Ini Inovasi Indonesia untuk Mencegah Perubahan Iklim

Komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tak hanya milik pemerintah di tingkat pusat saja. Sejumlah pemerintah daerah juga mewujudkan komitmen tersebut melalui berbagai kebijakan inovatif. Menariknya, banyak anggota masyarakat di Indonesia yang juga punya inovasi yang tak kalah dahsyat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Berbagai inovasi itu tergambar pada beberapa diskusi panel pada Paviliun Indonesia yang digelar selama Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-22 di Marakes, Maroko, 7-18 November 2016. Diskusi panel selalu menarik minat peserta konferensi yang membuat kursi yang tersedia hampir selalu penuh.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, yang juga Kepala Delegasi Republik Indonesia, menyambut gembira berbagai inovasi kebijakan pertumbuhan yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. “Inovasi para kepala daerah dalam pertumbuhan hijau untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca sangat positif,” kata Menteri Nurbaya yang ditemui di Paviliun Indonesia.

Menteri Nurbaya melanjutkan, Pemerintah Pusat secara prinsip sangat mendukung pemerintah daerah dengan kebijakan pertumbuhan hijau. Menurut dia, bukan tidak mungkin jika kebijakan pemerintah daerah tersebut direplikasi untuk diterapkan di daerah lain. Bahkan, pemerintah Pusat siap untuk mendukung melalui regulasi nasional untuk implementasi kebijakan daerah.

Beberapa daerah yang cukup maju dengan kebijakan pertumbuhan hijau adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Gubernur Kalimantan Barat Cornelis menjelaskan, pihaknya mencanangkan pembangunan hijau (green growth) yang rendah emisi untuk mendorong peningkatan produksi hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Salah satu implementasi dari kebijakan ini adalah perlindungan lahan gambut. Kalbar telah membentuk tim restorasi gambut daerah, bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk membasahi, menanami kembali, dan merevitalisasi ekonomi di lahan gambut.

“Untuk pencegahan kebakaran kami bekerja sama dengan Kepolisian, TNI, Perusahaan, Masyarakat dan Mitra lain untuk menyelesaikan secara permanen kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Ada tiga pilar pembangunan hijau Kalbar. Pertama, memperkuat Kesatuan Pengelolaan Hutan, Mengendalikan Penggunaan Ruang dan Tata Kelola Perizinan. Pilar kedua, yakni membangun kemitraan dengan Pihak Swasta untuk memastikan rantai pasok komoditas diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dan yang terakhir, pilar ketiga, yakni menjamin pembangunan rendah emisi yang inklusif dengan keterlibatan aktif masyarakat adat dan petani kecil.

Implementasi tiga pilar itu diharapkan bisa mendorong tumbuhnya ekonomi berkelanjutan yang menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan yang dicapai pun akan bersifat inklusif dan merata. Di sisi lain, kebijakan pembangunan rendah emisi tersebut diharapkan bisa mempertahankan ekosistem produktif yang sehat, sehingga bisa menyangga kehidupan secara optimal

Sementara Bupati  Gorontalo, Profesor Nelson Pomalinggo mengungkapkan kebijakannya yang mendukung pembangunan berbasis lingkungan. Menurut dia, pemerintah kabupaten Gorontalo menyadari dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan ekonomi daerahnya, terutama kepada sektor pertanian. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk memasukan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021.

“Dalam menghadapi perubahan iklim, kami telah merancang program pembangunan yang berwawasan lingkungan, sehingga harapannya dapat melindungi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Adapun sektor ekonomi yang menjadi unggulan Kabupaten Gorontalo, yaitu perternakan, pertanian, dan perikanan yang seluruhnya bergantung kepada daya dukung lingkungan,” ujar Nelson.

Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh Pemkab Gorontalo, yaitu gerakan bersih-bersih lingkungan, penanaman pohon, dan mengembangkan Desa Tangguh Bencana. Dalam anggaran daerah dan desa, tahun 2017 juga sudah dialokasikan sebesar 10% untuk pegembangan lingkungan. Meski demikian, Nelson menegaskan pentingnya dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah pusat, swasta, akademisi, dan LSM.

Tanpa Membakar

Tak cuma di tingkat pemerintah, masyarakat petani pun memiliki berbagai inovasi untuk mencegah perubahan iklim. Salah satunya adalah Ahmad Tamanurudin, petani dari Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Taman, demikian biasa dipanggil, menggarap lahannya dengan prinsip Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) untuk menghasilkan berbagai sayur-mayur juga tanaman pangan seperi jagung.  “Tanpa dibakar, lahan gambut justru bisa makin subur,” kata dia.

Menurut Taman, pola pengelolaan petani yang membakar lahan gambut untuk meningkatkan kesuburan sesungguhnya salah. Jika dibakar, lahan gambut malah makin rusak. Asapnya pun berdampak buruk pada kesehatan.

Untuk memanfaatkan gambut, Taman mulai berinovasi sejak tahun 2010 dengan menambahkan tanah mineral di lubang-lubang tanam. Dia juga menambahkan pupuk organik, kapur dolomit, dan unsur hara lainnya unuk menetralkan keasaman gambut.

Upaya ini mengharuskannya merogoh tambahan biaya untuk pengelolaan lahan sebesar Rp1 juta untuk lahan seluas sekitar 2 hektare per musim tanam. “Memang ada tambahan biaya, tapi tak seberapa jika dibandingkan dengan lingkungan yang lebih terjaga,” katanya.

Inovasi juga dilakukan Suryono, petani di Tualang, Siak, Riau. Dia mengubah kebun sawit yang dikelolanya menjadi pertanian terintegrasi yang lebih menguntungkan dan ramah lingkungan.

Suryono yang mengelola lahan seluas 2 hektare menuturkan, dengan menanam sawit, dia bisa memanen 2-3 ton tandan buah segar (TBS) setiap bulan, dan memperoleh pendapatan sekita Rp3 juta per bulan.

Namun, Suryono melihat peluang lain dengan adanya ketergantungan besar wilayah tempatnya tinggal akan sayur dan buah dari daerah lain. Maka mulailah dia membudidayakan hortikultura sejak tahun 2013 dengan dukungan salah satu perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI). “Saya mulai membudidayakan bayam, kacang panjang, cabai, melon dan jagung,” katanya.

Pendapatannya pun naik berkali lipat. Sebagai gambaran, di lahannya ada 9 petak khusus tanaman bayam yang bisa dipanen setiap 15 hari. Dari setiap petak yang dipanen, Suryono bisa menghasilkan Rp600.000. Ini berarti dari bayam saja dia sudah berhasil memperoleh pendapatan  hingga Rp10 juta per bulan.

Kini, dalam sebulan, dia bisa memperoleh pendapatan hingga Rp25 juta per bulan. Dia pun bisa memperkerjakan beberapa orang tetangganya. Rekan petani di sekitarnya pun mulai mengikuti jejaknya untuk  mengkonversi sawit menjadi jenis tanaman lain.

Suryono menyatakan akan terus mengembangkan pertaniannya dengan melakukan kegiatan peternakan. Ini bisa membuatnya bisa memperoleh pupuk organik gratis bagi tanamannya.  AI

Dunia Apresiasi Komitmen Indonesia

Sejumlah negara memberi pengakuan terhadap kepemimpinan Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim. Salah satu apresiasi datang dari Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Australia, Josh Fraydenber. Dia mengaku terkesan dan menghargai upaya Indonesia dan pemerintah daerahnya yang memperhatikan keseimbangan lingkungan dalam pembangunan.

“Kami sangat menghargai inisiatif Indonesia,” kata Josh di Paviliun Indonesia.

Pengakuan terhadap kepemimpinan Indonesia itu membuat membuat suara Indonesia selalu didengar dalam persidangan konferensi perubahan iklim. Tak heran jika akhirnya Indonesia banyak menduduki posisi penting. Sebut saja ketika dipilih menjadi anggota Paris Commitee on Capacity Building (PCCB) mewakili Asia Pasifik. Posisi ini bisa mempengaruhi program-program penguatan kapasitas kebutuhan dalam implementasi Persetujuan Paris (Paris Agreement)  agar sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan negara berkembang lainnya.

“PCCB ini sangat strategis bagi Indonesia dan negara berkembang lain menuju implementasi Persetuujuan Paris,” kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim di Nur Masripatin.

Indonesia dinilai pantas mewakili Asia Pasifik karena memiliki kapasitas yang memadai. Indonesia juga memiliki pengalaman panjang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Masripatin menekankan pentingnya memiliki kapasitas yang memadai dalam implementasi Persetujuan Paris. “Tanpa kapasitas yang cukup, sulit bagi negara berkembang memenuhi niat kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca (NDC),” katanya.

Buat Indonesia, posisi ini bisa menentukan bagaimana program-program penguatan kapasitas bisa sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan negara berkembang lainnya. Menurut Masripatin, pengalaman selama ini banyak program penguatan kapasitas yang sebenarnya tidak diperlukan. “Sementara yang kita perlukan justru tidak memiliki dukungan,” katanya. AI