Cabai merupakan komoditas sayuran yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian sebagai salah satu komoditas strategis nasional karena memiliki banyak manfaat dan bernilai tinggi serta mempunyai prospek pasar yang baik. Salah satu sentra produksi cabai di Indonesia adalah Nusa Tenggara Barat. Produksi cabai NTB bukan hanya untuk mensuplai kebutuhan masyarakat NTB sendiri tetapi juga dipasarkan ke beberapa kota besar di luar daerah (Surabaya, Solo, Jakarta, Balik Papan, dan Manado). Untuk itu budidaya cabai di NTB perlu inovasi teknologi dari hulu hingga hilir untuk mencapai produktivitas, efisiensi dan menekan kehilangan hasil (losses).
Untuk mengetahui lebih jauh tentang produksi cabai di Nusa Tenggara Barat, Agro Indonesia telah melakukan perbincangan dengan Muji Rahayu, peneliti madya BPTP Balitbangtan NTB. Berikut petikan wawancara dengan peneliti lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta tersebut.
Bisa Anda jelaskan bagaimana produksi cabai di NTB?
Produksi cabai (cabai besar maupun cabai rawit) di NTB pada 2018 sebesar 188.740 ton (data BPS). Sekitar 70% dipasarkan ke luar daerah dan sisanya untuk pasar lokal. Kebutuhan cabai meskipun dalam volume yang kecil tetapi terjadi setiap hari, setiap jenis bumbu masakan menyertakan bahan cabai didalamnya sehingga kebutuhannya tidak bisa ditunda untuk periode waktu tertentu. Sementara produksi di lapangan tidak selalu stabil khususnya pada musim penghujan.
Bagaimana fluktuasi harga cabai di NTB?
Dari analisis data diperoleh fluktuasi harga cabe bulanan memang terjadi hampir setiap hari dan setiap bulan. Pola fluktuasi harga cabe di NTB biasanya mengikuti pola fluktuasi ketersediaan secara nasional karena pedagang besar cabai di NTB memiliki akses ke beberapa pasar besar di luar daerah yang pada saat tertentu memiliki harga cabai yang tinggi. Jadi, meskipun volume ketersediaan cabai di NTB cukup besar tetapi kalau harga cabai di pasar luar daerah cukup tinggi maka pedagang besar akan mengirim produksi cabai ke luar daerah untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sehingga cabai di tempat produksi di NTB terbatas ketersediaanya dan masyarakat konsumen menerima harga yang tinggi pula.
Kondisi ini tidak dapat dibendung karena cabai adalah komoditas yang bebas dipasarkan dan pemerintah belum mengatur tentang tata niaga cabai, misalnya dengan memberikan harga eceran tertinggi atau terendah.
Bisa anda jelaskan tentang pergerakan harga cabai di NTB?
Pergerakan harga cabai di Pulau Lombok NTB memiliki pola yang bertolak belakang dengan pola ketersediaannya, dimana harga yang rendah karena ketersediaan cabai cukup besar antara waktu bulan Juli hingga bulan November yaitu hasil penanaman pada bulan April/Mei. Tetapi begitu masuk musim hujan yaitu antara bulan Desember hingga Februari harga cabai di pasaran cukup tinggi karena ketersediaan cabai di tingkat petani sangat rendah. Pergerakan ini sebenarnya hampir sama dengan yang terjadi di beberapa kota besar penghasil cabai di Indonesia.
Minimnya ketersediaan cabai pada saat bulan November hingga Februari karena saat itu adalah musim hujan. Sampai saat ini belum ada varietas cabai rawit dan cabai besar yang betul-betul tahan terhadap terpaan hujan terus menerus. Apabila hujan terjadi terus menerus, maka yang terjadi adalah kelembapan yang sangat tinggi pada lingkungan pertumbuhan tanaman sehingga tanaman mudah terinfeksi jamur ataupun bakteri.
Bagaimana sebenarnya analisis usaha tani cabai di NTB?
Dari analisis usaha tani yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Suralage menunjukkan titik impas harga cabai di tingkat petani mencapai Rp12.037/kg. Dengan tingginya risiko yang dihadapi petani dan intensitas pengelolaan tanaman yang sangat intensif maka asumsi keuntungan petani cabai pada musim hujan biasanya minimal sebesar 100%, sehingga kelayakan usaha tani cabai bisa diperoleh jika harga jual cabai di lapangan sebesar Rp25.000/kg.
Menyimak tingginya harga cabai di tingkat produsen yang mencapai Rp25.000/kg dan cuaca yang kurang menguntungkan tentu menimbulkan permasalahan dalam hal pasca panen, packaging, handling dan distribusi sampai ditempat-tempat pemasaran terakhir. Rantai pemasaran cabai yang cukup panjang ditambah dengan saat kondisi cuaca yang ekstrim tentu menimbulkan para pedagang menanggung risiko yang besar pula sehingga memicu pengambilan keuntungan yang cukup besar 100%-300%, kondisi inilah yang diduga menimbulkan harga cabai sangat tinggi sehingga daya beli konsumen sangat rendah dan kadang kala memicu terjadinya inflasi.
Lantas, bagaimana merespons situasi tersebut?
Fluktuasi harga cabai yang memiliki pola yang hampir sama dari tahun ke tahun, maka dapat diketahui harga cabai yang mahal akan terulang kembali pada musim hujan tahun berikutnya. Kondisi ini sebenarnya dapat diantisipasi oleh pengguna langsung cabai atau penggemar cabai segar untuk bisa menghasilkan cabai pada pekarangan rumahnya. Penanaman cabai pada lahan pekarangan dimaksudkan hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya sendiri, sehingga hal ini tidak akan merebut atau menyaingi para petani cabai yang biasanya mengusahakan usaha tani dalam skala paling kecil 2.000 tanaman.
Dengan pemanfaatan pekarangan para wanita atau ibu rumah tangga dihimbau dapat menanam cabai dalam pot di pekarangan rumah atau di lingkungan tempat tiggalnya sehingga tingginya harga cabai tidak akan menimbulkan kegaduhan dan kegelisahan. Perlu diketahui teknologi budidaya cabai rawit dan cabai besar hampir sama, para wanita dan ibu rumah tangga tentu dapat melakukan budidaya cabai dalam wadah pot atau polybag atau wadah bekas lainnya misalnya bekas bungkus semen, botol bekas air mineral, kaleng bekas cat dan sebagaiinya.
Jika ingin ketahanan pangan rumah tangga tercukupi dari kebutuhan cabai sepanjang hari di rumah masing-masing, maka penting mengetahui tentang tahapan pertumbuhaan dan produktivitas tanaman cabai rawit, cabai besar dan kebutuhan cabai pada perorang atau per kapita
Dari pengamatan Anda, berapa sih kebutuhan cabai?
Dari pengamatan saya, kebutuhan manusia pada cabai rawit 3 buah dan cabai merah 1 buah per orang/hari atau sekitar 21 buah cabai rawit/minggu atau setara 200 gr/minggu dan kebutuhan cabai besar 7-8 buah/minggu atau setara 200 gr/minggu. Tanaman dapat dipanen seminggu sekali dengan umur panen pertama 75 hari untuk cabai rawit dan 110 hari untuk cabai besar. Produktivitas cabai rawit 100 gr/tanaman atau sekitar 10-11 buah per tanaman/sekali petik dengan periode panen hingga 4 bulan. Produktivitas cabai besar 200 gr/tanaman atau sekitar 10-11 buah per tanaman/sekali petik dengan periode panen lebih pendek yaitu 2 bulan.
Berdasarkan kebutuhan manusia akan cabai dan produktivitas serta periode panen tanaman maka dapat skenarionya adalah jika suatu rumah tangga memiliki anggota rumah tangga 4 orang, maka mereka harus menanam 8 tanaman cabai rawit setiap 4 bulan sekali dan menanam 4 tanaman cabai besar setiap 4 bulan sekali. Strategi tersebut tentu dapat menjawab kebutuhan cabai oleh rumah tangga secara berkelanjutan. Gerakan menanam cabai yang lagi digalakkan harus disertai dengan strategi yang pintar agar waktu tanam dan jumlah tanaman yang diusahakan dapat diatur sesuai kebutuhan rumah tangganya.
Apakah strategi seperti diatas bisa mengatasi problem selama ini?
Strategi ini jika diterapkan pada seluruh rumah tangga pengguna cabai, maka hiruk pikuk dan kegaduhan serta kegelisahan masyarakat akibat mahalnya harga cabai tidak akan terjadi. Bagi pengambil kebijakan strategi ini dapat dipergunakan sebagai bahan rekomendasi “Strategi Swasembada Cabai dari Rumah Sendiri” pada gerakan menanam cabai yang lagi hangat-hangatnya disuarakan oleh banyak pihak. Dengan serentaknya rumah tangga mengambil peran untuk swasembada cabai maka pemerintah tidak perlu khawatir akan melambungnya harga cabai dan ancaman inflasi akibat tingginya harga cabai.
Shanty