Panggilan Hijau Tiongkok, Sinyal Permintaan Produk yang Lebih Hijau di Tiongkok

Diah Y. Suradiredja

Oleh:  Diah Y. Suradiredja

Di tengah tekanan global terhadap perdagangan komoditi strategis Indonesia, perkembangan ekspor Sawit Indonesia yang dirilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Oktober 2023, terus meningkat.  Kenaikan terbesar terjadi pada ekspor CPO yang mencapai 589 ribu ton, atau naik sebesar 16,9% dari ekspor bulan Juni 2023 yakni sebesar 504 ribu ton.

Dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2022, Tiongkok merupakan tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia. Sebanyak 4,7 juta ton minyak sawit Indonesia diekspor ke Tiongkok pada 2021. Dalam wawancara di media KONTAN pada Agustus 2023, Ketua Umum GAPKI menyampaikan bahwa Indonesia diprediksi akan mengekspor minyak sawit ke Tiongkok sampai 7 juta ton selama tahun 2023.

Merujuk data dari Chinese Custom Pemerintah Tiongkok, total impor minyak kelapa sawit Tiongkok telah melonjak sebanyak 77,9% secara tahunan selama periode Januari hingga Juli 2023. Peningkatan permintaan ini lantaran menguatnya permintaan untuk minyak goreng.  Dalam tujuh bulan pertama tahun 2023, Tiongkok mengimpor sebanyak 2,67 juta ton minyak kelapa sawit, peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 1,50 juta ton yang diimpor selama periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Dari data tersebut, Indonesia memasok 73,8% total impor minyak sawit Tiongkok di tahun 2021 sampai dengan Juli 2023,meningkat sampai 78%.  Tiongkok memegang posisi strategis bagi industri sawit nasional, terutama dengan kemungkinan penambahan kuota ekspor ke Tiongkok dalam jangka pendek maupun panjang. Impor minyak sawit Tiongkok diperkirakan akan meningkat menjadi 7,2 juta ton pada 2021/2022 yang didorong oleh pemulihan ekonomi seiring pemulihan pandemi COVID-19 di negara tersebut.

Tiongkok juga membuka kemungkinan penambahan kuota impor sawit dalam jangka pendek dan panjang. Hal ini membuat pasar Tiongkok akan makin strategis bagi industri sawit nasional.

Sinyal Panggilan Hijau Tiongkok

Sejak Tahun 2018, Tiongkok menunjukkan bahwa mereka sedang menyongsong industri yang lebih hijau dan berkelanjutan, seiring dengan perkembangan dan tren industri global. Sinyal yang kuat terlihat pada Protection Conference 2018, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa perlindungan lingkungan membutuhkan penataan institusi dan implementasi hukum yang ketat, dan secara khusus, akselerasi inovasi yang bersifat institusional. Tiongkok membangun instrumen yang mendukung terciptanya industri yang berkelanjutan, seperti Fourteenth Plan Tiongkok (2021-2025), yang salah satunya membahas sistem perdagangan hijau dalam perdagangan luar negeri, peluncuran Pedoman Pembangunan Hijau Penanaman Modal Asing dan Kerja Sama, hingga target Dual Carbon Tiongkok. Berbagai inisiatif telah diluncurkan, seperti Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok 2018, Proposal Kebijakan Rantai Nilai Hijau dari China Council for International Cooperation of Environment and Development (CCICED) yang diajukan pada 2020 lalu, hingga pengembangan Panduan Konsumsi Minyak Sawit Berkelanjutan oleh China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA)pada 2022. Sedangkan dari aspek regulasi dan kebijakan, Tiongkok memiliki beberapa instrumen yang mendukung terciptanya industri yang lebih hijau, antara lain:

  1. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Lingkungan Hidup Tiongkok meluncurkan Pedoman Pembangunan Hijau Penanaman Modal Asing dan Kerja Sama pada 15 Juli 2021. Pedoman ini mendorong pelaku bisnis Tiongkok untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan untuk setiap investasi luar negeri dan langkah kerja sama mereka, termasuk konstruksi, produksi, operasi, dan inovasi.
  2. Ecological Civilization (Peradaban Ekologis). Tiongkok memiliki upaya untuk merangkul dan mementingkan kelestarian lingkungan serta berpindah dari pola selama empat dekade terakhir di mana pertumbuhan ekonomi dinilai telah merugikan lingkungan. Upaya ini bertujuan membangun masa depan bersama dan kehidupan yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. Target netralitas karbon Beijing tahun 2060, komitmen untuk mencapai puncak emisi karbon pada tahun 2030, dan keputusan untuk mengakhiri pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri adalah sebagian dari upaya membangun peradaban ekologis tersebut.
  3. Green Belt and Road Initiative (BRI), merupakan upaya untuk mengurangi dampak negatif lingkungan dari aktivitas ekonomi berupa konektivitas jalur perdagangan Tiongkok yang menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jalur darat dan laut. Hal ini juga bertujuan untuk memfasilitasi negara-negara BRI dalam menerapkan integrasi lingkungan dan pencapaian SDGs.

Isu Greenwashing di Tiongkok

Sejalan dengan perkembangan panggilan hijau Tiongkok yang terus bergulir dan disiapkan pemerintahnya untuk melindungi para pelaku pasar di Tiongkok dalam melakukan praktik berkelanjutan.  Isu waspada pada praktik greenwashing juga berkembang.

Salah satunya adalah industri periklanan, melakukan propaganda yang memposisikan produk dan jasa tertentu sebagai produk yang memiliki manfaat lingkungan.  Padahal sebenarnya tidak ada, sehingga menimbulkan banyak masalah hukum dan reputasi. Iklan lingkungan hidup yang palsu, menyesatkan, berlebihan atau tidak berdasar (sebagai praktik ‘greenwashing’) sebagian besar dilarang berdasarkan undang-undang dan standar yang mengatur bidang perlindungan konsumen dan periklanan. Memasarkan suatu produk sebagai produk yang ‘ramah lingkungan’, ‘aman bagi lingkungan’, atau menggunakan deskripsi lain yang menonjolkan atribut atau manfaat lingkungan hidup yang tidak jelas, berlebihan, menipu, menimbulkan salah tafsir atau tidak dapat dibuktikan dapat menimbulkan konsekuensi hukum.

Disitir dari Publikasi Gowlings and Wragge Lawrence Graham & Co (Gowling WLG), sebuah perusahan hukum, pada September 20236,  dalam hal legislasi Tiongkok belum membuat undang-undang khusus untuk mengatur aktivitas pemasaran greenwashing, namun telah mengatur tindakan tersebut di atas melalui undang-undang periklanan, undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang merek dagang, dan undang-undang anti persaingan tidak sehat. Tiongkok belum memiliki definisi yang jelas tentang merek dagang ramah lingkungan dalam undang-undang merek dagang Tiongkok.  ‘Merek dagang ramah lingkungan’ yang dikenal luas oleh pasar dan konsumen terutama mengacu pada merek dagang sertifikasi dan merek dagang kolektif, yang terutama berfokus pada merek perlindungan lingkungan dan indikasi geografis; seperti tanda pangan hijau, tanda sertifikasi bahan produksi pangan hijau dan tanda pangan organik, dll.

Di sektor keuangan Tiongkok, ‘greenwashing’ mengacu pada perusahaan yang memperoleh pembiayaan ramah lingkungan dengan kedok mengembangkan proyek ramah lingkungan, namun sebenarnya terlibat dalam proyek ‘non-hijau’ atau bahkan proyek yang tinggi karbon dan menimbulkan polusi tinggi.

Menanggapi situasi ini, otoritas pengawasan keuangan di tingkat nasional belum mengeluarkan panduan khusus, namun Komisi Regulasi Perbankan dan Asuransi Tiongkok setempat mengajukan panduan untuk mengembangkan keuangan ramah lingkungan secara giat pada tahun 2021.  Panduan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah daerah secara aktif mendorong lembaga perbankan dan asuransi untuk meningkatkan sistem penilaian organisasi keuangan ramah lingkungan, dan mendukung lembaga keuangan perbankan untuk membangun keuangan ramah lingkungan. Panduan ini juga mengharuskan lembaga keuangan untuk secara ketat mengelola pengendalian risiko sebelum berinvestasi dan memberikan pinjaman, sesuai dengan standar hijau nasional dan lokal untuk mencegah risiko proyek ‘greenwashing’.

Pada Februari 2022, Bank Rakyat Tiongkok dan departemen lainnya bersama-sama mengeluarkan ‘Rencana Lima Tahun ke-14 untuk Pengembangan Standardisasi Keuangan’, yang berfokus pada perlunya meningkatkan sistem standar keuangan ramah lingkungan. Penyatuan standar keuangan ramah lingkungan akan sangat membantu dalam menghindari munculnya proyek ramah lingkungan yang dirancang dan dikemas secara artifisial untuk memenuhi standar ramah lingkungan namun tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Hal ini juga akan memfasilitasi lembaga keuangan, dana ramah lingkungan dan lembaga investasi lainnya dalam menyediakan pembiayaan bagi perusahaan atau produk ramah lingkungan yang sesungguhnya.

Pemerintah Tiongkok menggunakan pendekatan regulasi dalam mewujudkan Green Tiongkok.  Badan administratif yang bertanggung jawab mengawasi tindakan persaingan tidak sehat dan iklan palsu adalah AMR (Administrasi Pengaturan Pasar) setempat. AMR memiliki yurisdiksi untuk mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang melanggar undang-undang periklanan dan undang-undang anti persaingan tidak sehat di negara tersebut, untuk menghilangkan dampak dalam lingkup yang sesuai, memberikan perintah semu dan mengenakan denda. Terdapat sejumlah besar kasus penegakan hukum yang salah mengartikan ‘perlindungan lingkungan’, ‘hijau’, oleh AMR lokal di berbagai daerah.

Pada tanggal 17 Februari 2023, Mahkamah Agung Rakyat Tiongkok (SPC) mengeluarkan dokumen panduan (interpretasi yudisial) dalam persidangan kasus-kasus terkait emisi karbon. Dokumen ini diberi nama ‘Pendapat Mahkamah Agung Rakyat tentang Implementasi Konsep Pembangunan Baru yang Lengkap dan Akurat dan Komprehensif serta Pemberian Layanan Peradilan untuk Promosi Aktif dan Stabil Puncak Emisi Karbon Dioksida dan Netralitas Karbon’, dan dikatakan memberikan panduan khusus pada 17 kategori kasus yang melibatkan emisi karbon.

Dampaknya bagi Indonesia

Perkembangan-perkembangan atau sinyal panggilan hijau Tiongkok di atas menunjukkan bahwa cepat atau lambat, Tiongkok akan menerapkan praktik dan standar industri yang berkelanjutan, termasuk di sektor sawit. Di beberapa negara kunsumen minyak sawit, periklanan ramah lingkungan dan kampanye pemasaran ramah lingkungan telah menjadi hal yang lumrah di kalangan bisnis dari semua ukuran dan di semua sektor. Mengiklankan atribut ramah lingkungan dari suatu produk atau layanan – melalui slogan, merek dagang, klaim kinerja, atau berbagai praktik pemasaran lainnya – menarik perhatian konsumen yang semakin meningkat terhadap lingkungan dan menyerukan perusahaan untuk ‘go green’.

Secara Nasional, Indonesia melalui RPJMN 2020-2024 sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020  menetapkan 4 (empat) pengarusutamaan sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif, sehingga dapat menjadi katalis pembangunan untuk menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan yang terdiri dari: Pembangunan Berkelanjutan; Gender; Modal Sosial dan Budaya; serta Transformasi Digital. Keempat pengarusutamaan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan sektor dan wilayah, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan memastikan pelaksanaannya secara inklusif.

Selain mempercepat pencapaian target-target dari fokus pembangunan, pengarusutamaan ini juga bertujuan untuk memberikan akses pembangunan yang merata dan adil dengan meningkatkan efisiensi tata kelola dan juga adaptabilitas terhadap faktor eksternal lingkungan.  Perubahan iklim telah diarusutamakan ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sesuai dengan kerangka strategi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (Low Carbon Development Indonesia/LCDI) yang lebih luas.

Terkait dengan industri sawit, sinyal panggilan hijau Tiongkok seharusnya dapat mendorong adanya langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan pemangku kepentingan industri sawit Indonesia untuk mengantisipasi dan mengamankan akses ke pasar ekspor terbesar Indonesia ke Tiongkok.  Karena sampai saat ini, Industri Sawit sangat berperan strategis dalam perekonomian nasional karena mempunyai misi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja.    ***