Pendekatan bentang alam berdampak positif untuk menahan pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab bencana perubahan iklim. Agar pendekatan tersebut berhasil, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan.
Demikian terungkap saat diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP UNFCCC ke 25 yang berlangsung di Madrid, Spanyol, Kamis (5/12/2019) sore waktu setempat. Hadir sebagai pembicara dalam sesi tersebut Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno, Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex, dan Dicky Simorangkir dari The Zoological Society of London (ZSL).
Wiratno memaparkan, Indonesia memilik banyak kawasan perlindungan dan konservasi. Total ada 554 unit kawasan dengan luas mencapai 27,14 juta hektare. Diantaranya berupa taman nasional, taman wisata alam, cagar alam, dan suaka margasatwa.
“Beberapa kawasan perlindungan terdaftar secara global yaitu 4 unit sebagai situs warisan global, 14 unit cagar biosfer, 6 unit situs ramsar, 7 unit sebagai taman warisan ASEAN, dan 4 unit sebagai geopark UNESCO,” tutur Wiratno.
Kawasan perlindungan yang ada tidak hanya menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati. Banyak kawasan perlindungan yang secara turun menurun telah menjadi tempat penghidupan masyarakat.
Tercatat ada 6.381 unit desa di sekitar kawasan kawasan konservasi, ada juga 1,8 juta hektare areal yang telah dibuka untuk berbagai aktivitas. Selain itu di dalam kawasan konservasi ada 2,3 juta hektare yang dialokasikan sebagai kawasan pemanfaatan tradisional. Ada juga 1,6 juta hektare yang diusulkan sebagai wilayah adat.
Menghadapi situasi tersebut, dikembangkan pola manajemen kolabotif yang adaptif dalam pengelolaan kawasan perlindungan dan kawasan konservasi. Menurut Wiratno, untuk mengembangkan dukungan tersebut, butuh dukungan dari para pihak. Selain dari masyarakat setempat, dukungan juga perlu diberikan dari sisi ilmu pengetahuan dan publik secara umum.
Wiratno memberi contoh pada apa yang sudah berkembang di Desa Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Di sana, masyarakat yang awalnya pembalak liar dan perambah hutan, kini beralih menjadi penjaga hutan. “Sebagai sumber pemasukan, masyarakat kini menjalankan aktivitas ekowisata,” katanya.
Dodi Reza Alex menuturkan, pihaknya mendorong penerapan manajemen bentang alam berkelanjutan di seluruh wilayah Musi Banyuasin sebagai bagian dari aksi untuk mengendalikan perubahan iklim.
“Bersama sejumlah mitra termasuk ZSL, kami menjalankan Kelola Sendang, untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun tetap melindungi hutan yang masih ada,” katanya.
Dodi menyatakan, manajemen bentang alam dipilih karena di Kabupaten Musi Banyuasin banyak tipe pemanfatan lahan. Mulai dari pertanian oleh masyarakat, perkebunan, atau usaha kehutanan.
Dicky Simorangkir menyatakan, implementasi manajemen bentang alam diharapkan bisa melindungi berbagai satwa endemis yang ada di Sumatera. Menurut dia, beberapa titik di Sumatera Selatan, termasuk Musi Banyuasin masih ditemukan satwa seperti harimau sumatera dan gajah sumatera.
Sugiharto