Penguatan KPH Dukung Masyarakat Hutan Sejahtera

Direktur KPH Produksi KLHK Drasospolino memberikan cinderamata kepada peneliti utama Institute for Environment and Development (IIED) Duncan MacQueen di Jakarta, Jumat (2/6/2017).

Eksistensi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) bisa mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui skema perhutanan sosial. Meski demikian, sebagai unit pengelola hutan di tingkat tapak, KPH perlu diperkuat sehingga mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.

Demikian dinyatakan peneliti utama Institute for Environment and Development (IIED) Duncan MacQueen di Jakarta, Jumat (2/6/2017). Duncan bersama tim Multistakeholder Forestry Programme (MFP) 3 sempat melakukan kunjungan dan meyaksikan praktik-praktik perhutanan sosial di sejumlah KPH di Indonesia.

Menurut Duncan, perhutanan sosial yang dipraktikan di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika memperlihatkan adanya kecenderungan perbaikan tutupan hutan. “Perhutanan sosial bisa mendukung perekonomian berbasis komunitas sekaligus mengelola hutan secara lestari,” katanya.

Menurut Duncan, Indonesia memiliki prospek yang sangat baik untuk mendorong perhutanan sosial. Indonesia bisa menghasilkan berbagai produk hasil hutan bernilai komersial tinggi mulai dari produk kayu, hasil hutan non kayu, maupun jasa lingkungan.

Untuk menghasilkan produk kayu, Indonesia memiliki keuntungan iklim yang sangat mendukung. Ini membuat pohon di Indonesia bisa dipanen hanya dalam waktu 5 tahunan. Sementara di negara-negara Skandinavia seperti Swedia, bisa mencapai 90-120 tahun. Potensi kayu Indonesia semakin besar setelah sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) Indonesia disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) oleh Uni Eropa.

Duncan melanjutkan, produk non kayu di Indonesia juga sangat potensial seperti madu dan kemiri. “Indonesia juga memiliki potensi jasa lingkungan besar seperti yang sudah ditunjukan masyarakat pengelola wisata Kalibiru di Yogyakarta,” katanya.

Potensi besar yang dimiliki, bisa semakin terasah jika ada dukungan memadai. Dukungan tersebut, kata Duncan, bisa diberikan oleh KPH sebagai organisasi pengelolaan hutan terdepan.

Dia menuturkan, ada empat peran yang bisa ditempuh KPH dalam mempromosikan perhutanan sosial. Selain bekerja sama dengan masyarakatKPH bisa membeli produk mereka untuk dijual lagi agar masyarakat mendapat harga bagus, menyediakan layanan seperti pelatihan teknis dan organisasi, serta mempertemukan kelompok tani dengan perusahaan.

“Meski demikian, KPH perlu ditingkatkan dan diperkuat kapasitasnya,” kata Duncan.

Beberapa penguatan yang bisa dilakukan diantaranya adalah pelatihan pengembangan usaha bagi staf KPH. Selain itu, perlu ada staf khusus yang didedikasikan untuk mendorong pengembangan usaha perhutanan sosial.

Penguatan lainnya adalah dibuatnya rancangan untuk mendukung perhutanan dan sosial dan memperluas jaringan bisnis yang bermanfaat.

Mandiri

Peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Cifor) Dede Rochadi menyatakan, tantangan yang dihadapi KPH saat ini adalah menjadikannya benar-benar sebagai unit pengelola di tingkat tapak. “KPH seharusnya memiliki kemandirian dalam pengelolaan hutan. Tapi kita bisa lihat, organisasi KPH saat ini masih seperti birokrasi biasa,” katanya.

Demikian juga soal pengelolaan keuangan. KPH pada umumnya masih menerapkan pola penganggaran ala pemerintahan sehingga tidak bisa lincah membiayai kegiatannya. Meski demikian, Dede sepakat jika KPH bisa berperan penting dalam pengembangan perhutanan sosial. Dia mendorong semua pihak agar penguatan dan peningkatan kapasitas KPH terus dilakukan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagaimana dirancang dalam RPJMN 2010- 2014 telah menetapkan 530 unit KPH Lindung (KPH-L)/KPH-Produksi dan 70 unit KPH Konservasi (KPH-K) di seluruh Indonesia.

Sebagai upaya operasionalisasi KPH, telah ditetapkan 120 unit KPHL/KPHP Model dari 600 unit KPH tersebut dan Pemerintah telah memberikan stimulan untuk percepatan proses operasionalisasi KPH di lapangan berupa fasilitas penyiapan kelembagaan, sosialisasi, tata hutan dan penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP), penyiapan SDM, pelatihan, serta sarana dan prasarana fisik dasar

Direktur KPH Lindung Kementerian LHK Bagus Herudoyo Tjiptono menjelaskan, pengembangan KPH sedikit terhambat pasca terbitnya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut menghapus kewenangan pengurusan hutan  oleh Kabupaten/Kota dan menariknya ke tingkat Provinsi.

Ini membuat beberapa KPH yang tadinya ada di bawah kendali Kabupaten/Kota harus beralih ke tingkat Provinsi. “Sampai saat ini belum semua Provinsi sudah menetapkan organisasi KPH yang ditarik dari Kabupaten/Kota,” kata Herudoyo.

Dia menyatakan, pihaknya terus bekerja untuk mendorong provinsi segera menetapkan KPH yang ditarik dari Kabupaten/Kota. “Kami juga mendorong agar KPH yang sudah ada bisa segera operasional,” katanya.

Sementara itu, Direktur KPH Produksi Kementerian LHK Drasospolino mengatakan, khusus untuk KPH Produksi, sudah ada 81 unit yang telah beroperasi. Artinya telah memiliki dan mengimplementasikan rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPHJP). Sebagian besar KPH Produksi sudah beroperasi.

Produk Unggulan

Drasospolino menyatakan, pihaknya mendorong pengembangan “One KPH, One Product” yang berarti setiap KPH akan memiliki satu produk unggulan. Menariknya, meski berstatus KPH Produksi, namun hasil hutan kayu tak selalu menjadi bidikan dalam pemanfaatan hutan. Kebanyakan KPH Produksi justru membidik optimalisasi hasil hutan kayu dan jasa lingkungan dan wisata.

“Fenomena yang ada saat ini adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dibandingkan mengeksploitasi kayu,” kata Drasospolino.

Fenomena ini sesungguhnya wajar. Maklum, kata Drasospolino, potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK)  sesungguhnya mencapai 95% dibandingkan potensi kayu yang hanya 5%. Meski besar, potensi HHBK selama ini belum dioptimalkan, kalau bukan diabaikan.

Dia mengungkapkan, sejumlah KPH Produksi beroperasi dengan sangat baik dengan HHBK sebagai tumpuan. Diantaranya adalah KPH Produksi Limau, di Kabupaten Sarolangun, Jambi. KPH tersebut mulai mengembangkan produksi minyak kepayang, yang bisa dimanfaatkan untuk minyak makan maupun untuk kosmetika. “Keunggulannya kandungan omega 3 lebih tinggi dari minyak makan lain,” kata Drasospolino.

Minyak kepayang diperoleh dari buah pohon kepayang (Pangium edule) atau populer juga sebagai kluwek untuk membuat bumbu semur. Pengembangan minyak kepayang akan memperluas diversifikasi sumber minyak nabati di Indonesia, sehingga tak hanya bergantung dengan sawit. Pengembangan minyak kepayang juga cocok untuk menjaga tutupan hutan karena dihasilkan dari pohon yang termasuk tanaman keras.

“Di Limau, tanaman kepayang adalah tanaman di hutan alam. Masyarakat bisa tinggal memanfaatkan buahnya saja,” kata Drasospolino.

Contoh paling mentereng dalam pengelolaan hutan produksi adalah KPH Produksi Yogyakarta. KPH yang boleh dibilang sebagai pionir itu bisa menghasilkan hingga Rp12 miliar setahun dengan mengandalkan minyak kayu putih.

Sugiharto