
Belakangan ini rupanya piala Adiwiyata telah menjadi tren bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota di Indonesia. Para pimpinan daerah mendorong sekolah-sekolah di wilayahnya untuk merebut piala kebanggaan yang dianggap sangat peduli dan berbudaya terhadap lingkungannya.
“Ada tren ke arah sana. Kalangan pimpinan daerah lebih tertarik mengejar piala Adiwiyata ketimbang piala lainnya,” ujar Kepala Pusat Pelatihan Masyarakat dan Pengembangan Generasi Lingkungan (Kapuslatmas dan PLG), Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Cicilia Sulastri.
Padahal untuk memperoleh piala Adiwiyata tersebut, ujarnya, tidak juga mudah, tapi juga tidak sulit. Persaingannya cukup berat, begitu juga dengan syarat untuk mendapatkannya, cukup abot alias berat. Berbeda untuk mendapatkan piala Adipura, persaingan untuk merebut Piala Adiwiyata dari sisi jumlah, sekolah di Indonesia ratusan ribu unit. Sedangkan piala Adipura tergolong relatif sedikit. Tapi untuk persyaratannya memang semuanya cukup berat.
Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) dan sudah dipublikasikan, tahun 2014/2015 jumlah sekolah di Indonesia mencapai 196.544 unit. Rinciannya, jumlah Sekolah Dasar (SD) merupakan sekolah paling banyak dengan mencapai 147.513 unit. Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekitar 36.518 unit dan Sekolah Menengah Atas (SMA) termasuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mencapai 12.513 unit.
Sementara itu jika ingin merebut piala Adipura justru persaingannya lebih sedikit. Data yang lain BPS menyebutkan tahun 2014/2015, jumlah Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia sekitar 416 Kabupaten, sedangkan jumlah Kota sebanyak 98 Kota. adapun totalnya mencapai 514 Kabupaten dan Kota.
Menurut Cicil, demikian panggilan akrab Cicilia, melihat tren tersebut, program yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dan diluncurkan sejak tahun 2006 dengan tujuan untuk mewujudkan warga sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan dianggap berhasil.
Buktinya, dalam beberapa tahun belakangan ini sudah banyak sekolah baik di Jawa, maupun di luar Jawa yang antusias ingin mendapatkan piala Adiwiyata. Meski hadiah yang diberikan setelah mendapatkan piala Adiwiyata bukan berupa uang dan hanya berupa piala dan piagam, namun hal itu tidak mempengaruhi bagi sekolah-sekolah untuk bermimpi mendapatkan piala tersebut.
Proses peraihan piala Adiwiyata dilakukan secara berjenjang. Menurut Cicil, peserta pertama diusulkan oleh kabupaten/kota ke tingkat provinsi dan seterusnya tingkat provinsi mengusulkan kepada Kementerian LHK. Jumlah sekolah yang diusulkan justru meningkat. “Saya belum melakukan penelitian, mengapa sekolah-sekolah dan bupati dan walikota mengejar untuk mendapatkan piala Adiwiyata,” ujarnya.
Dirinya berbangga dengan kesadaran tinggi guru-guru dan pejabat daerah yang begitu semangat dalam menyadarkan anak didiknya (siswa/siswi) terhadap pelestarian dan berbudaya lingkungan. Pasalnya, sekolah merupakan tempatnya generasi muda masa depan. Jika mereka tidak disadarkan sejak dini, maka siapa lagi yang akan menjaga agar flora dan fauna serta alam dan isinya tetap terjaga dan lestari.
Cicil juga sangat menghargai, para bupati dan walikota di sejumlah daerah yang selama ini telah mendorong sekolah-sekolah di wilayahnya untuk mendapatkan piala dan piagam Adiwiyata.
Dengan langkah para bupati/walikota serta pimpinan sekolah memperebutkan Adiwiyata, pertanda bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian dan berbudaya lingkungan sudah tinggi. Bahkan langkah-langkah tersebut harus menjadi pionir daerah dan sekolah lain untuk menjaga wilayah masing-masing.
Cukup berat
Adapun tahap pelaksanaan Adiwiyata meliputi pembinaan, penilaian dan pemberian penghargaan Adiwiyata baik tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional dan Mandiri. Setelah dilakukan pembinaan secara berjenjang dari tim pembina Adiwiyata nasional, tim pembina Adiwiyata provinsi, tim pembina Adiwiyata Kabupaten/Kota sampai sekolah-sekolah peserta Adiwiyata, dan ditindaklanjuti dengan evaluasi atau penilaian untuk mengetahui capaian kinerja sekolah dalam pelaksanaan kegiatan Adiwiyata.
Sedangkan aspek yang dinilai dalam pelaksanaan kegiatan Adiwiyata lanjutnya, meliputi empat komponen. Misalnya mulai dari kebijakan berwawasan lingkungan, terus kurikulum berbasis lingkungan, dan kegiatan lingkungan berbasis partisipatif hingga pengelolaan sarana pendukung ramah lingkungan. Begitu semua itu dijalankan, maka dalam rangka menyamakan persepsi tim penilai dalam melakukan penilaian sekolah dalam pelaksanaan kegiatan Adiwiyata tersebut perlu disusun pedoman teknis penilaian sekolah Adiwiyata.
Cicil merinci soal beratnya syarat yang harus dipenuhi bagi Sekolah yang akan memperebutkan piala Adiwiyata. Mulai pedoman teknis dengan tujuan memberikan acuan bagi tim penilai Adiwiyata dalam melakukan penilaian calon Sekolah Adiwiyata Mandiri termasuk untuk memperebutkan Adiwiyata tahun 2017.
Sedkitnya terdapat 17 pedoman teknis yang harus dipenuhi, mulai pengertian, mekanisme penilaian sekolah Adiwiyata Mandiri, penilaian dokumen, klarifikasi hasil penilaian dokumen, hingga verifikasi lapangan.
Pedoman teknis, ujar Cicil, sekolah Adiwiyata yang ditekankan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan dan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Contohnya kegiatan warga sekolah dalam pengelolaan sampah, perlindungan keanekaragaman hayati, konservasi air, konservasi energi dan penyediaan makanan dan minuman sehat.
Di samping itu yang harus dipenuhi termasuk dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah rangkaian kegiatan warga sekolah untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dan masih banyak lagi pedoman teknis yang harus dipenuhinya. AI