa.

“Kita membutuhkan terjadinya kerusakan permintaan untuk bisa mengejar hancurnya pasokan,” ujar pakar kakao global Steve Wateridge dari Tropical Research Services, seperti dimuat Reuters, Kamis (14/3).

Para produsen cokelat tidak bisa menghasilkan cokelat menggunakan bahan baku biji kakao dan mengandalkan pabrik pengolahan untuk mengubah biji kakao tersebut menjadi butter (lemak kakao) dan liquor (pasta kakao) yang bisa dibuat menjadi cokelat.

Persoalannya, pabrik pengolahan menyatakan tak sanggup membeli biji kakao.

Pabrik BUMN pengolah kakao Pantai Gading, Transcao, yang merupakan salah satu dari 9 pabrik pengolahan kakao utama negeri itu, menyatakan telah berhenti membeli biji kakao karena tak sanggup dengan harganya yang melonjak tinggi.

Mereka mengaku masih mengolah biji kakao sisa stok yang masih ada, tapi tidak mengungkapkan berapa kapasitasnya. Dua orang sumber di industri pengolahan kakao mengatakan, pabrik Transcao sudah nyaris terhenti total.

Mereka minta tidak disebutkan jatidirinya dengan dalih tidak berwenang berbicara ke pers mengenai masalah itu.

Salah seorang sumber mengatakan, jumlah pabrik pengolahan BUMN lainnya yang berhenti beroperasi akan bertambah di Pantai Gading – negara yang menghasilkan hampir separuh kakao dunia.

Bahkan, kata dua sumber yang sama, trader global sekelas Cargill saja harus berjuang mencari sumber biji kakao untuk memasok pabrik pengolahan kakao utamanya di Pantai Gading, di mana sebulan lalu mereka sudah berhenti beroperasi selama seminggu. Namun Cargill tidak menjawab saat dikonfirmasikan masalah itu.

Sementara di negara produsen terbesar kedua di dunia, Ghana, situasinya tak jauh beda. Hampir seluruh delapan pabrik pengolahan biji kakao yang ada, termasuk BUMN Cocoa Processing Company (CPC), sudah berulang kali berhenti beroperasi selama berminggu-minggu sejak awal musim pemasaran Oktober, kata dua orang sumber lainnya.

CPC menyatakan, operasional mereka hanya berjalan 20% dari kapasitas produksi akibat kekurangan bahan baku biji kakao.

Gangguan di tingkat petani

Kenaikan harga biji kakao telah merontokkan mekanisme perdagangan kakao global yang sudah berjalan lama, di mana petani menjual biji kakao mereka ke pedagang pengumpul (pengepul), yang akan menjualnya lagi ke pabrik pengolahan atau ke pedagang kakao global.

Baca: Spekulan Bikin Harga Kakao Cetak Sejarah Tinggi

Para trader itu kemudian menjual biji kakao atau produk kakao olahan (lemak, bubuk dan pasta kakao) ke raksasa cokelat global seperti Nestle, Hershey dan Mondelez.

Pada saat kondisi normal, pasar kakao sangat diatur. Pedagang dan pabrik pengolah membeli biji kakao dari pedagang lokal hingga satu tahun di muka dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Pemerintah daerah biasanya menetapkan harga yang lebih rendah di tingkat petani.

Namun, dengan terjadinya penurunan pasok tahun ini, sistem itu rontok. Para pedagang lokal sering kali membayar biji kakao petani dengan harga lebih tinggi dari harga patokan petani untuk mengamankan pasokan.

Para pedagang itu kemudian menjual biji kakao di pasar fisik dengan harga yang lebih tinggi ketimbang mengirim barang sesuai dengan harga yang telah disepakati.

Ketika para pedagang global berebut membeli biji kakao yang ada dengan harga berapa pun untuk memenuhi kewajiban mereka memasok ke perusahaan cokelat, maka pabrik-pabrik pengolahan biji kakao lokal pun merana kekurangan pasokan.

Pihak berwenang Pantai Gading dan Ghana biasanya mencoba melindungi pabrik-pabrik pengolahan dalam negeri dengan mengguyur pinjaman/kredit murah atau dengan membatasi volume biji kakao yang bisa dibeli oleh para pedagang global.

Namun, tahun ini pabrik pengolahan tidak bisa memperoleh biji kakao yang sudah disepekati sebelumnya dan tidak sanggup membeli di harga spot yang lebih tinggi.

Para produsen cokelat dunia juga sudah menaikkan harga. Berdasarkan data dari firma riset pasar Circana, toko ritel di Amerika mengenakan tarif 11,6% lebih tinggi untuk produk cokelat tahun lalu dibandingkan tahun 2022.

Organisasi Kakao Internasional (ICCO) memperkirakan produksi kakao global akan turun 10,9% menjadi 4,45 juta ton pada musim ini.

Penggilingan — yang jadi patokan demand — akan turun 4,8% menjadi 4,78 juta ton karena para pengolah kesulitan membeli biji kakao, dan pasokan lemak kakao ke produsen cokelat akan lebih sedikit dengan harga lebih tinggi, yang pada gilirannya akan menaikkan harga jual di pasar.

Terjadinya ketimpangan antara pasok dan permintaan akan menyebabkan pasar mengalami defisit 374.000 ton biji kakao selama musim ini, atau naik dari defisit yang hanya 74.000 ton musim lalu, demikian data ICCO.

Hal ini berarti pabrik pengolahan dan perusahaan cokelat terpaksa harus menguras stok mereka untuk menutup kebutuhan. Para pakar ICCO memperkirakan stok kakao global akan menurun ke level terendah dalam 45 tahun pada akhir musim.

Menurut Wateridge, pasar kakao bisa kembali mengalami defisit pada musim depan karena parahnya serangan penyakit di Afrika Barat.

Pasar sendiri belum pernah mengalami defisit selama empat tahun berturut-turut sejak akhir tahun 1960-an, demikian data ICCO. AI