Giliran Pasar Terbuka, Bahan Baku Sulit

Kayu lapis

Kenaikan harga produk kayu sebagai dampak kebijakan Amerika Serikat dan membaiknya ekonomi global menjadi sinyal bagus untuk mengembalikan pamor industri kehutanan Indonesia. Pemerintah diharapkan berperan lebih besar untuk menciptakan iklim usaha yang lebih sehat bagi industri kehutanan.

“Saat ini ada tren bagus untuk industri kehutanan. Momentum ini harus dipertahankan,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Imam Santoso di Jakarta, Jumat (2/3/2018).

Sementara itu Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto mengakui soal adanya shortage log dari para pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) saat ini. Namun, dia memastikan hal ini hanya fenomena sesaat sebagai dampak dari iklim sepanjang tahun 2017 lalu yang relatif basah.

Purwadi berharap shortage pasokan bahan baku dari hutan alam bisa diselesaikan pada trisemester tahun ini sehingga bisa memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu. “Tahun ini diperkirakan akan ada dua musim kemarau, yaitu April-Juni dan mulai September. Mudah-mudahan ini bisa mempermudah produksi kayu di hulu,” katanya.

Purwadi juga menyatakan adanya shortage bahan baku bukan karena ketiadaan standing stock di hutan. Menurut dia, sesuai rencana kerja tahunanan (RKT), ada cukup log untuk memenuhi kebutuhan industri.

Purwadi menilai saat ini adalah momentum perubahan bagi industri kehutanan hulu-hilir. Apalagi, sudah ada stabilitas berbagai kebijakan pasca penyatuan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. “Ini saatnya teman-teman melakukan revitalisasi industri. Sebab, jika kita terus bertahan dengan mesin lama, habis kita,” katanya.

Baca juga:

Peluang Pasar Kayu Lapis AS

Ada Peluang, tapi Tidak Mudah

Menurut dia, industri harus mulai berinventasi pada mesin baru yang lebih efisien dan bisa mengoptimalkan pemanfaatan kayu berdiameter kecil seperti kayu tanaman atau rimba campuran.

Memang, saat ini telah tumbuh banyak industri berbasis kayu tanaman yang tumbuh. Namun, kebanyakan berdiri di Jawa yang sudah sesak. Untuk itu, lanjut Purwadi, pemerintah perlu untuk mendorong pengembangan industri di luar Jawa. “Jangan biarkan menumpuk di Jawa, tidak akan sehat. Industri kayu di luar pulp, juga harus digiring ke luar Jawa,” katanya.

Pengembangan industri kayu lapis di luar Jawa juga mendapat momentum seiring dengan gencarnya pembangunan infrastruktur jalan, khususnya di Sumatera. Purwadi menilai dengan adanya pembangunan jalan di Sumatera, maka Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Riau bisa menjadi sentra industri kayu lapis baru menyaingi Jawa.

Industri juga harus didorong untuk bisa memanfaatkan kayu dalam kelompok rimba campuran. Pasalnya, potensi kayu rimba campuran sejatinya cukup besar. Dari rata-rata tebangan saat ini yang sekitar 5 juta m3 per tahun, hanya sekitar 30% saja yang masuk kelompok kayu komersial alam, seperti meranti, kruing atau merbau. Sisanya adalah kayu rimba campuran yang nilainya rendah.

“Industri harus bisa memanfaatkan ini untuk meningkatkan nilai tambahnya,” kata Purwadi.

Uji coba pemanfaatan kayu rimba campuran harus terus dilakukan. Purwadi menuturkan, kesuksesan pemanfaatan kayu sengon dan jabon yang sebelumnya tak bernilai bisa menjadi rujukan untuk mengoptimalkan nilai tambah kayu alam. “Dulu tidak ada orang mau manfaatkan sengon. Tapi kini produk dari sengon justru diminati,” katanya.

Bicara soal nilai tambah, Purwadi menyatakan perlunya memproduksi produk bernilai tambah tinggi di pasar internasional. Untuk itu, industri moulding, decking, flooring dan kayu olahan lain juga harus didorong.

Pemerintah juga perlu memfasilitasi promosi produk industri kehutanan ke pasar ekspor. Saat ini promosi menuju pasar Non Tradisonal dirasakan sangat kurang. “Banyak calon konsumen di Negara yang selama ini sudah menjadi tujuan ekspor kita yang ternyata belum tergarap. Promosi bersama tentu saja sangat diperlukan,” katanya.

Purwadi juga memandang pengembangan teknologi informasi perlu terus dilakukan untuk mendekatkan pembeli dengan produsen secara langsung.

Genjot

Sementara itu Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rufi’ie sepakat jika saat ini adalah saatnya untuk bersama-sama menggenjot pemasaran produk industri hasil hutan nasional. “Kita punya produk (yang diminta) dan pasarnya terbuka. Kita gencarkan promosinya, sebab kalau hanya menunggu pembeli datang, sulit,” kata dia, Rabu (28/2/3018).

Sinyal kembalinya pamor industri kehutanan tanah air sejatinya tergambar dari data KLHK. Jika di tahun 2015 jumlah industri kayu lapis baru 179 unit, maka di akhir tahun 2017 lalu jumlahnya sudah melonjak mencapai 217 unit. Kapasitas industri pun ikut naik. Di tahun 2015, total kapasitas terpasang industri kayu lapis sebanyak 13,3 juta m3 per tahun. Akhir tahun 2017, kapasitas terpasang sudah mencapai 14,2 juta m3 per tahun.

Profil kenaikan jumlah industri dan kapasitas terpasang juga terjadi untuk industri kayu primer lainya yang memiliki kapasitas di atas 6.000 m3 per tahun (lihat tabel). Jumlah industri yang aktif berproduksi pun terus menunjukan tren peningkatan.

Rufi’ie menyatakan, KLHK sejatinya selalu memberi dukungan bagi perkembangan industri kehutanan. Salah satunya dengan mendorong keberterimaan di pasar internasional melalui sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK).

KLHK juga memberikan dukungan untuk penyediaan bahan baku legal bagi industri kehutanan. Menurut Rufi’ie, banyak bantuan sertifikasi bagi industri kecil dan hutan rakyat yang telah diberikan KLHK. Ini memastikan industri besar yang menampung kayu yang dihasilkan memiliki kemudahan untuk mendapat bahan baku legal.

Rufi’ie juga melihat saat ini juga menjadi momentum untuk terus meningkatkaan produksi kayu tanaman seperti dari hutan rakyat. Dia menyerukan agar industri kehutanan bisa semakin aktif untuk mengajak masyarakat melakukan penanaman. “Kemitraan yang saat ini sudah dijalankan harus terus ditingkatkan,” katanya.

Dia mengakui tentang perlunya mendorong industri kehutanan untuk membangun pabriknya di luar Jawa. Menurut Rufi’ie, provinsi seperti Lampung atau Kalimantan Timur cocok untuk menjadi target baru investasi industri pengolahan kayu. Apalagi, masyarakat di kedua wilayah itu kini juga mulai gemar menanam pohon.

Lampung dinilai cocok untuk pengembangan industri kayu lapis karena memiliki infrastruktur yang lebih baik. Sementara Kalimantan Timur layak dilirik karena sejatinya di sana pernah menjadi salah satu sentra industri kayu lapis. “Tinggal modifikasi mesin sehinga bisa memanfaatkan kayu berdiameter kecil,” kata Rufi’ie. Sugiharto

Pemerintah Beri Kemudahan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan pihaknya memberikan dukungan penuh untuk berkembangnya industri kehutanan. Dia menyatakan, pemerintah telah mengambil respons agar industri kehutanan bisa semakin menggeliat.

“Saya telah bertemu dengan beberapa pengusaha yang menjelaskan tentang situasi perdagangan Internasional saat ini. Situasi menarik di mana ada permintaan kebijakan AS dan tak bisa dipenuhi oleh China,” kata dia, Rabu (28/2/2018).

Menteri menuturkan, beberapa permintaan yang diajukan pelaku usaha perkayuan adalah penyesuaian soal standar ukuran produk kayu yang bisa diekspor. Hal ini juga telah disampaikan kepada kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Permintaan lain adalah soal kemudahan produksi. KLHK, ujar Menteri, memberikan kemudahan tanpa mengabaikan tata kelola kelestarian. Salah satunya dengan mengurangi kewajiban ketersediaan tenaga teknis (ganis) dalam proses produksi kayu pada setiap industri kehutanan, terutama untuk industri skala kecil. “Jadi, misalnya, cukup satu per wilayah,” katanya.

Menteri Nurbaya menyatakan, situasi saat ini menjadi pengingat bahwa sudah saatnya Indonesia lebih mendorong lagi pengembangan hutan rakyat dan perhutanan sosial. Pasalnya, produk yang diminati adalah produk yang banyak memanfaatkan bahan baku dari kedua sumber tersebut. “Ini adalah momen untuk terus menggerakan hutan rakyat dan perhutanan sosial,” katanya. Sugiharto

Perkembangan Jumlah Unit  Industri Primer Hasil Hutan Kayu per Jenis Produksi
No Jenis Produk Jumlah Industri (unit)
2014 2015 2016 2017
1 Kayu Lapis 161 179 194 217
2 Kayu Gergajian 299 324 355 394
3 Veneer 110 121 141 171
4 Serpih Kayu 32 33 34 35

 

Perkembangan Kapasitas Izin Produksi Industri Primer Hasil Hutan Kayu
No Jenis Produk Kapasitas Produksi (m3/tahun)
2014 2015 2016 2017
1 Kayu Lapis            12,690,515            13,316,695            13,745,713            14,240,813
2 Kayu Gergajian              7,696,146              8,656,296              9,595,946            10,727,214
3 Veneer              3,178,295              3,364,695              3,672,845              4,289,189
4 Serpih Kayu            46,336,218            55,383,418            55,387,418            56,093,315

 

Sumber data: KLHK