Pemerintah diminta segera menghentikan impor daging kerbau dari India, menyusul meledaknya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyebar sangat cepat. Tindakan lockdown (karantina) juga tidak cukup lagi per kabupaten, tapi langsung per provinsi. Bahkan, pemerintah sebaiknya melakukan pemusnahan (stamping out) hewan yang terinfeksi karena penularan diduga sudah mencapai 10 provinsi. Kementerian Pertanian bisa menggunakan Dana Korporasi Sapi (DKS).
Pemerintah Presiden Joko Widodo harus membayar mahal pilihan kebijakan membuka kran impor produk hewan dari negara yang belum bebas penyakit hewan berbahaya: penyakit mulut dan kuku (PMK). Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan frase “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” dalam UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, impor daging dari India tetap berjalan. Maklum, penggunaan zona itu muncul kembali dalam UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 18/2009, terutama di pasal 36E.
Belakangan, pemerintah malah membuka lebar-lebar impor produk hewan dari negara belum bebas PMK lewat PP No. 11 Tahun 2022 yang mengubah PP No. 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan (AgroIndonesia edisi 819, 22-28 Maret 2022). Akibatnya, impor daging dari India pun terbuka lebar buat semua pihak, tak lagi monopoli Perum Bulog dan PT Berdikari. Yang menarik, di pasal 7 PP ini tak lagi mencantumkan rekomendasi pemasukan (impor) yang diterbitkan menteri pertanian.
Kini, 30 tahun lebih sejak Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (Office International des Epizooties/OIE) menyatakan Indonesia bebas PMK, penyakit hewan menakutkan itu kembali mewabah. Bahkan, terhitung dari pengumuman pertama sampel suspect PMK di Gresik dan Lamongan, Jawa Timur positif PMK pada 5 Mei 2022, kini ribuan ekor sapi tertular di banyak provinsi. Per 10 Mei 2022, data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan menyebutkan, sudah 10 provinsi dan 36 kabupaten terserang PMK dengan total 6.720 ekor positif PMK. Ke-10 provinsi itu adalah Jatim, Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan dan Banten.
Sejauh ini, Kementan menduga penularan terjadi akibat masuknya domba/kambing ilegal dari Malaysia/Thailand melalui Kepulauan Riau atau Riau dan dikirim melalui jalan darat dengan tujuan Jakarta, Kebumen dan Wonosobo. Namun, menurut pengamat peternakan, yang juga mantan dirjen peternakan Sofjan Sudardjat, munculnya kembali PMK diduga akibat kebijakan impor dari negara yang tak bebas PMK. “Kemungkinan besar masuknya material yang mengandung PMK dari jalur resmi maupun tak resmi. Untuk itu, kebijakan impor harus dihentikan,” tegasnya, Jumat (13/5/2022).
Permintaan penghentian impor juga pernah dilayangkan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) sejak 3 tahun lalu, ketika terjadi outbreak PMK di sejumlah distrik di India pada 2019. Apalagi, 22 meat plant yang dapat izin ekspor daging kerbau ke Indonesia berada di daerah endemik PMK.
Sofjan pun meminta pemerintah serius menangani PMK. Jika tidak, sektor peternakan bisa menderita selama ratusan tahun lagi seperti dulu dan kerugian ekonomi akan terus terjadi. Hal ini disepakati Rochwadi Tawaf, pengamat peternakan yang juga Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau (PPSKI). Bahkan, dia meminta pemerintah melakukan stamping out (pemusnahan) sapi yang terjangkit PMK. “Tidak ada jalan lain,” katanya. Pemerintah membeli dan membakarnya, karena ancaman penularannya sangat besar. Dia juga mengusulkan penggunaan Dana Korporasi Sapi (DKS) untuk eradikasi tersebut, selain menerapkan isolasi tingkat provinsi, tak lagi kabupaten. AI