Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim produksi jagung tahun 2016 mencapai 23 juta ton pipilan kering. Meski produksi berlebih, nyatanya Kementan masih memberikan rekomendasi impor jagung kepada Bulog sebanyak 200.000 ton.
Impor ini untuk stok jagung nasional dan untuk kebutuhan pakan ternak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, mulai tahun 2018, Indonesia tidak akan impor jagung lagi, baik untuk kebutuhan industri pakan ternak maupun pangan. Untuk memenuhi itu, produksi jagung nasional ditingkatkan.
“Paling lambat 2018 tidak impor jagung lagi. Karena kebutuhannya kurang lebih hanya sekitar 3-4 juta ton,” ujar Amran usai rapat koordinasi terkait pangan di Jakarta, Selasa (18/10/2016).
Pemerintah melalui Perum Bulog masih mengizinkan impor jagung. Namun, menurut Amran, jumlahnya sangat kecil, yaitu sekitar 900.000 ton-1.000.000 ton. Jumlah ini turun dibandingkan realisasi impor tahun 2015 yang mencapai 3,6 juta ton. Artinya, ada penurunan impor jagung sebesar 2,6 juta ton.
Menurut dia, penurunan impor jagung ini merupakan hasil dari kerja keras masyarakat, terutama petani. “Penurunan impor ini adalah tanda-tanda baik, khususnya jagung. Impor jagung turun 60%. Ini tentu begitu ektrem turunnya,” kata Amran.
Mentan Amran menambahkan, selain impor jagung yang angkanya menukik tajam, juga terjadi hal positif terhadap beberapa komoditi lain, di antaranya cabai tidak impor dan bawang yang sebelumnya impor kini justru bisa melakukan ekspor.
Lebih lanjut Amran menyebutkan, Indonesia tahun 2015 telah mengekspor jagung sebanyak 12.000 ton ke Filipina. Ekspor jagung itu menggunakan dua kapal laut berjenis kapal curah dengan kapasitas 6.000 ton per kapal yang berlangsung di Pelabuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Amran menyebutkan, secara nasional, ekspor jagung Indonesia tahun lalu sekitar 400.000 ton yang bersumber dari Gorontalo, Sulawesi Selatan, Dompu, Bima, dan Sumbawa.
Khusus untuk jagung, Kementan menyiapkan 5 strategi khusus agar swasembada jagung bisa tercapai, antara lain dengan peningkatan produksi, perluasan areal tanam, penurunan susut hasil, mempertahankan kualitas hingga memperkuat manajemen kawasan.
Kementan melakukan peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan komponen utama meliputi pemakaian benih varietas unggul bermutu, termasuk jagung hibrida dan jagung komposit.
Selain itu, untuk memastikan PTT diterapkan, maka dilakukan pengawalan, pendampingan agar jika ada masalah di lapangan dapat ditangani lebih dini. Strategi peningkatan produktivitas terutama dilaksanakan di wilayah yang sudah tidak memungkinkan dilakukan perluasan areal tanam, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi, produktivitas tanaman diharapkan masih dapat ditingkatkan.
Untuk Perluasan Areal Tanam, Kementan melakukan penanaman di areal tanam baru atau dengan melakukan peningkatan indeks pertanaman, baik di lahan kering atau lahan sawah di musim kemarau.
Perluasan areal tanam baru bisa dilakukan di lahan bukaan baru (misalnya lahan eks peremajaan perkebunan, Perhutani, dan lain-lain) atau di daerah yang selama ini belum pernah menanam jagung.
Sedangkan peningkatan indeks pertanaman dapat dilakukan dengan pengaturan pola tanam di lahan kering yang sebelumnya ditanami jagung satu kali menjadi dua kali atau di lahan sawah di musim kemarau (padi-padi-jagung).
Surplus
Terkait penurunan impor jagung tadi, Amran menilai angka tersebut saat ini merupakan yang tertinggi selama Indonesia merdeka.
Selain itu, Amran mengemukakan, pemerintah melakukan revolusi di berbagai sektor, termasuk di Kementan mulai dari revolusi sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan ekspor-impor yang kini mampu dikendalikan.
Menurut dia, masalah impor tentu harus sesuai dengan tingkat kebutuhan. Bukan berdasarkan keinginan sekelompok orang yang ingin mengambil keuntungan besar dari kebijakan pemerintah dalam melakukan impor. “Kita impor memang karena kebutuhan bukan karena masalah lain,” katanya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan, impor jagung tahun ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional sekaligus sebagai cadangan (stok) guna menekan harga jagung di pasaran. “Sudah berkurang ini impornya,” ujarnya.
Direktur Serelia, Ditjen Tanaman Pangan, Nandang Sunandar mengatakan, beradasarkan Angka Ramalan II Badan Pusat Statistik (BPS), produksi jagung nasional mencapai 23,2 juta ton pipilan kering. Angka ini didasarkan atas perhitungan kenaikan produksi dari luas tanam baru di tahun ini.
“Hitungan kami sudah surplus. Itu setelah ada tambahan tanam 1,5 juta hektare (ha) dari program APBN tahun lalu dan tahun ini. Jika 1 hektare produktivitasnya mencapai 4 ton, sudah ada tambahan 6 juta ton tahun ini,” katanya kepada Agro Indonesia, pekan lalu.
Dia menyebutkan, untuk tambahan tanam seluas 1,5 juta ha tersebut, pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar, yaitu sekitar Rp1,24 triliun. Dana ini untuk pembelian sarana produksi seperti benih dan pupuk.
Dia menjelaskan, tahun ini saja, pihaknya kembali menambah luas tanam baru di bulan Agustus-Oktober sebanyak 724.000 ha, plus pengadaan bantuan benih dan pupuk dengan dana APBN-P 2016.
“Artinya, dengan tambahan luas tanam itu, mestinya tidak ada lagi impor jagung. ARAM II ini sudah melampaui target minimum produksi kita sebanyak 21,5 juta ton. Bahkan, kami optimis produksi tahun ini bisa capai 24 juta ton,” ucapnya.
Kesulitan distribusi
Besarnya produksi jagung 2016 dipastikan mencukupi kebutuhan industri pakan. Data Ditjen Tanaman Pangan, Kementan mencatat kebutuhan jagung untuk konsumsi langsung sebesar 398.520 ton pipilan kering/tahun, kebutuhan untuk industri pakan setiap tahun mencapai 8.250.000 ton pipilan kering, kebutuhan jagung untuk pakan peternak lokal 6.613.345 ton/tahun, kebutuhan untuk benih 83.947 ton/tahun dan untuk industri 4.092.007 ton/tahun.
Kendati demikian, khusus untuk jagung kebutuhan industri pakan, kata Nandang, masalahnya masih pada kesulitan distribusi jagung petani sampai ke pabrik pakan. Lantaran sentra produksi jagung kebanyakan berada di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Gorontalo, NTB, NTT, dan lainnya.
“Masalah distribusi kita yang masih harus perbaiki. Pabrik pakan banyak di Jawa, tapi jagungnya di luar Jawa. Tol laut ini yang didorong, misalnya muatan kapal dari Jawa ke Merauke kan penuh, tapi dari Merauke ke Jawa muatan kosong,” katanya. Jamalzen
Bangun Silo Untuk Hindari Impor Jagung
Produksi jagung nasional diyakini memang meningkat signifikan. Namun, masalahnya, pada bulan tertentu seperti September, Oktober dan November memang tidak terjadi musim panen, sehingga produksi tidak tersedia.
Di sisi lain, pada saat petani panen raya bulan Februari sampai April, produksi melimpah. Celakanya, produksi yang banyak ini tidak ditampung oleh Perum Bulog sebagai stabilisator harga pangan.
Sekretaris Dewan Jagung Nasional, Maxdeyul Sola mengatakan, pada saat panen raya, produksi jagung mencapai 60%-70% atau sekitar 13 juta ton pipilan kering dari produksi nasional. “Jumlah ini tidak bisa ditampung industri pakan, makanya Bulog mestinya membeli dan menjual kepada industri pakan pada saat tidak panen raya,” tegasnya kepada Agro Indonesia.
Sola mengatakan, Perum Bulog semestinya mengutamakan membeli produksi jagung petani pada musim panen raya, yaitu Febuari-Mei. “Impor itu untuk stabilisasi harga. Ini memang tugas Bulog,” katanya.
Menurut dia, Bulog punya peran penting dalam menstabilkan harga komoditi pertanian seperti gabah dan jagung. Konsep impor yang dikendalikan maksudkan adalah untuk mengontrol importasi agar impor tidak merusak harga di tingkat petani.
Produksi jagung nasional cukup untuk kebutuhan industri pakan ternak. Namun masalahnya, kata Sola, industri pakan tidak mau turun ke sentra produksi.
“Dari dulu masalahnya industri pakan tidak mau turun ke sentra produksi, membeli jagung petani dan membangun silo-silo. Jika ini mereka lakukan, maka impor tidak perlu,” tegasnya.
Selain tidak mau terjun ke sentra produksi, indutri pakan lebih suka membeli jagung dengan pedagang pengumpul. Akibatnya, kenaikan harga jagung yang menikmati adalah pedagang, bukan petani.
“Peran pedagang pengumpul dapat digantikan Bulog. Jika mekanisme ini berjalan baik, maka petani dan industri pakan sama-sama diuntungkan,” ungkapnya.
Sola mengatakan, pemerintah telah menetapkan impor jagung untuk tahun 2016 sebanyak 2,4 juta ton. Namun, pelaksanaan impor masih disesuaikan dengan produksi dalam negeri. “Artinya, jika produksi dalam negeri kurang, maka impor bisa dilakukan. Tetapi jika produksi nasional tersedia, maka impor bisa ditunda,” katanya.
Dia menyebutkan, dari rencana Bulog yang akan impor jagung sebanyak 600.000 ton, jumlah tersebut untuk menstabilkan harga atau untuk antisipasi jika harga jagung melonjak tinggi.
Bulog, kata Sola, akan menjual jagung tersebut dengan harga Rp3.700/kg franco gudang Bulog. Dengan harga ini, diharapkan harga jagung menjadi stabil di tingkat petani.
“Tahun lalu, harga jagung di petani mencapai Rp2.000/kg. Hal itu tentu tidak menguntungkan petani. Namun, jika kelak Bulog menampung jagung petani, tentunya harga menjadi lebih baik,” tegasnya.
Menurut Sola, harga jagung selama ini dikuasai oleh pedagang pengumpul, sehingga petani tidak menikmati harga yang baik. Dampaknya, petani beralih kepada tanaman lain. “Jika harga jagung tinggi, maka petani akan kembali tanam jagung,” tegas mantan Direktur Serelia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan ini.
Dia menambahkan, produksi jagung nasional tiap tahun mengalami peningkatkan, namun karena distribusi dan musim panen tidak terjadi sepanjang musim, maka ada waktu-waktu tentu, produksi jagung tidak tersedia. “Secara nasional produksi kita cukup untuk kebutuhan industri dalam negeri. Namun, masalahnya sentra produksi jagung tidak berdekatan dengan industri pakan,” katanya. Jamalzen