Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menilai masih banyaknya kebijakan yang kontraproduktif membuat industri mebel dan kerajinan Indonesia kurang berkembang. Diantara kebijakan atau regulasi yang menghambat itu adalah sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) yang diberlakukan pemerintah serta tata kelola bahan baku.
“Hal itu membuat harga bahan baku bagi industri kayu tidak kompetitif jika dibandingkan negara pesaing kita, karena untuk mengurus SVLK dan beberapa ijin pendukungnya diperlukan biaya yang sangat besar,” ujar Sekjen HIMKI, Abdul Sobur, di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIMKI di Jakarta, Selasa (15/05/2018).
Untuk itu, tambah Sobur, kalangan pengusaha yang bergerak di sektor industri mebel dan kerajinan yang tergabung di HIMKI telah meminta agar pemerintah menghapus pemberlakuan SVLK untuk industri mebel dan kerajinan.
“Penerapan kebijakan SVLK berdampak pada tidak maksimalnya kinerja ekspor nasional. Padahal saat ini industri mebel tengah bersaing ketat dengan pelaku industri mebel internasional,” ujar Sobur.
Dia menegaskan, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mewajibkan eksportirnya menerapkan SVLK, sementara negara-negara produsen lainnya tidak mengenakan.
“SVLK itu kan sifatnya voluntary, namun pemerintah kita malah menerapkan aturan itu bersifat wajib,” ucapnya.
Ketua Bidang Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga HIMKI, Wiradadi Suprayoga menambahkan, sebenarnya bagi produsen mebel dan kerajinan, SVLK boleh saja diterapkan asalkan ada jaminan dari pihak pembeli kalau mereka hanya menerima produk dengan SVLK.
“Kalau negara pembeli menerapkan aturan hanya menerima produk ber SVLK, bolah saja kita patuhi. Namun kenyataannya, mereka juga menerima produk non SVLK dari negara lainnya,” ucapnya.
Dia mengacu pada produk mebel dan kerajinan asal Vietnam yang bisa melenggang di pasar Eropa tanpa menerapkan aturan SVLK serta mampu meraih ekspor senilai 10,2 miliar dolar AS di tahun lalu. Sementara Indonesia justru terseok dengan perolehan 1,6 miliar dolar AS.
“Pemerintah mengira SVLK adalah karpet merah untuk ekspor produk mebel dan kerajinan namun kenyataannya bagi kami itu adalah kartu merah,” tegasnya.
Wira menjelaskan sebenarnya pihaknya telah mengajukan hambatan-hambatan itu kepada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Namun dua instansi masih juga bersikap acuh.
Tidak adanya perhatian dari instansi pemerintah itu, Abdul Sobur mengancam akan mengembalikan target ekspor produk mebel dan kerajinan senilai 5 miliar dolar AS di tahun 2019 kepada Presiden Joko Widodo.
“Kami sulit untuk mencapai target itu. Kami akan kembalikan kepada Pak Jokowi kalau target itu tak bisa dicapai karena adanya hambatan-hambatan tersebut,” ucapnya.
Masalah lain yang dibahas di Rakernas HIMKI, lanjutnya, masih adanya pihak-pihak yang menginginkan dibukanya ekspor log dan bahan baku rotan dengan berbagai alasan.
Menurut Sobur, sejumlah pihak menginginkan ekspor log dan bahan baku rotan karena menganggap lebih praktis dan menguntungkan dengan mengekspor bahan baku ketimbang ekspor barang jadi berupa mebel dan kerajinan.
“Padahal, dengan adanya rencana membuka kembali keran ekspor bahan baku rotan sangat bertentangan dengan program hilirasi yang telah dicanangkan pemerintah. Disisi lain, saat ini industri mebel dan kerajinan rotan masih dalam tahap recovery,” ucap Sobur. B Wibowo