Setelah gagal membuat beras tidak impor, Kementerian Pertanian ternyata juga gagal membuktikan Indonesia mampu swasembada jagung. Padahal, data produksi diklaim tinggi dan surplus, nyatanya impor jagung tetap dibuka. Pertanyaannya, kemana surplus produksi yang ada selama ini dan mengapa Bulog tidak diwajibkan menyerap jagung petani?
Inilah ironi produksi pangan nasional. Setelah beras harus impor, komoditi jagung ternyata juga sama: impor. Padahal, untuk jagung, Kementan selalu menyatakan produksi melimpah. Tahun ini, produksi jagung pipilan kering ditaksir mencapai 23 juta ton. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga tak kalah kinclong. Menurut Direktur Serelia, Ditjen Tanaman Pangan, Nandang Sunandar, beradasarkan Angka Ramalan II (ARAM II), produksi jagung nasional mencapai 23,2 juta ton pipilan kering.
“Hitungan kami sudah surplus. Itu setelah ada tambahan tanam 1,5 juta hektare (ha) dari program APBN tahun lalu dan tahun ini. Jika 1 hektare produktivitasnya mencapai 4 ton, sudah ada tambahan 6 juta ton tahun ini,” katanya kepada Agro Indonesia, Jumat (21/10/2016).
Di atas kertas, Nandang benar. Pasalnya, data Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (APPI) — pengguna terbesar produk jagung — menyebutkan butuh jagung sekitar 8,3 juta ton untuk memproduksi pakan tahun ini sekitar 16,5 juta ton. Jika kebutuhan jagung di luar pakan ternak mencapai sekitar 9 juta ton, maka total kebutuhan jagung nasional tahun ini sekitar 17 juta ton.
Jadi, ada surplus jagung 6 juta ton! Namun, ini anehnya, Kementan justru merekomendasikan Perum Bulog mengimpor jagung 200.000 ton. Jika terealisasi, maka impor jagung tahun ini mencapai 1 juta ton lebih. “SPI untuk Perum Bulog sudah dikeluarkan tidak lama setelah rekomendasi impor jagung dikeluarkan Kementan,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Dody Edward kepada, Jumat (21/10/2016).
Menariknya, mengapa Bulog dapat hak impor tapi tidak diwajibkan menyerap jagung petani? Apalagi data menyebutkan surplus. Direktur Komersial Perum Bulog, Wawan Karyawan Gunarso mengaku Bulog juga menyerap jagung lokal. “Kami juga melakukan pembelian terhadap jagung hasil panen petani di dalam negeri,” paparnya. Hanya saja, dia tidak mau mengungkap berapa besar volume jagung yang telah diserap Bulog.
Benar atau tidak, yang jelas, data produksi pertanian memang bermasalah. “Data pertanian harus dibenahi. Validitas datanya bermasalah. Kalau datanya bodong, bagaimana mau ambil kebijakan? Ya, kebijakannya juga bodong. Ini lingkaran setan yang harus dituntaskan,” tegas Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian UGM, Prof. Moch. Maksum.
Menurutnya, data bodong itu tak hanya jagung, tapi banyak komoditi, termasuk beras dan kedele. Padahal, padi, jagung dan kedele (Pajale) adalah program unggulan Kementan dan ada program Upsus (upaya khusus) yang memperoleh anggaran besar dalam APBN. “Beras yang katanya surplus, tapi impor. Berarti datanya juga bodong. Kedele juga sudah pasti tidak mampu swasembada. Tapi kok ya ditargetkan swasembada,” tandasnya. AI