Tahun 2001 silam, Wajan Sudja nekat pulang ke Indonesia setelah bekerja di Jerman mengerjakan proyek-proyek water treatment untuk pembangkit listrik, Siemens AG. Sarjana Teknik Kimia jebolan Institut Teknologi Bandung ini juga sempat berkarya di RnD energi biomassa.
Dengan modal awal Rp2 milyar, Wajan blasteran Indonesia-Jerman, ayah asal Bali dan Ibu dari Niedersachsen ini mengembangkan budidaya ikan kerapu: macan, tikus, sunu halus dan cantang di Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Saya pulang karena ingin mengembangkan usaha budidaya kerapu,” ujar Wajan kelahiran Muenchen, Desember 1959 ini.
Berkat upaya kerasnya, dari semula 50 buah jaring berkembang hingga menjadi 400 jaring pada 2014. Bahkan pada 2005, perusahaannya mampu mengekspor langsung ke Hong Kong tanpa melalui eksportir dalam negeri lagi.
Belakangan, bisnis yang dibangunnya dengan susah payah terganjal regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Persisnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Permen KP 15/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup.
Wajan pun meradang. Selama 3,5 tahun lebih. Berbagai upaya sudah dilakoninya bersama teman-teman agar KKP merevisi seluruh peraturan yang menghambat, termasuk budidaya kerapu.
Upayanya yang terakhir menjelaskan dengan gamblang perjuangannya mengembangkan budidaya kerapu dan permasalahan yang membelitnya di media sosial.
Wajan dengan pedas mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan bahkan, Presiden Joko Widodo hingga pihak Istana Negara pun sudah mendengar keluhannya.
Untuk mengetahui bagaimana kerapu sempat menggerakkan perekonomian masyarakat pesisir dan permasalahan yang membelitnya, berikut penuturan Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) kepada Agro Indonesia pekan lalu.
Bisa diceritakan budidaya ikan kerapu yang Anda kembangkan?
Usaha budidaya ikan kerapu mulai tumbuh di Indonesia pada tahun 2001, setelah perekayasa teknologi Badan Riset Kelautan dan Perikanan, KKP berhasil mengembangkan teknik pemijahan ikan kerapu.
Dengan modal awal sebesar Rp2 milyar, tahun 2001 saat ekonomi Indonesia hancur akibat krisis moneter, saya memulai usaha UMKM budidaya ikan kerapu di pelosok NTB, di Teluk Saleh, Sumbawa dengan 50 buah jaring ukuran 3x3x3 meter. Usaha ini setelah up and down terus berkembang hingga menjadi 400 jaring di tahun 2014. Sejak tahun 2005 kami mengekspor langsung ke grosir di Hong Kong tanpa melalui eksportir dalam negeri lagi.
Usaha budidaya ikan kerapu yang menguntungkan UMKM, telah menciptakan lapangan kerja bagi 220.000 kepala keluarga di desa-desa pesisir, mengentaskan kemiskinan dan menghasilkan devisa bagi negara.
Usaha UMKM budidaya ikan kerapu dari tahun 2001 hingga 2014 mampu tumbuh sebesar 22% per tahun.
Ekspor ikan kerapu hidup dari Aceh hingga Tual ini tumbuh terus dari nol ton di tahun 2000 hingga mencapai sekitar 6.500 ton di tahun 2014.
Saya juga selalu mengurus sendiri semua ijin dan dokumen ekspor serta mengajarkan tata caranya ke seribuan anggota Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia yang saya pimpin.
Saya pelajari regulasinya dan kita perbaiki regulasinya bersama Menteri Fadel Muhammad, agar tidak mempersulit eksportir dan buyer. Pada waktu itu komunikasi saya dan kawan-kawan dengan eselon 1 hingga 4 di KKP juga sangat baik.
Lalu setelah berganti rezim?
Tiba-tiba tanpa ada kajian akademis, tanpa ada konsultasi dengan stakeholder, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengeluarkan Permen KP 32/2016 yang menghambat ekspor ikan kerapu hidup. Akibatnya, 85% UMKM pembudidaya ikan kerapu Indonesia dibuat bangkrut. 1.000 lebih UMKM tutup. Tenaga kerja sebanyak 220.000 kepala keluarga kehilangan penghasilan. Negara kehilangan devisa sekitar 90 juta dolar AS per tahun, setara Rp1,26 triliun.
Tapi data KKP menunjukkan produksi kerapu budidaya 2017sebanyak 46.504 ton. Kok bisa?
90% ikan kerapu budidaya dikirim dengan kapal, harga rata-ratanya 12,5 dolar AS per kilogram. Hanya kerapu tikus yang dikirim melalui pesawat karena harganya tinggi, 45 dolar AS per kilogram. Hanya ada 13 kapal angkut hidup milik buyer dari Hong Kong yang terdaftar di KKP. Kapalnya berukuran antara 270 GT hingga 500 GT dengan kapasitas angkut 23-50 ton, dengan rata-rata 35 ton per trip. Setiap kapal hanya mampu mengangkut 10 trip per tahun.
Sehingga, kapasitas angkut ke 13 kapal buyer diatas sebesar: 13 kapal x 10 trip/kapal/tahun × 35 ton/trip = 4.550 ton.
Jika KKP mengklaim ekspor ikan kerapu budidaya di tahun 2017 sebesar 45.000 ton, lalu diangkutnya pakai apa?
Jika demikian siapa yang diuntungkan dari Permen KP 32/2016?
Vietnam, Brunei dan Malaysia yang telah berhasil mengambil alih pasar kerapu Indonesia.
Upaya apa saja yang Anda dan teman-teman lakukan agar KKP mau merevisi regulasi yang menghambat?
Selama 3,5 tahun lebih, saya bersama 34 paguyuban nelayan dan asosiasi berjuang untuk merevisi regulasi yang kontra produktif dan bertemu dengan Komisi IV DPR, Komite II DPD, Menko Maritim, KEIN, Wantimpres, Wapres hingga Presiden.
Hasilnya, keluar Instruksi Presiden Nomor 7/2016 yang memerintahkan Menteri KP untuk merevisi aturan perundang-undangan yang menghambat pertumbuhan usaha penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengolahan ikan dan petambak garam. Namun Menteri KP membangkang Instruksi Presiden.
Komisi IV DPR dalam 13 kali rapat kerja dengan Menteri KP sudah mendesak Menteri KP dan untuk merevisi aturan-aturan yang kontra produktif.
Lagi-lagi Menteri KP membangkang kesepakatan raker dengan wakil rakyat di Komisi IV DPR.
Konsekuensinya, Komisi IV DPR RI memotong 50% APBN KKP dari Rp16 triliun di tahun 2015 menjadi Rp8 triliun di 2018.
Karena berbagai industri dihambat rekomendasi impor garam industri oleh Menteri KP, maka Presiden mengeluarkan PP 9/2018 yang memindahkan kewenangan mengeluarkan rekomendasi impor garam dari KKP ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Para pembudidaya ikan kerapu heran, mengapa Presiden tidak membantu UMKM budidaya ikan kerapu yang export oriented, namun sigap sekali membantu korporasi industri yang butuh impor. Heran kami, kok impor cepat sekali dibantu, sementara ekspor dihambat. Padahal, local content budidaya kerapu sebesar 99% dan ekspornya menghasilkan devisa bagi negara. Fenny YL Budiman