Perubahan Iklim Bikin Sengsara Industri Asuransi dan Reasuransi

banjir menerjang permukiman di AS. Foto: AP

Ketika Bumi makin panas dan memicu makin banyak bencana alam, industri asuransi pun menghadapi era yang makin menyengsarakan.

Tahun 2023 kemarin, atau tahun keempat secara berturut-turut, industri asuransi global mengalami bencana kerugian yang melampaui 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1.500 triliun dengan kurs Rp15.000/dolar AS). Tren kerugian itu nampaknya berlanjut pada tahun ini.

Untuk semester I/2024 saja, kerugian sudah mencapai 62 miliar dolar AS dan jauh di atas rata-rata kerugian dalam kurun 10 tahun senilai 37 miliar dolar AS, demikian menurut analisis terkini yang dilakukan Munich Re.

Biasanya, kondisi itu tidak akan menyulitkan perusahaan-perusahaan asuransi utama, yang bisa mengimbangi sebagian risiko kerugian tersebut dengan membeli reasuransi. Namun, buat sebagian perusahaan asuransi lainnya, langkah itu makin sulit dilakukan. Di tengah perubahan iklim, inflasi dan meningkatnya eksposur properti, perusahaan reasuransi pun ikut menaikkan harga dan menuntut persyaratan yang lebih menguntungkan, seperti menaikkan tingkat pembayaran polis.

“Perusahaan asuransi terpaksa mengambil lebih banyak risiko,” ujar analis kredit asuransi di S&P Ratings, Charles-Marie Delpuech. “Ini merupakan perubahan struktural di pasar secara keseluruhan,” tambahnya seperti dikutip Bloomberg.

Dan angka-angka tersebut menunjukkan seberapa baik kinerja perusahaan reasuransi. Data S&P terhadap 19 perusahaan reasuransi terbesar di dunia menunjukkan, meskipun kerugian tahunan yang diderita akibat bencana alam secara historis berada di kisaran 20%, namun angka tersebut sudah menurun tajam dalam tiga tahun terakhir — yang turun lagi menjadi 10% pada 2023.

Alasan utamanya adalah industri reasuransi menjadi makin enggan untuk menyokong “risiko sekunder”, yaitu peristiwa cuaca ekstrem yang lebih kecil, tapi lebih sering terjadi, seperti tornado, badai petir, kebakaran dan banjir. Peristiwa-peristiwa yang bersifat lokal ini lebih sulit untuk dimodelkan dan dikelola oleh industri asuransi, sebagian karena peristiwa-peristiwa tersebut didorong oleh perubahan iklim.

Kejadian-kejadian itu bertanggung jawab atas meningkatnya jumlah kerugian yang diasuransikan. Badai konvesktif yang parah saja telah menyebabkan kerugian yang diasuransikan secara global mencapai 70 miliar dolar AS pada tahun lalu, demikian prkiraan broker asuransi Aon Plc. Jumlah tersebut setara dengan 59% kerugian akibat seluruh bencana alam.

Perusahaan-perusahaan reasuransi jebol akibat kerugian menyokong risiko sekunder pada 2021 dan 2022. Itu sebabnya, sejak itu mereka pun mengurangi eksposurnya, kata Delpuech.

Menurut S&P, tahun 2023 lalu “sebagian besar kerugian terjadi terutama pada perusahaan-perusahaan asuransi primer,” khususnya di Amerika Serikat, di mana badai konvektif paling parah terjadi. Sebaliknya, kerugian reasuransi “jauh di bawah anggaran beban bencana alam.”

Delpuech menyatakan, meskipun terjadi bencana alam yang memiliki siklus berulang 100 tahun sekali, di mana industri asuransi mengalami kerugian tahunan lebih dari 250 miliar dolar AS, mayoritas perusahaan reasuransi masih akan terlindungi.

“Kami menghitung bahwa sektor ini, secara keseluruhan, masih akan dikapitalisasi di atas tingkat kepercayaan 99,99% setelah kejadian seperti itu,” kata S&P.

Hasilnya adalah bahwa perusahaan reasuransi tampaknya berada dalam posisi yang sangat kuat untuk mengatasi risiko primer, seperti badai besar, dan risiko sekunder, yang risikonya lebih kecil.

Kini, setelah perusahaan reasuransi merasa telah menemukan pijakannya, mereka menjadi lebih berani memperluas operasinya — tetapi dengan cara mereka sendiri. Hal ini berarti harga yang lebih tinggi dan klausul yang lebih ketat mengenai kapan suatu polis akan diterapkan.

Moody’s Ratings mengatakan, pihaknya telah berubah menjadi lebih bullish pada perusahaan reasuransi. Pada Selasa (3/9), perusahaan tersebut menaikkan prospeknya untuk sektor reasuransi global menjadi “positif” dari “stabil,” dengan menyebutkan beberapa faktor, termasuk premi yang lebih tinggi, kondisi polis yang lebih ketat, dan paparan terhadap risiko sekunder yang lebih rendah.

Keruigian Akibat Bencana Alam

Yang jelas, ekspansi kawasan perkotaan, eksposur properti, dan perubahan iklim dapat memicu peningkatan kerugian akibat bencana alam tahunan sebesar 40% bagi industri asuransi global.

Kerugian tahunan bisa meningkat menjadi 151 miliar dolar AS dari rata-rata kerugian tahunan sebesar 106 miliar dolar AS yang dilaporkan selama lima tahun terakhir, demikian analisis Verisk, sebuah perusahaan pemodelan risiko. Dari perkiraan kerugian sebesar 151 miliar dolar AS, sebesar 119 miliar dolar AS tidak terkait dengan kerusakan tanaman.

“Meskipun peristiwa tunggal terbesar diperkirakan berupa badai atau gempa bumi, badai konvektif yang parah, badai ekstra tropis, kebakaran hutan, dan banjir merupakan bagian penting dari risiko ini, yang menyebabkan lebih dari setengah” kerugian yang dimodelkan sebesar 119 miliar dolar AS, kata Verisk.

Perhitungan perusahaan menunjukkan bahwa perubahan iklim menyumbang sekitar 1% dari peningkatan kerugian tahunan, dengan pertumbuhan eksposur dan inflasi sebagai kontributor utama. Meski demikian, dampak perubahan iklim “diperkirakan akan menjadi lebih signifikan dalam beberapa dekade mendatang,” kata laporan tersebut.

Suhu global yang lebih tinggi berdampak pada semua bahaya di atmosfer, termasuk siklon tropis, namun dampaknya lebih cepat dan terasa pada kebakaran hutan, banjir, dan badai petir hebat, kata Verisk.

Meskipun tidak ada peristiwa cuaca yang menyebabkan kerugian lebih dari 10 miliar dolar AS bagi perusahaan asuransi pada tahun lalu, namun masih terdapat 37 badai petir yang masing-masing menyebabkan kerugian setidaknya 1 miliar dolar AS, menurut laporan sebelumnya yang diterbitkan oleh Aon Plc. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan sebelumnya dan jauh di atas rata-rata 14 badai serupa yang terjadi dalam satu tahun, kata broker asuransi tersebut. AI