Analisis Rantai Nilai Perdagangan Usaha Minyak Atsiri di Indonesia dan Digitalisasi Bisnis Proses Pemasaran

Ilustrasi minyak atsiri (Pixabay)

Oleh: Fadillah Aryani SuhandokoMariatul Qibtiyah, Muhammad Ridi Syaputra (Mahasiswa Universitas Mulawarman/Pemenang Favorit ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Populer Mahasiswa Kehutanan APHI Tahun 2021).

Multi Usaha Kehutanan adalah penerapan beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Penerapan multi usaha tidak hanya berfokus pada keuntungan hutan produksi untuk kepentingan bisnis, tetapi dapat meningkatkan produktivitas rakyat dalam konsesi, guna mendukung meningkatkan dan memulihkan ekonomi dalam sektor kehutanan (Permenhut No. 8 2021).

Dukungan yang dilakukan KLHK dalam memulihkan ekonomi sektor kehutanan dengan cara mengeluarkan kebijakan Perdirjen PHPL No. P.01/2020 tentang Tata Cara Permohonan, Penugasan dan Pelaksanaan Model Multiusaha Kehutanan bagi Pemegang IUPHHK pada Hutan Produksi. Kebijakan ini keluar dikarenakan masih banyaknya ruang kawasan hutan produksi di dalam areal izin usaha perlu dioptimalkan.

Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan (PBPH) merupakan perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil hutan. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau disebut sebagai pemegang izin adalah badan usaha, koperasi, atau perorangan yang diberi izin usaha di bidang pemanfaatan hutan.

Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) terdiri dari benda-benda hayati yang berasal dari flora dan fauna. Jasa air, udara dan manfaat secara tidak langsung dari hutan juga termasuk dalam hasil hutan bukan kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan (Anonim, 2010).

Pengembangan HHBK dapat meningkatkan banyak hal, yaitu dari meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, memperluas lapangan pekerjaan, peningkatan nilai tambah hingga meningkatkan pendapatan negara.

Satu kelompok HHBK yang tertuang dalam permenhut No 35/Menhut-II/2007 adalah kelompok minyak atsiri. Tanaman penghasil minyak atsiri dapat dikategorikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan hal ini sangat potensial untuk dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan. Minyak atsiri sendiri merupakan jenis minyak nabati multi manfaat yang berasal dari tumbuhan aromatik (Anonim,2019).

Kondisi saat ini perkembangan minyak atsiri di Indonesia, menurut DAI (Dewan Atsiri Indonesia) sudah ada 25 jenis tanaman minyak atsiri yang telah dikembangkan secara komersial menjadi industri minyak atsiri dari hulu hingga hilir sampai dengan tahun 2020.

Indonesia merupakan negara yang memimpin pasar dunia komoditas minyak nilam, cengkeh, minyak pala, minyak sereh wangi dan lainnya. Hal inilah yang telah membuat Indonesia memiliki nilai ekspor tahunan sekitar US$400 juta. Indonesia memiliki sekitar 3000 industri penyulingan tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia. Peluang bisnis pemanfaatan HHBK khususnya minyak atsiri dan produk turunannya dapat dikenalkan kepada para pemegang IUPHHK dalam rangka optimalisasi lahan dan diversifikasi usaha untuk meningkatkan kinerja serta kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan sebagai paradigma baru pengelolaan hutan produksi lestari.

Selain itu, HHBK yang memiliki sebuah keunggulan adalah dimana pemanfaatannya dapat bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar. Kelompok tani hutan (KTH) yang memiliki izin pakai lahan pada kawasan kehutanan seharusnya memiliki keuntungan untuk memaksimalkan dari HHBK seperti minyak atsiri. Tetapi masih banyak kelompok tani hutan yang tidak mengetahui apa yang ingin mereka tanam sehingga mereka menyia-nyiakan izin pakai lahan pada kawasan kehutanan yang telah diberikan oleh pemerintah. (Harun,2014).

Para petani perlu mendapat informasi terkait kegiatan yang dapat dihubungkan dengan pihak perusahaan HPH atau Perusahaan swasta yang ingin mengolah minyak atsiri. Proses ini akan menjadikan kelompok tani dan perusahan HPH atau perusahaan swasta, baik dalam maupun luar negeri menciptakan suatu sistem kemitraan, yang dapat saling menguntungkan dan bersinergi satu sama lain baik bagi kelompok tani hutan, fasilitator, dan perusahaan HPH atau perusahaan swasta.

Melalui sistem kemitraan ini dirancang upaya pemberdayaan masyarakat yang berada dalam kawasan sekitar hutan, serta sebagai upaya penyelesaian permasalahan pemasaran hasil panen milik kelompok tani hutan. Kemitraan yang terjalin antara dua pihak atau lebih diharapkan dapat meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Melalui sistem kemitraan dapat mengatasi masalah minimnya informasi pasar dan risiko, dapat menjadi solusi untuk mengatasi risiko harga produk dan dapat meningkatkan pendapatan petani.

Seharusnya dari permasalahan yang sekarang dihadapi oleh pemegang izin PBPH, dimana ide gagasan ini perlu dipertimbangkan karena mengingat solusi dan potensi peluang melalui analisis SWOT yang kami berikan sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada serta mudah diimplementasikan dalam multi usaha kehutanan.

GAGASAN

Landasan kebijakan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan multiusaha dibidang sektor kehutanan terdapat dalam UU Permenhut Bab 1, ketentuan umum dalam pasal 1 sebagai berikut:

  • Ayat 10 dan ayat 13 yang menjelaskan tentang pemanfaatan HHBK serta izin memakai dan pengelolaan wilayah hutan.
  • Ayat 21 yang menjelaskan tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
  • Ayat 22 yang menjelaskan tentang sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik yaitu sistem OSS.
  • Ayat 28 yang menjelaskan tentang multi usaha kehutanan seperti: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemanfaatan jasa lingkungan untuk mengoptimalkan kawasan hutan.

Strategi mengimplementasikan isi gagasan:

1. Meningkatkan SDM untuk pengelolaan minyak atsiri dapat dilakukan dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat, memberikan informasi serta mengajak masyarakat tersebut untuk berpartisipasi dalam memanfaatkan lahan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di daerah sekitar kawasan desa untuk dikelola dan dijadikan sebuah multiusaha kelompok di bidang sektor kehutanan desa tersebut.

2. Fasilitator/sarana mempertemukan perusahaan pemegang HPH atau perusahaan swasta yang membutuhkan bahan baku minyak atsiri dengan kelompok tani hutan (KTH). Sehingga para petani tidak merasa kesulitan untuk mencari pasar yang bisa menampung semua hasil yang mereka panen serta dapat meningkatkan produktivitas pada bahan baku tersebut apabila sudah mendapatkan pasar yang lebih pasti atau menjanjikan untuk mereka dan sama-sama menciptakan keuntungan kemitraan.

3. Kelompok tani hutan (KTH) berperan sebagai mitra pemegang izin PBPH yang menyediakan bahan baku minyak atsiri.

4. Mengelola izin pengoptimalan penggunaan lahan pada kawasan hutan sekitar dan izin pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu menjadi multi usaha masyarakat di daerah kawasan tersebut.

5. Membantu mempromosikan produk hasil dari minyak atsiri tersebut dengan menggunakan perizinan pemasaran usaha online berbasis digitalisasi bisnis proses pemasaran sehingga dapat menjangkau pihak konsumen di berbagai daerah di Indonesia.

Konsep tentang kemitraan antara perusahaan kehutanan dengan masyarakat setempat yang sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1990-an (Nawir, 2011). Melalui skema ini pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan dan pemegang Hak Pengelolaan Hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dapat membangun kemitraan dengan masyarakat yang hidupnya di dalam atau di sekitar hutan serta menggantungkan hidupnya dari hasil hutan dan kawasan hutan. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar serta melestarikan hutan. Skema kemitraan kehutanan ini diharapkan juga mampu menjadi alternatif penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pengelola hutan dan pemegang izin.

Berdasarkan dari analisis SWOT gagasan ini sangat mudah diimplementasikan oleh pemegang izin PBPH mengingat populasi para petani dalam menanam tanaman penghasil minyak atsiri masih cukup tinggi dengan didukungnya luasan lahan untuk budidaya komoditas minyak atsiri yang masih memadai. Sebagai negara yang memiliki beraneka ragam jenis tumbuhan aromatik, Indonesia dan kemitraan HHBK minyak atsiri harus melihat peluang yang prospektif ini untuk pengembangan perdagangan minyak atsiri . Selain itu, gagasan kemitraan kehutanan antara pemegang izin PBPH dengan kelompok tani hutan saat ini masih dikesampingkan mengingat potensi peluang permintaan pasar minyak atsiri di Indonesia masih terbuka luas khususnya untuk luar negeri. Permintaan pasar minyak atsiri ini pun apabila dimanfaatkan dengan baik akan menjadikan bisnis minyak atsiri sebagai salah satu alternatif pendapatan Negara.

REKOMENDASI

Berdasarkan analisis strategi digitalisasi bisnis dan sistem kemitraan HHBK, maka dapat dirumuskan pengembangannya sebagai berikut :

  • Mempermudah perusahaan PBPH dalam memasok bahan baku HHBK minyak atsiri serta mendapatkan kemudahan dalam memasarkan produk minyak atsiri.
  • Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sangat mudah memperluas relasi kemitraan dengan para petani dan perusahaan-perusahaan HPH ataupun perusahaan swasta.
  • Menjadi fasilitator antara kelompok tani dan perusahaan HPH atau perusahaan swasta serta mendapatkan keuntungan dengan menjadi fasilitator yaitu mempermudah dalam hal pemasaran produk HHBK minyak atsiri.
  • Membantu pemegang izin PBPH dalam memaksimalkan izin pakai lahan pada kawasan kehutanan sehingga mengurangi izin pakai lahan pada kawasan kehutanan yang tidak terpakai.
  • Membantu pemegang izin PBPH dalam meningkatkan ekonomi di sektor kehutanan melalui sistem kemitraan. ***