Oleh : Poedjo Rahardjo (Mantan Pegawai Perum Perhutani. Anggota PUSKASHUT Yayasan Sarana Wana Jaya)
Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2010. Berdasarkan PP ini Pemerintah menugaskan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten, kecuali hutan konservasi.
Dengan diundangkannya UU Cipta Kerja Tahun 2020, diterbitkan aturan turunannya yaitu PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan. PP ini telah mencabut ketentuan mengenai wilayah kerja Perum Perhutani dalam PP Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani. Sebagai gantinya Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri LHK Nomor 73 Tahun 2021 Tentang Penugasan Pengelolaan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi-provinsi Jateng, Jatim, Jabar dan Banten kepada Perum Kehutanan Negara.
Dalam dengar pendapat dengan DPR RI Menteri LHK menegaskan bahwa Perhutanan Sosial tidak boleh menjadi bisnisnya Perhutani. Suatu peringatan yang sangat jelas bahwa Perum Perhutani tidak boleh mengambil keuntungan dari Perhutanan Sosial, yang berlawanan dengan tujuan Perhutanan Sosial untuk mengangkat harkat hidup masyarakat desa sekitar hutan. Oleh karena itu di dalam tulisan ini dicoba untuk diungkap Perhutanan Sosial di Perum Perhutani, dengan melakukan kilas balik keberadaannya dan pelaksanaannya hingga saat ini.
Kilas Balik Perhutanan Sosial Perum Perhutani
Sejarah Perhutanan Sosial di Perum Perhutani dimulai tahun 1972 ketika Perum Perhutani mencanangkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dalam pengelolaan hutan dengan meluncurkan program Malu, yaitu kerjasama Mantri dan Lurah, yang diikuti dengan program intensifikasi khusus (insus) tumpangsari, dengan memberikan bantuan berupa bibit unggul, pupuk dan obat-obatan untuk meningkatkan hasil pertanian kepada petani penggarap. Pada tahun 1982 program-program prosperity approach tersebut diatas dikoordinasikan di bawah satu program yaitu program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). PMDH merupakan strategi pengelolaan hutan dengan sasaran mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat desa hutan, memberikan manfaat yang optimum dan tercapainya kelestarian hutan.
Pada tahun 1986 diperkenalkan konsep Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Perhutanan Sosial sebagian besar dilakukan di wilayah hutan yang rawan dalam skala terbatas sebagai suatu pilot proyek. Kegiatan ini ditunjang oleh Lembaga Swadaya Masyarakat /Ford Foundation dan Perguruan Tinggi melalui proyek kerja sama. Di dalam kawasan hutan yang dikerjasamakan dengan masyarakat melalui Perhutanan Sosial, di terapkan teknik agroforestry yaitu menyisipkan tanamanpertanian (pohon buah atau perkebunan) dengan pola tertentu di antara tanaman hutan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat memperoleh hasil yang berkelanjutan dari tanaman pertanian, di satu lokasi.
Dalam perjalanannya PMDH dirasakan belum dapat menjawab problematik masalah kemiskinan dan kerusakan hutan sebagai akibat meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Sehingga pada tahun 1998 program PMDH disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDH-T) dengan melibatkan peran Pemda setempat. Dengan keterlibatan Pemda dan melalui koordinasi lintas sektoral, maka program PMDH diselaraskan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi wilayah pedesaan.
Gerakan reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi tahun 1998 telah mendorong perobahan paradigma pengelolaan sumber daya hutan di Perum Perhutani, yaitu dari Forest Timber Management menjadi Forest Resource Management dan dari State Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management. Perubahan paradigma ini dicantumkan sebagai Visi dan Misi Perum Perhutani ketika itu.
Menjawab tuntutan perubahan tersebut maka pada tahun 2001 digulirkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan prinsip bersama, berdaya dan berbagi, baik berbagi berbasis lahan maupun berbagi berbasis non lahan. Dalam prinsip berbagi berbasis lahan maka kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani habis dibagi ke dalam Hutan Pangkuan Desa (HBD). HBD adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dapat menjadi lokasi kerja sama Kemitraan Kehutanan yang batas-batasnya menggunakan pendekatan batas administratif Desa dan ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan Desa. Perum Perhutani melakukan kemitraan dengan Pengelola HPD yaitu Lembaga Kemasyarakatan Desa yang diakui oleh desa (Lembaga Masyarakat Desa Hutan/LMDH).
Peraturan Menteri LHK tentang Perhutanan Sosial
Dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang merupakan revisi penggabungan dari kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat mengenai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat , Hutan Adat dan Kemitraan, maka program kemitraan dalam PHBM memperoleh payung hukum. Kerja sama kemitraan termasuk jangka waktunya diatur dengan Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL). Pengaturan kerjasama tersebut disebut Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK).
Proses perencanaan pemanfaatan hutan secara partisipatif/kolaboratif dengan skema KULIN KK disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut (“Kebijakan Perum Kehutanan Negara Kedepan dalam Penyelenggaraan Perhutanan Sosial Pasca Penetapan Kepmen LHK No. SK 73 Tahun 2021”, Makalah disajikan dalam Webinar Yayasan Sarana Wana Jaya, 6 Mei 2021): 1) Pemetaan potensi baik potensi hutan maupun potensi desa, 2) Memasukan database Perhutanan Sosial Sociopartnership, a.l. pemodal, off taker pasar, 3) Penyusunan Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) yaitu Naskah yang berisi kesepakatan bersama dalam penyelenggaraan Kemitraan Kehutanan = Perjanjian Kerjasama Kemitraan Kehutanan, 4) Penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Proses penyusunan Rencana Kerja Usaha (RKU) yang merupakan Dokumen Rencana Strategis usaha masyarakat yang memaduserasikan seluruh potensi sumberdaya alam–sumberdaya manusia–Peluang Bisnis/usaha masyarakat dengan tujuan kelestarian bisnis usaha dan kelestarian hutan, dan penyusunan RKT melibatkan para pihak yaitu Pemegang Izin, Perhutani, Mitra Usaha dan pendamping Kelompok Kerja (POKJA). Dengan narasumber Kepala Desa, Cabang Dinas Kehutanan, Cabang Dinas Pertanian dan Peternakan.
Sementara itu pemerintah menerbitkan PerMen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 Tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Di sini Perhutanan Sosial didefinisikan sebagai: Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Izin Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan Permen ini maka Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) diberikan kepada Ketua Kelompok Masyarakat, Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan dan Ketua Koperasi Setempat/Koperasi mitra BUMDes, dan berjangka waktu 35 tahun.
Proses perencanaan pemanfaatan hutan secara partisipatif/kolaboratif dengan skema IPHPS dilaksanakan oleh Perum Perhutani dengan melakukan Redesign Management Plan KPH (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan /RPKH) dengan jenis – jenis kelas perusahaan (jati, pinus dll), tanaman kayu putih, tanaman energy dan tanaman pangan, sesuai dengan komposisi agroforestry 50% tanaman kehutanan, 30% Multi Purpose Tree Species/MPTS dan 20% tanaman pangan.
Sehingga ada dua skema Perhutanan Sosial di areal kerja Perum Perhutani yaitu KULINKK dan IPHPS. Namun demikian syarat lokasi Kemitraan Kehutanan maupun syarat lokasi IPHPS adalah sama yaitu didasarkan pada peta indikatif kemitraan PerhutananSosial (PIAPS) dari Planologi. Implementasi Perhutanan Sosial baik berupaKULIN KK maupun IHPS sampai dengan Januari 2018 dilaksanakan 155 lokasi dengan jumlah luas areal kawasan hutan 57. 884, 92 ha dan melibatkan 32.972 KK (Peran Perum Perum Perhutani Dalam Mengendalikan Implementasi Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial/IPHPSdi Tingkat Tapak, April 2018).
Pada tahun 2021 Perum Perhutani menyusun program Fasilitasi Peningkatan Klasifikasi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Program ini dimaksud untuk meningkatkan kelas KUPS yang berjumlah 1.457 KUPS sehingga menjadi KUPS yang mandiri. Komoditas usaha meliputi 9 komoditas antara lain berupa Agroforestry (50%), Silvopasture (11%), Ekowisata (14%), Silvofishery (2%). Ruang lingkup program ini adalah Perbaikan Tata Kelola Kelompok (Kelompok Perhutanan Sosial / KPS dan KUPS), Peningkatan Tata Kelola Kawasan Hutan dan Peningkatan Tata Kelola Usaha. Langkah-langkah yang dilakukan adalah Mendorong peningkatan pembentukan kelompok usaha (KUPS), Penyelenggaraan Pendidikan, Pelatihan dan Pendampingan kepada KUPS, Memberikan pendampingan dalam rangka fasilitasi akses saprotan, permodalan dan bimbingan teknis kepada KPS dan KUPS, dan Digitalisasi proses kerjasama sosial untuk implementasi Perhutanan Sosial.
Dengan diterbitkannya peraturan Menteri yang terbaru yaitu Permen LHK Nomor No 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang merupakan aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, maka penyelenggaraan Perhutanan Sosial mengacu kepada ketentuan ini. Dalam peraturan ini Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dinyatakan dicabut.
Menindak lanjuti Keputusan Menteri LHK Nomor SK 73 Tahun 2021, Perum Perhutani dalam “Kebijakan Perum Kehutanan Negara Kedepan dalam Penyelenggaraan Perhutanan Sosial Pasca Penetapan Kepmen LHK No. SK 73 Tahun 2021” telah melakukan langkah-langkah penyesuaian diantaranya :
1. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Kehutanan yang sudah terbit SK KULIN KK dinyatakan tetap berlaku sampai ada keputusan lebih lanjut dari KemenLHK
2. Perjanjian Kerjasama kemitraan Kehutanan yang sedang dalam proses pengajuan permohonan KULIN KK ke Kementerian LHK akan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
3. Perjanjian Kerjasama kemitraan Kehutanan yang belum terbit Keputusan Menteri LHK tentang KULIN KK, namun sudah habis masa berlakunya NKK/PKS, maka dengan mengacu pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 72/ 2010, terhadap perjanjian tersebut dapat diperpanjang dalam bentuk Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Hutan dengan tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak sebelumnya,
4. Perjanjian Kerjasama Kemitraan Kehutanan yang berlaku namun belum terbit Keputusan Menteri LHK tentang KULINKK, maka perjanjian tersebut dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis dan selanjutnya akan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
PENUTUP
Masalah kemiskinan di pedesaan termasuk di desa-desa sekitar hutan merupakan masalah yang kompleks dan bersifat multidimensi, oleh karena itu tidak mungkin diselesaikan oleh satu sektor saja. Perhutani yang merupakan penjelmaan Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura pada tahun 1972 memperoleh statusnya sebagai Perum dengan tugas mengelola hutan produksi dan hutan lindung di Jawa, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai organisasi yang besarperilaku organisasi sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya feodal. Akan tetapi perilaku organisasi ini harus dibedakan dengan kebijakan organisasi. Sejak awal didirikannya dengan statusnya sebagai Perum, Perhutani telah berupaya membantu mengurangi kemiskinan didesa sekitar hutan. Dimulai dari gerakan MALU, program prosperity approach, PHDH, sehingga PHBM/Perhutanan Sosial.
Sementara itu gerakan reformasi yang digulirkan dan gonjang ganjing politik yang terjadi tahun 1998, telah berimbas pada terjadinya kerusakan hutan sebagai akibat lemahnya pemerintahan. Puluhan ribu hektare hutan lindung dan hutan produksi di Jawa dijarah dan aparat tidak berdaya. Dampak kerusakan hutan tersebut dirasakan secara signifikan hingga saat ini. Program reboisasi dan speed up reboisasi yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak berarti. Tantangan inilah yang dihadapi Perum Perhutani pada waktu ini.
Dari uraian tersebut diatas, Perhutanan Sosial dapat dipandang sebagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan. Perhutanan Sosial bukan bisnis Perum Perhutani tetapi bagian dari tugas publik sesuai status Perhutani sebagai Perum. Kebijakan agar Perhutani fokus pada bisnis dan membebaskan dari tugas pemberdayaan masyarakat mengindikasikan perubahan status Perhutani, sehingga patut dipertanyakan apakah masih relevan Perhutani menyandang status Perum? ***