Oleh : Poejo Rahardjo (Yayasan Sarana Wana Jaya)
Pendahuluan
Deforestasi (hilangnya hutan) di pulau Jawa (selanjutnya disebut di Jawa) yang dimulai semenjak kedatangan VOC di Indonesia dengan eksplotasi hutan jati secara massif dan dilanjukan dengan kebijakan tanam paksa yang membuka hutan di pegunungan untuk tanaman perkebunan, masih berlangsung hingga sekarang. Pada waktu ini tekanan kependudukan merupakan faktor dominan penyebab deforestasi.
Pengelolaan hutan bertujuan untuk konservasi, agar supaya hutan mampu berperan sebagai sistem pendukung produksi pangan dan mitigasi perubahan iklim. Sehubungan dengan hal itu, hutan disebut juga sebagai salah satu elemen penyangga kehidupan. Kebijakan perluasan tanaman tebu di pulau Jawa untuk kemandirian pangan dan menunjang produksi bioethanol dari gula, serta wacana merger Perum Perhutani dengan PT Perkebunan akan mengurangi luas hutan dan melengkapi kisah deforestasi di pulau Jawa, sehingga menimbulkan pertanyaan kemana hutan di Jawa akan dibawa?
Sejarah Deforestasi di Pulau Jawa
Deforestasi di pulau Jawa telah menjadi isu yang berlangsung selama berabad-abad, dimulai sejak kedatangan VOC pada akhir abad 16 di Indonesia yang memulai eksploitasi hutan jati secara massif. VOC merupakan perusahaan dagang Belanda yang datang ke Indonesia dan mulai mengeksploitasi hutan jati di Pulau Jawa secara massif. Hutan jati sebelumnya dikelola oleh masyarakat lokal menjadi sumber bahan baku utama untuk pembangunan kapal dan infrastruktur lainnya. Eksploitasi ini menandai awal dari perubahan besar pada ekosistem hutan di Jawa.
Sementara itu, kebijakan tanam paksa (Cultuur Stelsel) pemerintah Hindia Belanda tahun 1830 telah mengurangi luas hutan alam di pegunungan dan semakin mempercepat laju deforestasi. Hutan alam di pegunungan dikonversi menjadi jenis komoditas bernilai tinggi, antara lain berupa kopi dan teh. Tanah subur di dataran rendah menjadi perkebunan tebu. Konversi hutan di pegunungan menjadi lahan perkebunan memperburuk kondisi hutan. Selain deforestasi karena kebijakan penguasa, kerusakan hutan yang besar juga terjadi karena penebangan oleh masyarakat baik untuk perladangan berpindah atau untuk permukiman dan pertanian menetap, karena meningkatnya jumlah penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk ini digambarkan oleh grafik berikut ini (dikutip dari Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa, 2023 halaman 3).
Pada waktu ini pulau Jawa seluas 128.600,71 km2 dihuni oleh 151 juta jiwa (2020) atau setara dengan 56% penduduk Indonesia, memiliki kawasan hutan 3.135.648, 70 ha atau l.k. 24% dari luas pulau Jawa. Luas tutupan hutan dan kerusakan hutan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial, ekonomi dan politik.
Berdasarkan data laju deforestasi yang terjadi pada tahun 2003 hingga 2006, pulau Jawa telah kehilangan hutan sekitar 2.500 hektar per tahun. Sedangkan dengan perhitungan yang sama, diperkirakan pada tahun 2007 hingga 2010 pulau Jawa telah kehilangan hutan seluas 10.000 hektar. Sementara itu Forest Watch Indonesia pada tahun 2009 mencatat luas tutupan hutan di Jawa hanya tersisa sekitar 800 ribu hektar, turun drastis dari perkiraan sekitar 2,2 juta hektar luas tutupan hutan produksi dan hutan lindung pada tahun 2000. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga pada keaneka ragaman hayati.
Kebijakan dan Dampaknya Terhadap Hutan
– Produksi Bioethanol dari Gula
Dari perspektif ekonomi nasional, gula merupakan salah satu bahan makanan pokok strategis karena peranannya dalam memenuhi kebutuhan kalori masyarakat dan industri makanan serta minuman. Oleh karena itu pemerintah berupaya melakukan swasembada gula untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan dari luar (impor).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan, gula dibagi menjadi tiga jenis yaitu Gula Kristal Mentah (GKM) yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, Gula Kristal Putih (GKP) merupakan gula kebutuhan konsumsi langsung atau rumah tangga dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang merupakan bahan baku industri.
Kebutuhan gula di Indonesia untuk konsumsi dan industri cukup tinggi. Lonjakan kebutuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat dan tumbuhnya industri makanan & minuman yang diproyeksikan meningkat 5-7 persen per tahunnya.
Kebijakan pemerintah untuk memproduksi bioethanol dari gula telah meningkatkan secara signifikan kebutuhan gula untuk bahan baku industri. Dari semula proyeksi kebutuhan gula untuk industri 3,27 juta ton menjadi 5,7 juta ton. Dengan kebutuhan gula untuk konsumsi 3,4 juta ton maka proyeksi kebutuhan gula nasional menjadi 9,1 juta ton. Dari areal panen yang ada seluas 504.776 ha dengan produktivitas GKP 4,5 ton/ha (tebu 61,5 ton/ha) maka produksi dari 58 Pabrik Gula (PG) yang ada hanya mencapai 2,3 juta ton. Artinya terdapat defisit sebesar 6,8 Juta Ton.
Sehubungan dengan itu pemerintah mengambil langkah-langkah berupa :
1. Mengupayakan tercukupinya kebutuhan gula konsumsi dari areal panen yang ada seluas 504.776 ha, melalui peningkatan produktivitas tebu sehingga mencapai 80 ton per ha antara lain dengan intervensi bongkar dan rawat ratoon, serta peningkatan rendemen 58 pabrik gula yang ada sehingga mencapai rendemen 8,5 persen.
2. Dengan Perpres Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol, maka direncanakan perluasan areal untuk tebu seluas 700 ribu ha dengan produktivitas 93 ton/ha; dan pembangunan 30 Pabrik Gula dengan kapasitas giling per hari mencapai 350.000 ton cane day (TCD) serta rendemen 11,2%
– Dampaknya pada hutan
Kebijakan pemerintah yang mendorong produksi bioethanol dari gula memerlukan perluasan lahan untuk tanaman tebu. Wacana merger Perum Perhutani dengan PT Perkebunan Negara merupakan upaya memperoleh lahan bagi perluasan tanaman tebu di Jawa dalam rangka mendukung kemandirian pangan. Namun demikian hal ini akan berkontribusi terhadap berkurangnya hutan, karena dialih fungsikan untuk pertanian tebu.
Sebagaimana diketahui, hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perhutani berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. SK 264 Tahun 2022 seluas 1.380.682 ha. Sisanya seluas 1.103.941 ha dengan Keputusan Menteri LHK No. SK 264 Tahun 2022 dinyatakan sebagai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan ditangani langsung oleh Menteri LHK (sekarang Menteri Kehutanan).
Pengelolaan Hutan dan Fungsi Ekologisnya
– Kecukupan luas Kawasan hutan
Rafioedin Achlil (2010) dalam artikelnya “Apa beda Perkebunan dan Kehutanan” menulis, perkebunan melakukan konservasi untuk mendukung produksi sedangkan kehutanan melakukan produksi untuk mendukung konservasi. Maksudnya, produksi yang diperoleh dari penebangan pohon atau penjarangan hutan hakekatnya merupakan kegiatan antara untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yaitu konservasi.
Dalam pengelolaan hutan kayu yang dihasilkan dari penebangan hutan adalah riap tegakan atau pertambahan pertumbuhan pohon dalam hutan. Sedangkan penjarangan merupakan kegiatan pemeliharaan agar ekosistem hutan berkelanjutan. Nilai produksi kayu dari hutan diperkirakan hanya 5% dari manfaat hutan secara keseluruhan. Manfaat tersebut antara lain berupa jasa lingkungan seperti penyerapan karbon, pengaturan siklus air, dan menjaga keanekaragaman hayati. Sehingga mengelola hutan ibarat memelihara ayam bertelor emas, sebaliknya membuka dan alih fungsi hutan seperti memotong ayam bertelor emas.
Hutan memiliki peran penting sebagai sistem pendukung keberlanjutan produksi pangan dan mitigasi perubahan iklim. Hutan membantu menjaga kesuburan tanah dengan meminimalisir erosi, menjaga jumlah dan kualitas air yang penting untuk pertanian dan juga berperan dalam mengurangi emisi karbon.
Akan tetapi manfaat tersebut diatas yang diperoleh karena adanya hutan dipandang terlalu abstrak oleh banyak pihak, dibanding manfaat langsung yang diperoleh dari pemungutan kayu dan membuka hutan. Sebagai gambaran fungsi hutan sebagai sistem pendukung keberlanjuan produksi pangan, dampaknya terhadap penurunan produksi pangan baru terlihat beberapa tahun kemudian setelah hutan dibuka.
Mengingat pentingnya keberadaan hutan pemerintah mengatur perlunya kecukupan hutan, sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 (PP 23/2021) tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang merupakan turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta kerja sektor Kehutanan Bagian Ketujuh Kecukupan luas Kawasan hutan, pasal 41 ayat (1) menyebutkan : “Menteri menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan berdasarkan kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional”
-Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Komitmen Indonesia dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2022, dengan menetapkan target pengurangan emisi GRK Indonesia sebesar 31,89 % dengan upaya sendiri (BAU) dan 43,2 % dengan dukungan internasional, di mana 60 % dari target tersebut berasal dari sektor kehutanan.
Target pengurangan emisi GRK dalam NDC tersebut serta Baseline Emisi GRK menjadi dasar pengendalian emisi GRK dalam Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah.
Target strategis yang harus diwujudkan adalah pencapaian target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yaitu tingkat serapan karbon pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) seimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisi karbon.
Kehutanan memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim, terutama dalam sektor Forestry and Other Land Use (FOLU). Berikut adalah beberapa cara kehutanan berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK):
1. Penyerap Karbon: Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) melalui proses fotosintesis. Pohon menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpan karbon dalam tubuhnya, yang membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
2. Pengurangan Emisi: Pengelolaan hutan yang baik dapat mengurangi emisi GRK dengan mencegah deforestasi dan kebakaran hutan. Hutan yang terjaga dengan baik tidak hanya menyerap karbon tetapi juga mencegah pelepasan karbon yang besar akibat pembakaran atau penebangan.
3. Agroforestri: Pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat dan agroforestri dapat meningkatkan kapasitas penyerap karbon dan mengurangi emisi. Agroforestri adalah kombinasi pertanian dan kehutanan yang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi tekanan terhadap hutan.
4. Konservasi dan Rehabilitasi Hutan: Program konservasi dan rehabilitasi hutan membantu memulihkan ekosistem hutan yang rusak dan meningkatkan kapasitas penyerap karbon. Ini juga melibatkan penanaman pohon baru dan pemulihan habitat alami.
5. Perdagangan Karbon: Hutan yang dikelola dengan baik dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon, di mana negara atau perusahaan dapat membeli sertifikat karbon dari hutan yang menyerap karbon sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengurangi emisi.
Dengan demikian, keberadaan dan konservasi hutan tidak hanya berperan dalam konservasi lingkungan tetapi juga menjadi solusi penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Penutup
Pengelolaan hutan yang baik tidak hanya penting untuk konservasi tetapi juga untuk menjaga kelangsungan produksi pangan dan mitigasi perubahan iklim. Deforestasi hutan di Pulau Jawa merupakan isu kompleks yang melibatkan berbagai faktor mulai dari sejarah kolonial, kebijakan pemerintah hingga tekanan kependudukan. Akibat deforestasi luas hutan di pulau Jawa telah berkurang secara signifikan. Agar hutan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal, kecuali pengelolaan hutan yang baik diperlukan kecukupan luas hutan dan sebarannya secara proporsional.
Pemerintah telah berkomitmen untuk berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Namun demikian kebijakan merger Perum Perhutani dengan PT Perkebunan (PTP) untuk perluasan lahan tebu 700.000 ha di kawasan hutan, menjadi kontra produktif dalam pencapaian target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Dikarenakan kebijakan tersebut akan mengurangi luas dan keberadaan hutan secara nyata, sehingga tidak memenuhi kriteria “kecukupan luas hutan yang diperlukan”. Kebijakan tersebut juga menimbulkan pertanyaan, akan dibawa kemana hutan di pulau Jawa?
Tanpa keberadaan hutan, dampaknya dapat diibaratkan seperti mengemudikan mobil tanpa rem, sangat berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih bijaksana (wisdom) dan berkelanjutan untuk masa depan hutan di pulau Jawa. ***